Kado untuk Kartini
Patung Dolorosa Sinaga bersanding dengan karya-karya 18 seniman lain seperti Jeihan Sukmantoro, I Nyoman Gunarsa, Popo Iskandar, dan Bramasto, Erika Hestu. Pameran ini berlangsung hingga 30 April.
Dalam rentang usia belia hingga 25 tahun, sosok Kartini (1879-1904) berhasil memberi ruang tafsir dan inspirasi berkehidupan yang cukup penting. Peringatan hari kelahirannya di setiap tahun pun marak, ”kado” untuk Kartini juga mengalir dalam beragam rupa.
Seperti ”kado” dari pematung Dolorosa Sinaga. Ia menyuguhkan patung yang diberi judul, ”Bawa Kado untuk Kartini”. Patung itu berwujud seorang gadis yang sedang berjalan terhuyung dengan mulut ternganga dan punggung menyandang sebuah kantong besar, kantong yang dipenuhi kado-kado untuk Kartini.
Patung itu berdimensi 50 sentimeter kali 50 sentimeter kali 45 sentimeter dengan bahan resin dan warna akrilik. Patung ini ditampilkan di sebuah pameran Bingkai Seni Bagimu Negeri–Semangat Berkarya di Era Pandemi (Dalam Rangka Memperingati Hari Kartini), di Perpustakaan Nasional, Jakarta, 19–30 April 2021.
”Saya melihat Kartini yang menyuarakan keadilan, Kartini dengan seluruh pemikiran yang ingin melepas keterbelakangan dan keterbelengguan. Kartini adalah sebuah kerja perenungan yang sangat dalam,” ujar Dolorosa Sinaga, Rabu (21/4/2021) di Jakarta.
Patung Bawa Kado untuk Kartini dibuat pada 2009. Gagasan awalnya seperti bentuk prosesi penyaliban Yesus Kristus yang sedang memanggul kayu salib. Patung itu dibuat untuk menjawab undangan pameran dalam rangka ulang tahun sebuah galeri di Jakarta.
Saat ini patung tersebut ditampilkan kembali, ketika kurator pameran, Fajar Sidiq Sukirnanto, mengundang Dolorosa. Melalui patung itu Dolorosa mengajak siapa pun untuk lebih proaktif menentang penindasan hak-hak terhadap perempuan seperti yang pernah disuarakan Kartini.
”Konteks perempuan pada masa sekarang mengalami kemunduran,” ujar Dolorasa.
Dolorosa kemudian mengutarakan rasa keprihatinannya terhadap gerakan radikalisme yang melibatkan perempuan. Tidak hanya itu. Dari karya patung berikutnya yang berjudul, ”Bu ‘Lik (Tante) Mau ke Mana”, secara satire Dolorosa menyampaikan pandangan kritis terhadap perempuan di jajaran elite pemerintahan.
Patung itu dibuat pada 2003 dengan bahan resin dan serat berdimensi 80 sentimeter kali 80 sentimeter kali 56 sentimeter. Patung itu berbentuk lima figur perempuan mengenakan kostum dan selendang sama, menyandang tas sama, dan bentuk gerak yang hampir sama pula.
Itulah keseragaman perempuan yang sering dilihat Dolorosa di dalam satuan-satuan kerja pemerintahan. Ia mengkritiknya sebagai peran perempuan yang tidak tahu perjalanan mau ke mana.
”Pada periode sama, saya pernah membuat patung serupa yang saya beri judul, ’Drama Wanita’,” ujar Dolorosa, yang mengisyaratkan karyanya itu sebagai kritik sosial terhadap gerakan-gerakan perempuan yang tidak jelas arah dan tujuan kegiatannya.
Di pameran ini masih ada satu lagi patung Dolorosa yang diberi judul, ”Silent Scream”, berdimensi 35 sentimeter kali 30 sentimeter kali 98 sentimeter. Ia menggunakan bahan resin lapis dengan warna akrilik. Patung itu dibuat pada 2006.
”Karya ’Silent Scream’ terinspirasi peristiwa tsunami besar di Aceh pada 2004,” ujar Dolorosa.
Di dalam pameran ini karya patung Dolorosa bersanding dengan karya-karya 18 pelukis lain meliputi Jeihan Sukmantoro, I Nyoman Gunarsa, Popo Iskandar, Bramasto, Erika Hestu, Basuki Bawono, Titis Djabaruddin, Akbar Linggaprana, Yuma Shannelom, Elia Aryanus, Triwatty Marciano, Zufli Akmansyah, Irwan Widjayanto, Dede Mahyudin, Punto, Ary Okta, PongQ Hary Purnomo, dan Tiwiq Maria.
Semangat Kartini
Beragam corak lukisan ditampilkan di dalam pameran ini. Kurator Fajar Sidiq menyebutnya sebagai semangat Kartini. Tidak semua karya mengacu wacana atau tema Kartini.
”Sebagian karya lukisan berada di luar wacana Kartini, tetapi perspektifnya menyatakan cita rasa Kartini. Prioritas dari pameran ini pada silaturahmi,” ujar Fajar, seraya mengimbuhkan, pameran diselenggarakan Himpunan Artis Pengusaha Indonesia (Hapsi).
Pameran ini pula lebih dari sekadar merayakan Hari Kartini, tetapi sekaligus menunjukkan kekuatan dan semangat berkarya di masa pandemi Covid-19. Masa-masa pandemi menjadi waktu yang optimal bagi seniman untuk berkarya.
”Justru pada masa pandemi, waktu dimanfaatkan seniman dengan kerja yang lebih optimal dan harapannya, peluang pasar pun dihidupkan,” kata Fajar.
Dolorosa dengan tiga karya patungnya memiliki latar pemikiran kritis dan satire. Tidak semua peserta pameran menempuh hal sama. Pelukis Akbar Linggaprana menampilkan empat lukisan perempuan dengan membangun romantisme.
Salah satu di antaranya berjudul, ”Wulan Merindu” (2021). Lukisan itu di atas kanvas berukuran 100 sentimeter kali 100 sentimeter, berupa seorang perempuan berdandan sebagai penari dan berselendang.
Mata perempuan itu terkatup. Ia duduk bersimpuh. Di belakangnya terdapat bulan penuh. Dari sini rupanya Akbar Linggaprana merengkuh judul, ”Wulan Merindu”.
Dengan gaya hampir sama, Akbar menampilkan lukisan yang diberi judul, ”Sedekah Laut” (2021). Sosok perempuan dengan latar bulan penuh berada di dasar laut. Akbar melukis ikan-ikan berseliweran di dekat perempuan itu.
Begitu pula, dengan lukisan yang diberi judul, ”Bulan Separuh Bayang” (2021). Akbar melukiskan seorang gadis duduk dan ditemani seekor burung. Di latar belakang gadis itu ada bulan yang tampak separuh. Itulah, ”Bulan Separuh Bayang”.
Ada peserta pameran melukiskan figur perempuan bersama sosok Kartini. Pelukis Basuki Bawono dengan karya berjudul, ”Sang Srikandi” (2021), melukiskan seorang gadis dengan penutup telinga sedang mengarahkan sepucuk pistol. Itulah, Srikandi.
Di belakang gadis itu terdapat lukisan foto Kartini dengan separuh badan dan berukuran lebih besar. Di sebelah kiri Kartini terdapat rangkaian bunga mawar merah. Di bawahnya ada rangkaian bunga mawar putih.
Pelukis Triwatty Marciano menampilkan karya yang diberi judul, ”Best Friend”. Ia melukis seorang gadis dan seekor kuda yang sedang berjalan beriringan. Keduanya dilukiskan serba putih.
Lukisan Triwatty lainnya diberi judul, ”Harmoni”. Ia melukiskan seorang gadis berkostum merah yang sedang mengelus kepala seekor kuda.
Tokoh perempuan dominan menghiasi karya-karya lukisan yang dipamerkan berikutnya. Seperti karya Irwan Widjayanto yang diberi judul, ”Tari Bedoyo Pangkur”. Lukisannya yang lain diber judul, ”Figur Penari Gambyong”. Irwan melukiskan secara realisme perempuan-perempuan penari itu.
Pelukis Tiwiq Maria menampilkan karya lukisan perempuan dengan corak dekoratif. Pelukis Ary Okta memberi sentuhan lain. Ia menghadirkan lukisan-lukisan yang diberi nuansa kepekaan terhadap lingkungan hidup.
Karya Ary Okta di antaranya melukiskan pepohonan yang memiliki mulut dengan deretan giginya. Ary Okta ingin menunjukkan pepohonan adalah makhluk hidup seperti kita.
”Di sinilah Semangat Kartini menghubungkan satu sama lain. Karya-karya itu bagian dari kebangkitan seniman pada masa pandemi Covid 19,” ujar Fajar Sidiq.
Beberapa lukisan maestro disertakan di dalam pameran ini. Di antaranya karya lukisan Jeihan Sukmantoro, Nyoman Gunarsa, dan Popo Iskandar. Bagi Fajar, lukisan-lukisan maestro menjadi suluh semangat dalam berkarya. Para maestro berhasil mengatasi persoalan estetika karya dan pasar yang kemudian menyerapnya.