Setelah era reformasi, pembuat film menghadapi dinamika sensor berbeda. Meski tema-tema film yang diproduksi jauh lebih beragam ketimbang masa Orde Baru, sensor tetap berlaku untuk beberapa film.
Oleh
BI Purwantari
·6 menit baca
Kita lihat saja bagaimana film Dendam Pocong (2006) karya Rudi Soedjarwo yang gagal diputar di bioskop karena dinilai Lembaga Sensor Film (LSF) banyak menampilkan adegan kekerasan dan pemerkosaan. Film ini juga dianggap berpotensi membangkitkan dendam dan luka lama akibat kerusuhan Mei 1998, terkait latar belakang film yang berbasis tragedi Mei 1998.
Pembuat film menyanggah filmnya mengeksploitasi kekerasan dan seks. Menurut Rudi Soedjarwo, seperti dikutip dari Tempo.com, kekerasan yang ditampilkan di film masih dalam bentuk wajar dan konteks kerusuhan Mei 1998 adalah realitas yang memang ada. Selain itu, salah satu pesan yang ingin disampaikan film adalah manusia seharusnya lebih takut pada manusia lain, bukan kepada setan. Bagi tim pembuat film, larangan pemutaran Dendam Pocong lebih bersifat politis daripada pelanggaran nilai-nilai sosial.
Bentuk sensor yang berbeda dialami sutradara kondang lainnya, Hanung Bramantyo. Filmnya, Cinta Tapi Beda (2012) yang sudah lolos sensor dengan klasifikasi usia 17 tahun ke atas, juga direaksi negatif oleh kelompok masyarakat tertentu. Sekelompok masyarakat Sumatera Barat menuntut film ini ditarik dari peredaran karena dinilai bertentangan dengan kondisi masyarakat Sumbar yang mayoritas beragama Islam, sedangkan tokoh di film merupakan orang Padang beragama non-Islam. Produser film akhirnya menarik film dari peredaran.
Gagalnya produksi film gara-gara penolakan dari masyarakat juga pernah dialami sutradara senior Eros Djarot. Filmnya yang berjudul Lastri (2008) terpaksa berhenti berproduksi setelah syuting 12 scenes. Produksi film dihentikan karena ancaman sekelompok orang yang menganggap film ini menyebarkan ajaran komunis.
Desakan ini juga tidak lepas dari isu komunisme yang masih sangat sensitif dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Tidak heran, apa pun yang terkait dengan isu ini, termasuk film, menjadi sasaran penolakan.
Kontroversi peredaran film dialami pula oleh film Kucumbu Tubuh Indahku (2019) karya Garin Nugroho. Seperti Cinta Tapi Beda, film ini lolos sensor dengan klasifikasi usia lebih dari 21 tahun. Namun, film ini dilarang diputar di Kota Depok, Jabar, dan Kabupaten Kubu Raya, Kalbar. Seperti isu komunisme, pelarangan film ini dilatarbelakangi alasan bisa memengaruhi cara pandang masyarakat tentang kehidupan LGBT.
Pembubaran lembaga sensor
Berbagai bentuk sensor, baik dari lembaga sensor maupun dari masyarakat, terhadap film pada akhirnya juga membuat para pegiat dunia perfilman merasa terancam dan menjadi tidak merdeka dalam memproduksi karya film. Upaya membubarkan lembaga sensor pun mengemuka di awal reformasi. Pada 2007 sekelompok pembuat film mengajukan uji yudisial terhadap Undang-Undang Perfilman No 8/1992 ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menganggap UU ini bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal kemerdekaan berpendapat.
Namun, Mahkamah Konstitusi menolak upaya ini. Lebih lanjut, pada 2009 terbitlah UU No 33/2009 tentang Perfilman yang menggantikan UU No 8/1992. UU baru ini mengukuhkan kembali peran LSF, bahkan berwenang membuka cabang di ibu kota provinsi. Dalam UU ini film dinyatakan memiliki peran strategis ”meningkatkan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat demi memperkuat ketahanan nasional”. Aspek ketahanan nasional masih berlaku bagi film.
Setelah UU baru berlaku, komposisi anggota LSF berubah, dari semula didominasi unsur pemerintah dan keamanan, menjadi lebih banyak unsur masyarakat. Anggota LSF saat ini terdiri dari 12 anggota perwakilan masyarakat dan 5 dari pemerintahan, yaitu Kemendikbud, Kemenag, Kemenpar, Kemenkominfo, dan Badan Ekonomi Kreatif. Sementara itu, 12 perwakilan masyarakat harus memiliki kompetensi di bidang film, budaya, hukum, teknologi informasi, pertahanan keamanan, bahasa, dan agama.
Namun, unsur militer dan polisi tetap ada di dalam LSF, bahkan ketua LSF saat ini, Ahmad Yani Basuki, adalah pensiunan mayor jenderal yang pernah menjabat staf khusus kepresidenan pada masa Susilo Bambang Yudhoyono. LSF juga di bawah pengawasan Komisi I DPR (pertahanan, intelijen, luar negeri dan komunikasi-informatika) meski secara anggaran bermitra dengan Komisi X yang membawahi urusan budaya.
Film tidak membutuhkan sensor, tetapi klasifikasi film atau sistem rating dengan landasan yang jelas.
Meski relatif lebih ”bebas” berkreasi, tetapi karya para pembuat film tetap dikaitkan dengan aspek keamanan negara, bukan semata ekspresi budaya. Beberapa sutradara dan aktivis film melihat konteks masyarakat digital saat ini lebih membutuhkan literasi terhadap tontonan karena teknologi telah memudahkan mereka memperoleh berbagai jenis tontonan, yang mendidik ataupun tidak mendidik.
Jika lembaga sensor hanya memotong adegan yang mereka nilai buruk, tidak ada jaminan adegan yang sama tidak akan muncul di tempat lain, seperti di televisi atau internet yang relatif minim sensor. Beberapa program televisi seperti sinetron yang mengeksploitasi perilaku jahat antar-anggota keluarga bebas ditonton anak-anak, yang bisa menganggap itu wajar.
Program-program seperti sinetron seharusnya diberi klasifikasi hanya untuk ditonton kalangan tertentu atau kalaupun anak-anak menonton, perlu didampingi orangtua. Literasi terhadap tontonan akan mendidik masyarakat, terutama orangtua, memilih tontonan yang sesuai dengan kematangan pribadi ataupun usia anggota keluarga. Oleh karena itu, film tidak membutuhkan sensor, tetapi klasifikasi film atau sistem rating dengan landasan yang jelas.
Sistem klasifikasi
Sistem klasifikasi film atau sistem rating sudah diberlakukan di AS ataupun negara-negara Eropa sejak lama. Di AS, misalnya, pemerintah tidak lagi campur tangan menyensor film sejak Hays Code diberlakukan tahun 1930. Pada 1968 Hays Code diganti dengan sistem rating yang berlaku hingga saat ini. Sistem klasifikasi film atau sistem rating dilakukan oleh lembaga independen yang dibentuk oleh para pemangku kepentingan di bidang film.
Klasifikasi film di AS diberi aturan yang cukup jelas. Misalnya untuk klasifikasi General Audience (G) atau bisa ditonton semua kalangan, serta Parental Guidence (PG, pendampingan orangtua), dengan klasifikasi film-film layak tonton adalah yang menyajikan kekerasan dalam jumlah minim dan sangat halus. Kata-kata kasar sama sekali tidak boleh ada di film untuk semua kalangan. Semua klasifikasi disertai aturan baku dengan ukuran-ukuran jelas.
Sejak 2018, LSF mengampanyekan Budaya Sensor Mandiri, yaitu sensor yang dilakukan oleh produsen film sebelum diajukan kepada LSF. Produsen diharapkan telah mengklasifikasikan sendiri filmnya akan ditujukan kepada kelompok penonton yang mana. Namun, program ini tidak terlalu jelas tujuannya karena film tetap harus melalui pemeriksaan oleh LSF sebelum beredar.
Saat ini, bentuk sensor lain yang muncul dari kelompok masyarakat tertentu cukup mengancam kreativitas para pembuat film. Sejumlah film terpaksa berhenti produksi atau dicabut dari peredaran dan tidak bisa diputar di beberapa daerah gara-gara protes dari kelompok tertentu meski telah lolos sensor. LSF belum memiliki mekanisme melindungi film-film tersebut. Pekerja film akhirnya seperti menghadapi dua hakim, LSF dan konservatisme masyarakat.
Bagaimanapun sensor adalah bentuk kontrol terhadap kreativitas para pekerja film. Sementara itu klasifikasi film bisa memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menonton atau tidak menonton film yang sesuai kepentingan mereka, tanpa perlu memasung kreativitas para pekerja film. Usia 70 tahun perfilman nasional pada 30 Maret 2020, bisa menjadi momen untuk mempertimbangkan kembali persoalan relevansi sensor film pada era masyarakat digital saat ini.(Litbang Kompas)