Mengolah Tubuh Keaktoran
Pandemi Covid-19 menghapus intensitas pentas seni pertunjukan apa pun di panggung yang berpotensi mendatangkan kerumunan. Dalam kondisi itu, Sha Ine Febriyanti (45) mengobati rindunya untuk memproses tubuh keaktoran.
Masa pandemi Covid 19 menghapus intensitas pentas seni pertunjukan apa pun di panggung yang berpotensi mendatangkan kerumunan. Senyampang hal itulah, aktris Sha Ine Febriyanti (45) mengobati rindunya untuk berproses mengolah tubuh keaktoran bersama.
“Sejak lama saya merindukan adanya kegiatan proses mengolah tubuh keaktoran, bukan semata duduk bersama dan membicarakan sebuah produksi pentas,” demikian Ine, membuka percakapan di Huma Art Center milik Huma Ark, sekolah kesenian yang ia dirikan di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (11/6/2021).
Proses tidak akan pernah membohongi hasil. Dengan kedalaman dan proses panjang untuk pementasan apa pun, niscaya hasilnya akan diingat penonton di sepanjang usianya. Ine, yang pernah berperan sebagai Nyai Ontosoroh dalam film Bumi Manusia (2019) garapan sutradara Hanung Bramantyo, meyakini itu. Proses jauh lebih penting ketimbang hasil.
Salah satu bentuk kedalaman dan proses panjang dunia seni peran itu dengan mengolah tubuh keaktoran. Ia memendam kerinduan itu hingga awal 2021, Ine berhasil membuat program Huma Ark dengan dua kelas yaitu Performer Laboratory dan Gym for Actors.
Performer Laboratory berlangsung tiga hari dengan narasumber para tokoh seni pentas. Di antaranya pernah hadir pendiri Teater Garasi Yudi Ahmad Tadjudin dan dalang Nanang Henri Proyanto.
Perbincangan Jumat sore itu menjelang hari ke-5 kelas Gym for Actors yang diselenggarakan selama enam hari, antara 7 -12 Juni 2021. Ada 18 peserta mengikuti kelas ini. Gym for Actors adalah kegiatan olah tubuh keaktoran yang dilangsungkan selama empat jam dalam sehari, yaitu antara pukul 16.00 – 18.00 dilanjutkan pukul 19.00 – 21.00. “Kali ini kelas Gym for Actors menggunakan metode Suzuki,” ujar Ine.
Metode Suzuki mengacu pada ajaran atau metode olah tubuh oleh Tadashi Suzuki (82) dari Jepang. Suzuki menjadi salah satu tokoh teater terkemuka dunia saat ini. Bagi Ine, bersentuhan pertama kali dengan olah tubuh metode Suzuki terjadi pada tahun 2015 di Tulang Bawang Barat, Lampung.
“Di Lampung saya latihan bersama Teater Satu dan sangat tertarik dengan metode Suzuki yang dipakai waktu itu. Selanjutnya, pada 2019 saya mengikuti latihan ini di tempat asalnya di Toga, Jepang,” ujar Ine, yang melihat salah satu gerakan penting metode ini adalah mengentakkan kaki sekuat-kuatnya ke bumi tanpa disertai getaran atau gerakan dari perut ke atas.
Metode Suzuki menyasar pentingnya membangkitkan energi utama yang berada di perut bagian bawah pusar. Ine waktu itu ikut sebagai peserta SCOT (Suzuki Company of Toga) Summer Season 2019.
Dari seluruh dunia saat itu hanya 30 orang yang lolos seleksi untuk belajar metode Suzuki selama dua sampai tiga minggu di Jepang. Usai mengikuti latihan itu, Ine tak otomatis memiliki lisensi untuk mengajarkannya. Akan tetapi, saat ini di Indonesia sudah ada 11 orang yang memiliki lisensi untuk mengajarkan metode Suzuki. Salah satunya Aditya yang menjadi pengajar di Huma Ark.
Di Lampung saya latihan bersama Teater Satu dan sangat tertarik dengan metode Suzuki yang dipakai waktu itu. Selanjutnya, pada 2019 saya mengikuti latihan ini di tempat asalnya di Toga, Jepang. - Sha Ine Febriyanti
Energi primitif
Ine mengutip Suzuki yang pernah menyatakan, metode olah tubuh yang diajarkan sebetulnya untuk membangkitkan energi primitif pelakunya. Energi primitif yang secara positif menunjang keaktoran, itu, diserap Suzuki dari seni tradisi Jepang, seperti Noh dan Kabuki.
“Pada dasarnya, metode ini seperti olah raga yang bisa membuat orang berkeringat, detoksifikasi, bisa sehat, dan membuat tidur lebih nyenyak. Akan tetapi, gerak tubuhnya memang lebih ditujukan untuk menunjang keaktoran,” tutur Ine.
Contoh gerakan yang diajarkan Suzuki yaitu mengentak dan memijak bumi dengan intensitas tinggi. Bagi Ine, ketika hal itu berulang-ulang dilakukan akan seperti meditasi atau belajar naik sepeda. Akan ada kesadaran tertentu yang muncul di situ.
Kesadaran ini sulit diajarkan hanya dengan kata-kata. Kesadaran seperti itu akan diperoleh seraya mempraktikkannya.
“Kesadaran seperti itu sulit untuk diberitahukan sebelumnya. Ini benar saya rasakan bisa menunjang keaktoran saya,” ujar Ine, yang pernah mempraktikkan dua jam setiap hari selama dua bulan penuh melakukan gerakan-gerakan metode Suzuki.
Ine waktu itu mendapat tawaran satu pentas di panggung untuk memainkan peran tokoh wayang Dewi Amba. Ine menerima naskah peran itu, tetapi tidak kemudian hanya membaca atau menghapalnya.
Ine mendatangi sutradara dan menanyakan perihal peran Amba seperti apa yang diinginkan. Di dalam kisah pewayangan, Dewi Amba merupakan sosok perempuan yang menaruh kutukan dendam terhadap Resi Bisma. Resi Bisma merupakan tokoh tak terkalahkan karena teramat sakti. Amba berhasil memenuhi kesumatnya dan akhirnya menitis ke Srikandi untuk membunuh Resi Bisma di peperangan Bharatayudha.
“Saya merasa latihan metode Suzuki memberi manfaat besar ketika diminta memerankan tokoh wayang Amba. Seperti gerakan kaki mendhak (posisi lutut tertekuk) sebelumnya sudah biasa saya lakukan di dalam gerakan metode Suzuki,” ucap Ine.
Suzuki mengajarkan sebuah kesadaran keaktoran. Bagi Ine, kesadaran itu membuat diri kita berjarak dengan ketubuhan kita. “Kita akhirnya melampaui dan berjarak, lalu bisa melihat ketubuhan kita dengan seimbang,” ucap Ine.
Bagaimana bisa menjadi sebuah karakter kalau masih terhenti pada berpikir tentang naskah di sebuah pentas? Olah tubuh keaktoran harus turut melampaui hal itu dan menjadi sebuah karakter. -- Sha Ine Febriyanti
Hal ini membawa refleksi tersendiri bagi Ine. Seperti ketika memainkan suatu peran di dalam teater, olah tubuh keaktoran melampaui segala hal yang dibutuhkan secara holistik.
“Bagaimana bisa menjadi sebuah karakter kalau masih terhenti pada berpikir tentang naskah di sebuah pentas? Olah tubuh keaktoran harus turut melampaui hal itu dan menjadi sebuah karakter,” ujar Ine.
Ujung dari semuanya itu bermuara pada usaha melahirkan magnetisme atau daya pukau di panggung pentas. Ine menyebutnya sebagai taksu atau kharisma seorang pemeran di panggung. Dengan taksu itu, pemeran menyerap energi penonton dan mengembalikan energi itu kepada penonton.
“Panggung memiliki misterinya tersendiri. Keseriusan dalam proses mengolah tubuh keaktoran seperti tatapan jarak dekat atau close up pada film-film,” ujar Ine.
Memberi pengaruh
Beberapa peserta Gym for Actors sore itu menceritakan pengalamannya selama lima hari mengikuti latihan gerakan metode Suzuki. Mereka merasakan gerakan itu memberi pengaruh di dalam peran keaktoran masing-masing. Para peserta sebagian besar pernah terlibat di dalam kelompok-kelompok teater atau dunia seni peran lainnya.
Kevin Royano (24) bercerita, gerakan metode Suzuki tidak sekadar membuat kemampuan berdirinya bertambah kuat. Akan tetapi, kemampuan pikiran untuk fokus juga bertambah kuat.
“Ada banyak gerakan metode Suzuki yang juga menambah memori gerak tubuh,” ujar Kevin, yang terkesan dengan pose mengerem getar tubuh sebagai dampak dari entakan kaki ke bumi.
Ketika kaki dientakkan ke bumi, gerakan metode Suzuki mengharuskan bagian perut ke atas tetap terdiam. Tidak mudah mengendalikan bagian itu untuk tetap terdiam. Bagi Kevin, pose ini mengajarkan kemampuan tubuh untuk mengontrol diri. Hal ini sebagai upaya menguasai ketubuhan yang sangat relevan di dalam dunia seni peran.
Arsyaf Syarif (28) menambahkan, gerak bahunya sekarang menjadi lebih terkontrol. Menurut dia, dalam pentas teater sebelumnya ia tidak pernah menyadari pentingnya mengontrol gerak bahunya.
Sesuai metode Suzuki, bahu merupakan salah satu bagian di atas perut yang harus terdiam saat kaki dientakkan. Arsyaf menyadari, kontrol terhadap gerak bahu itu penting untuk menjaga fokus.
Ifan Rivadil (34), salah satu peserta yang berpengalaman di bidang tata rias artis, mengikuti program ini karena ingin merasakan dunia seni peran. “Saya ingin mengetahui apa saja yang terhubung antara seni make up dengan dunia seni peran,” ujar Ifan.
Aisha Nurra Datau (17), anak sulung Sha Ine Febriyanti, turut pula menjadi peserta Gym for Actors kali ini. Ada tambahan energi yang dirasakan Nurra selama menjalankan gerakan metode Suzuki. Energi itu tidak hanya penting bagi dunia peran yang juga digelutinya.
“Sekarang ini saya juga sedang belajar olah raga tenis lapangan. Ketika gerakan tertentu saya sertai entakan kaki seperti pada metode Suzuki, ternyata pukulan tenis menjadi lebih mantap,” ujar Nurra, yang pernah bermain di film Iqro : Petualangan Meraih Bintang (2019) dan Iqro : My Universe (2019).