Monolog di Tepian Sejarah
Sejarah lebih banyak mencuatkan kisah pemimpin atau orang-orang besar. Rangkaian seri monolog ”Di Tepi Sejarah” mempersembahkan kisah tak kalah besar dari rakyat biasa di tepian peristiwa kemerdekaan republik ini.
Sejarah lebih banyak mencuatkan kisah pemimpin atau orang-orang besar. Rangkaian seri monolog Di Tepi Sejarah mempersembahkan kisah tak kalah besar dari rakyat biasa di tepian peristiwa kemerdekaan republik ini. Semua mengharukan, tetapi membuat kepala kita makin tegak dan hormat.
Sepinya, Sepi menjadi judul monolog berdurasi 36 menit 11 detik, menampilkan Laura Basuki membawakan naskah yang disusun Ahda Imran. Laura memerankan seorang perempuan veteran yang di masa pecah perang fisik revolusi kemerdekaan ikut berperang dengan menyaru sebagai prajurit laki-laki bernama Mochamad Moeksin.
Dialah The Sin Nio (1915-1985), puteri peranakan Tionghoa asal Wonosobo, Jawa Tengah. Ketika itu, Sin Nio membebat dadanya untuk menyaru sebagai prajurit laki-laki dan bergabung bersama para pejuang gerilya. ”Perang dan revolusi hanya milik kaum laki-laki,” begitu tutur Sin Nio, dalam naskah monolog karya Ahda Imran.
Sin Nio berjuang di kesatuan Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18. Ia turut bergerilya di pinggiran Wonosobo dalam usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.
Di internet mudah ditemukan gambar Petikan Surat Keputusan Nomor 956/VIII/1981 tentang Pengakuan, Pengesahan, dan Penganugerahan Gelar Kehormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI atas nama Mochamad Moeksin. Surat keputusan diberikan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata.
Nama Mochamad Moeksin tidak lain adalah Sin Nio. Ia pedih perih memperjuangkan pengakuan negara terhadap masa lalunya itu. Hingga akhir hayatnya, Sin Nio memilih hidup menjadi warga miskin di Jakarta. Ia seorang diri tinggal di gubuk pinggir rel sekitar Stasiun Juanda, Jakarta.
Sin Nio tidak mau kembali ke Wonosobo. Ia tidak ingin merepotkan anak-cucunya. Jasad Sin Nio dimakamkan di Rawamangun, Jakarta Timur. Akan tetapi, jejak nisannya sudah terhapus dan sekarang sulit dilacak.
Saya juga menemui keturunan Sin Nio di Wonosobo yang masih memproduksi kue mangkuk.
”Naskah Sin Nio saya buat antara lain berpijak pada kliping majalah Sarinah, Agustus 1984, yang dikoleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Tangerang Selatan. Saya juga menemui keturunan Sin Nio di Wonosobo yang masih memproduksi kue mangkuk,” ujar Ahda Imran dalam perbincangan lewat telepon, Kamis (26/8/2021) di Bandung.
Bagi Ahda, keberadaan Sin Nio itu nyata dan sungguh pas dengan tema seri monolog Di Tepi Sejarah. Sin Nio bagian dari sejarah kemerdekaan republik ini. Akan tetapi, sepak terjangnya berada di tepian sejarah dan jarang diketengahkan.
Di akhir monolog dituliskan, ”Dalam kesendiriannya di Jakarta, tahun 1985 The Sin Nio wafat pada usia 70 tahun, dimakamkan di TPU Layur Rawamangun, Jakarta. Makam Sin Nio tak bisa lagi ditemukan karena sudah tertimpa makam-makam lainnya.”
Teater digital
Monolog Sepinya, Sepi menjadi bagian pementasan teater digital yang tayang di Youtube dalam program Budaya Saya oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ada empat seri monolog Di Tepi Sejarah ditayangkan dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan RI 2021.
Happy Salma melalui Yayasan Titimangsa yang dipimpinnya, bersama lembaga KawanKawan Media, memprakarsai pementasan yang berlangsung 18-25 Agustus 2021. Setiap satu seri monolog ditayangkan di Youtube Budaya Saya selama dua hari. ”Bulan depan seri monolog ini masih bisa disaksikan melalui kanal Indonesiana,” ujar Happy Salma.
Bulan depan seri monolog ini masih bisa disaksikan melalui kanal Indonesiana.
Gagasan ini terbit ketika Happy selesai menggarap monolog Aku Istri Munir untuk peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional, November 2020. Naskahnya ditulis Seno Gumira Ajidarma, bercerita tentang Suciwati, istri Munir. Monolog Aku Istri Munir saya mainkan di ruang kecil, sebuah kamar di sebuah rumah. Niat awalnya, pentas ini persembahan kecil bagi perjuangan Suciwati Munir,” ujar Happy.
Pementasan itu memercikkan gagasan untuk menemukan jalan lain merawat ingatan tentang sejarah bangsa yang tidak dikenang. Lahirlah seri monolog Di Tepi Sejarah dengan pementasan di ruang maya yang tidak kehilangan ruh panggungnya.
Riset dan penulisan naskah dikerjakan selama Desember 2020 hingga Februari 2021. Pada April 2021 dimulailah latihan pentas, hingga bulan berikutnya perekaman pentas di Gedung Kesenian Jakarta.
Seri monolog pertama, ”Nusa yang Hilang”, adalah hasil kolaborasi Ahda Imran bersama Kamila Andini. Naskah berpijak pada otobiografi Muriel Stuart Walker (1898-1997), Revolusi di Nusa Damai.
Muriel dikenal sebagai Ketut Tantri. Ia juga memiliki julukan lain, Soerabaja Sue. Ini berkat provokasinya lewat siaran radio menggugat serangan Inggris dan Belanda di Surabaya pada 1945.
Chelsea Islan memerankan monolog perempuan kelahiran Skotlandia itu. Muriel di masa remaja tinggal dan tumbuh di Amerika Serikat. Selama tinggal di Amerika, Muriel pernah menyaksikan film berjudul Bali, The Last Paradise. Film ini seperti promosi keindahan Bali sebagai wilayah koloni Hindia Belanda.
Muriel terkesima ketika menyaksikan hotel tempat menginap pertama di Bali yang hanya dipenuhi orang Eropa kulit putih.
Laman Historia.id menuliskan, Muriel tiba di Bali pada 1930-an. Muriel terkesima ketika menyaksikan hotel tempat menginap pertama di Bali yang hanya dipenuhi orang Eropa kulit putih. Orang berkulit sawo matang hanya menjadi pelayan di hotel tersebut. Ada diskriminasi.
Peristiwa itu memercik gairah perlawanan Muriel terhadap diskriminasi rasialisme di Bali. Perlawanan terus memuncak melawan hegemoni orang kulit putih. Muriel pun mendirikan penginapan di Kuta dan menentang diskriminasi itu. Ini memperuncing perselisihannya dengan orang-orang Hindia Belanda.
Perlawanan demi perlawanan terhadap orang Belanda mengantar Muriel makin dekat dengan orang Bali. Hingga suatu ketika seorang raja Bali menjadikan Muriel sebagai anak angkat dan memberinya nama Ketut Tantri.
Chelsea Islan menggulirkan kisah Ketut Tantri yang terus berujar, sejarah akan berulang. Ia menceritakan riwayat nenek Ketut Tantri di Skotlandia. Neneknya dituduh sebagai tukang sihir. Hukumannya mengerikan. Ketika itu, neneknya dimasukkan di sebuah tong. Tong itu ditusuk beberapa paku, kemudian ia digulingkan dari atas bukit hingga kaki bukit. Tak terbayang siksaan bagi nenek yang ikut terguling-guling di dalam tong tertusuk paku-paku itu.
Kepedihan nenek menguatkan Ketut Tantri. Suatu ketika, ia berpindah ke Surabaya di masa perjuangan kemerdekaan 1945. Ia masih memilih jalan menentang imperialisme Barat. Ia menjadi penyiar radio dan memprovokasi penolakan terhadap imperialisme Barat.
Perjalanan Ketut Tantri belum usai. Ia menghabiskan masa tuanya di sebuah panti jompo di Sydney, Australia. Ia wafat pada 27 Juli 1997. Setahun kemudian, Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra Nararya bagi Ketut Tantri.
Irisan sejarah
Masih ada dua monolog berikutnya. Monolog ”Radio Ibu” memiliki irisan sejarah terhadap kehidupan pribadi Presiden Soekarno. Ini tentang Riwu Ga (1918-1996) asisten pribadi Soekarno. Keduanya bertemu di masa pengasingan Soekarno di Ende, Flores, 1934-1938.
Riwu Ga diperankan Arswendy Bening Swara. Sesekali ia memerankan diri sebagai Soekarno ketika memanggil-manggil Riwu Ga.
Riwu Ga mendapat hadiah peninggalan sebuah radio dari istri Soekarno, Inggit Garnasih, ketika terjadi perceraian Soekarno-Inggit. Riwu Ga merawat radio itu hingga ia harus kembali ke kampung halaman di Nusa Tenggara Timur dan menjadi petani jagung.
Naskah monolog ini ditulis Felix Nesi. Ada kegetiran mengenai peran penting Riwu Ga yang tidak mendapat penghormatan layak. Felix Nesi menuliskan, ”Riwu Ga meninggal pada 17 Agustus 1996, sore hari, di usia 78 tahun. Ia dimakamkan di TPU Mapoli, Airnona, Kupang, sebagai petani jagung.”
Monolog terakhir diberi judul Amir, Akhir Sebuah Syair. Ini tentang penyair Amir Hamzah (1911-1946), yang diperankan Chicco Jerikho. Iswadi Pratama menuliskan naskah monolog ini.
Chicco, selain memerankan Amir Hamzah, juga menjadi Ijang Widjaja. Ijang amat dekat dengan Amir Hamzah di masa kecil. Ia bahkan mengajari Amir berlatih silat. Akan tetapi, Ijang pula yang dipaksa menebas Amir dengan parang hingga tewas.
Iswadi menutup monolog itu. ”Maret 1946, revolusi sosial pecah di Sumatera Timur. Istana Binjai mencekam. Amir yang saat itu menjabat sebagai Bupati Binjai dijemput dan tak pernah kembali. Lalu, datang kabar Amir telah dibunuh di perkebunan Kuala Begumit, Langkat.”
Kisah yang terpatri di dalam empat seri monolog Di Tepi Sejarah ini mungkin selalu berada di tepian sejarah bangsa ini. Akan tetapi, kisah-kisah itu berjalan di tengah-tengah perjuangan kemanusiaan.