Perfilman Indonesia Berjuang Tanpa Banyak Perlindungan di Negeri Sendiri
Kemenkominfo sudah memblokir 22 situs penyedia film ilegal, tetapi permasalahan belum selesai.
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harapan menjadikan film Indonesia sebagai tuan rumah di negara sendiri sulit tercapai tanpa adanya dukungan kebijakan pemerintah, terutama dalam hal proteksi. Padahal, film merupakan aspek penting untuk kesenian, komunikasi, budaya, ekonomi, diplomasi, dan sebagai identitas bangsa.
Andre Ikhsano, penulis buku Melawan Hegemoni Perfilman Hollywood, di Jakarta, Kamis (5/2/2020), mengatakan, jumlah penonton, judul film nasional, dan jumlah layar lebar di Indonesia meningkat setiap tahun. Namun, jumlah itu masih kurang dibandingkan dengan penduduk Indonesia secara keseluruhan. Selain itu, belum ada proteksi, terutama dalam hal produksi, distribusi dan ekshibisi, serta konsumsi.
Andre menjelaskan, jumlah penonton film Indonesia meningkat dari 21 juta penonton pada 2015 menjadi 51 juta penonton pada 2018. Jumlah layar lebar juga bertambah dari 609 layar pada 2012 menjadi 1.756 layar pada 2018. Namun, dibandingkan dengan negara lain, jumlah layar lebar di Indonesia masih tergolong kecil. Selain itu, di Indonesia, jumlah layar lebar tersebar tidak merata.
”Korea Selatan mempunyai 1.800 layar lebar dengan jumlah penduduk sekitar 50 juta orang. Sementara di Indonesia saat ini terdapat sekitar 1.700 layar untuk 200 juta orang dan kebanyakan layar berada di Pulau Jawa,” katanya.
Dengan jumlah layar terbatas, film nasional harus bertarung dengan serbuan film Hollywood. Andre mencatat, setiap tahun ada sekitar 140 judul film nasional yang dimainkan di layar lebar di Indonesia. Sementara itu, film asing asal Hollywood bisa mencapai 250-300 judul film per tahun. Film Indonesia juga terkendala dengan kuota tayang, lama tayang, hingga kelas layar.
Dalam hal produksi, pembuatan film Indonesia juga terkendala pajak tinggi, minim insentif, minim sumber daya manusia, dan juga biaya produksi yang mahal. Adapun dalam hal konsumsi, saat ini perfilman nasional menghadapi tantangan dengan banyaknya platform layanan streaming, seperti Netflix dan Iflix. Problem pembajakan juga masih menjadi persoalan.
”Kemenkominfo sudah memblokir 22 situs penyedia film ilegal, tetapi permasalahan belum selesai,” kata dosen London School of Public Relations itu.
Andre menjelaskan, sejarah perfilman Indonesia sudah bergeser dari over-protective puluhan tahun lalu kini menjadi sangat bebas. Situasi ini, menurut Andre, sangat memprihatinkan karena film mempunyai peran penting untuk kesenian, komunikasi, budaya, ekonomi, diplomasi, dan identitas. Perfilman Hollywood tak sekadar menawarkan aspek hiburan dan sisi glamor bintang-bintangnya, tetapi mewakili imperialisme kultural Amerika Serikat. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya lintas sektor untuk melawan hegemoni ini.
Untuk melawan dominasi Hollywood, Korea Selatan melakukan kebijakan proteksi. Negara itu mengharuskan film nasional mendapatkan masa putar 146 hari dalam masa waktu satu tahun. Televisi Korea juga mewajibkan distribusi 45 persen tayangan prime time diisi oleh film dan animasi Korea. Akibatnya, dominasi Hollywood di negara itu berkurang.
Dalam bukunya, Andre menjelaskan, Dewan Eropa juga mengeluarkan peraturan proteksi siaran televisi Eropa untuk siaran-siaran dari luar Eropa. Di Perancis, 60 persen siaran harus buatan lokal Uni Eropa. Di Venezuela, pemerintah memberikan bantuan dana untuk produser. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi dominasi Hollywood.
Sutradara Hanung Bramantyo mengatakan, tidak meratanya jumlah layar lebar di Indonesia sangat memprihatinkan. ”Di Yogyakarta, misalnya, layar tidak merata. Di Bantul tidak ada layar lebar, padahal sekolah film adanya di Bantul. Mahasiswa perfilman di sana saja susah nonton film, apalagi yang bukan mahasiswa,” katanya saat menjadi pembicara dalam Penganugerahan Huawei Film Awards 2020 di Kampus LSPR, Jakarta, Kamis.
Hanung juga menjelaskan, kebanyakan film Indonesia akan ditayangkan di televisi pada enam bulan setelah dimainkan di bioskop demi mengembalikan modal produksi. Hal itu justru semakin membuat penonton malas pergi ke bioskop. ”Menonton film Indonesia juga dianggap belum keren. Tidak seperti film Hollywood yang dianggap keren, padahal tidak semua film Hollywood itu bagus. Banyak juga yang jelek,” katanya.
Oleh karena itu, Hanung mengatakan, Indonesia perlu bekerja keras untuk mempromosikan perfilman Indonesia. Keberadaan karya sastra kuno Mahabrata, cerita-cerita lokal seperti Si Kancil, Timun Mas, dongeng populer Bawang Merah Bawang Putih, fiksi serial novel Wiro Sableng, tokoh komik Gundala, serta sejarah merupakan harta karun yang bisa diolah oleh sineas muda Indonesia.