Tarian Sinergi Dolorosa Sinaga
Kehidupan pematung Dolorosa Sinaga difilmkan dengan tajuk ”Dolorosa Sinaga Maestro Pematung Kontemporer Indonesia”. Film ini menukil lebih dalam perspektif sang seniman dan sejawat-sejawatnya.
Langkah hidup Dolorosa Sinaga diabadikan dalam dokumenter yang menarasikan pencapaian serta kegelisahannya. Film bertajuk Dolorosa Sinaga Maestro Pematung Kontemporer Indonesia itu menukil lebih dalam perspektif sang seniman dan sejawat-sejawatnya.
Kesibukan di Somalaing Art Studio di Jakarta tak sekadar menjadi gerbang dokumenter berdurasi 36 menit tersebut. Pembukaan itu turut menyibak atribusi Dolorosa, pematung yang juga pendidik.
Ia mengarahkan pekerjanya sembari melapisi karyanya dengan semacam semen. Studio tersebut berjajar dengan rumah Dolorosa yang dipisahkan tembok. Lantas, cuplikan video menampilkan beberapa patung Dolorosa di berbagai lokasi.
Plot selanjutnya menyajikan keindahan Danau Toba dan Pulau Samosir, Sumatera Utara, tanah kelahiran perupa itu. Tayangan Dolorosa mengunjungi makam raja-raja Batak yang dihiasi patung manusia dan hewan, hingga boneka sigale-gale di permukiman, menyingkap kenangannya semasa kecil.
”Aku anak keempat dari delapan bersaudara. Meskipun tak memperoleh bakat seni dari orangtua, aku tertarik melihat teman SMP yang pandai melukis,” ucapnya. Kemerdekaan untuk bebas bereskspresi itulah yang menumbuhkan kecintaan Dolorosa terhadap seni.
Tanpa ragu, ia memilih Institut Kesenian Jakarta (IKJ) selepas menamatkan SMA pada 1971. Kini, penikmat karya seni telah mengakrabi kreasi-kreasi Dolorosa yang sarat keprihatinan, kemanusiaan, dan pergulatan. Ia banyak mengaplikasikan dialektika sosial bermediumkan perunggu yang dipajang di dalam negeri hingga mancanegara.
Karya berjudul ”The Crisis”, misalnya, dipajang di Hue, Vietnam. Sementara ”Gate of Harmony” dipasang di Kuala Lumpur, Malaysia. Sentuhan Dolorosa yang lain, ”Faith and Illusion”, bisa diamati di Chianti, Italia. Patung-patung itu berukuran besar, tetapi ia juga menyajikan rupa yang ramping.
Ia mengetengahkan jeritan tujuh perempuan bergandeng tangan dalam ”Solidaritas”. Dolorosa meyakini patung-patung kecil dengan rerata panjang atau tinggi 1 meter untuk diperhatikan dari dekat, tetap kuat untuk mengantarkan pesan. Dimensi itu pula yang diimplementasikan dalam ”General. Have You Read the Book of Love?”, tentang ironi perang dan damai.
Nalar Dolorosa memang lekat tak hanya dengan karya-karya, tetapi juga kehidupannya. Ia menjadikan rumahnya markas Tim Relawan Kemanusiaan untuk mengusut persekusi rasial di Jakarta pada 1998. Anggota Dewan Pengarah Mahkamah Rakyat Internasional 1965-1966 itu juga mendorong penyelidikan pembunuhan massal akibat G30S.
”Saya melawan ketidakadilan. Perempuan, khususnya, menjadi sasaran dan harus dibela. Karena itu, saya menyuarakan mereka,” katanya. Pencapaiannya mengatasi tantangan dari desa nun jauh menuju kota metropolitan, bahkan melanglang buana, menunjukkan keuletan Dolorosa.
Semangat yang sama merambati Marselli Sumarno, produser dan sutradara Dolorosa Sinaga Maestro Pematung Kontemporer Indonesia. Ia takjub mengamati kiprah koleganya. ”Ranahnya sudah internasional. Patung Dolo yang kecil diminati kolektor. Ia juga menemukan pasarnya untuk kelas-kelas besar,” ucapnya.
Marselli meriset dan memilah rekam jejak Dolorosa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memfasilitasi dokumenter tentang maestro-maestro. ”Program Fasilitasi Bidang Kebudayaan mendukung produksi film itu,” katanya.
Lintang pukang
Marselli menggarap dokumenternya mulai November 2020 hingga Januari 2021. Ia harus lintang pukang mencari-cari dokumentasi lawas. ”Agak lama waktu pascaproduksi karena mencari foto-foto, termasuk IKJ tahun 1970-an. Kayak berakrobat,” katanya sambil tertawa.
Film itu akan diunggah ke Youtube dan situs Kemendikbud, tetapi ia belum memastikan waktunya. Jika menemukan video dan potret penting, Marselli hendak menambahkannya. ”Tujuan dokumenter itu memaparkan maestro yang mencapai profesionalisme dengan tekun berkarya,” katanya.
Patung terbaru Dolorosa, ”Soekarno”, yang ditempatkan di Algiers, Aljazair, pada pertengahan tahun 2020, tak semata mengaktualisasikan sepak terjang globalnya. Ia membingkai pula tekad negara-negara Asia-Afrika untuk bebas dari segala kolonialisme gaya baru.
Lempengan-lempengan yang menyusun gestur Soekarno tengah menunjuk ke langit dengan raut wajah ekspresif, mewujudkan penanda keinginan keras Indonesia untuk terus menggalang solidaritas. Dolorosa ingin mengirimkan gelora keadilan untuk semua bangsa.
Bukan berarti ia memandang sebelah mata persoalan-persoalan domestiknya. Karya-karya Dolorosa kerap mencuatkan kesuraman kaum marginal. Di Kota Tua, umpamanya, patung penyapu jalan dipahat dengan wajah murung. Patung tukang cat juga bermuka suram.
Kreasi Dolorosa tak sekadar memadukan keartistikan, tetapi juga gerak hingga tari. Unsur bloking yang lazim diterapkan aktor teater, tak ketinggalan dimanifestasikan. Ia menjelmakan Jakarta sebagai kuali peleburan dinamis antara kultur secara riil dan karya-karyanya.
Sambut gembira
Beragam patung Dolorosa yang merefleksikan Jakarta pun diakui dosen sejarah Sejong University, Korea Selatan, Sony Karsono. ”Kalau mau memahami Jakarta, Dolo adalah pintu masuk yang luar biasa. Waktu saya lihat karyanya, impresi pertama yang menonjok adalah, ini Jakarta,” katanya seraya tersenyum.
Peran pengajar Dolorosa dengan perupanya, bersinergi amat eksplisit. Guru seni rupa lebih mumpuni jika rutin menghadapi problem. ”Dolo bergumul dengan rintangan kreatif. Di kelas, ia punya otoritas bukan sebagai guru saja, melainkan juga karena pengalaman dan pertempurannya,” ucap Sony.
Batas-batas definitif seniman, pengajar, dan aktivis sulit dipisahkan dalam Dolorosa. Ia begitu terikat dengan karya-karyanya. ”Konteksnya bukan metafora saja, tapi harfiah,” kata Alex Supartono, sejarawan seni dan dosen Edinburgh Napier University, Skotlandia.
Dolorosa menyambut gembira penuntasan dokumenter tentang dirinya. Alur Dolorosa Sinaga Maestro Pematung Kontemporer Indonesia jelas dan komprehensif. Ia merangkum kehidupan dan kecintaan terhadap seni dalam dokumenter tersebut lewat patungnya, ”Dance of Sinergy”, atau tarian sinergi yang ditempatkan IKJ. Karya itu sekaligus melambangkan ekspresi film, musik, teater, dan seni rupa.
Ia pun mengutarakan harapan lebih banyaknya bantuan pemerintah untuk memproduksi film yang meneladani seniman dan sastrawan. Film termasuk sistem pendukung untuk mencerdaskan bangsa, membangun kesadaran sejarah, hingga menginspirasi. Jika medium itu tak memadai, Indonesia akan terus tergagap-gagap menghadapi kemajuan zaman. ”Kelaparan dan stunting di mana-mana. Orang bisa punya kekuasaan luar biasa. Ketidakadilan sedang terjadi di dunia ini,” ujarnya. (Dwi Bayu Radius)