Album Senjutsu merayakan kesembuhan Bruce dari segala penyakit yang pernah menderanya sekaligus menandai kembalinya pioner “gelombang baru heavy metal Inggris” yang mereka awali sejak dekade 1980-an.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Band heavy metal kawakan Iron Maiden kembali mengeluarkan album penuh bertitel Senjutsu pada Jumat (3/9/2021). Formula album ini adalah pengembangan dari album sebelumnya, The Book of Souls (2015). Album studio ke-17 ini jadi simbol kebangkitan sang vokalis Bruce Dickinson setelah terkena kanker di sekitar pangkal lidah, juga sempat terpapar Covid-19.
Album Senjutsu berisi 10 lagu, tapi dengan durasi rata-rata lagu sekitar delapan menit. Yang terpanjang ”The Parchment” dengan durasi 12 menit 39 detik. Jadi inilah album panjang. Format CD-nya dua keping dan format piringan hitamnya tiga keping cakram. Ini serupa dengan The Book of Souls yang durasi totalnya mencapai 92 menit itu.
Menyimak komposisi setiap lagu, album ini bisa disalahartikan sebagai album bercorak rock progresif jika tidak mempertahankan riff gitar ala metal dan lolongan khas Bruce. Tema lagu tak banyak beranjak dari epos zaman dulu yang berhasil mengayun ke ancaman keruntuhan peradaban masa depan. Senjutsu memuat itu semua.
Satu hal menarik dari album ini adalah maskot monster bernama Eddie yang di sampulnya bergaya bak samurai Jepang lengkap dengan katana-nya. Bentuk tulisan ”Senjutsu” pun mengadopsi aksra Jepang, yang terbaca dari atas ke bawah. Ini adalah ide basis Steve Harris, mastermind musikalitas Iron Maiden sekaligus rekan Bruce dalam menulis lirik lagu.
Eddie sang monster itu berganti-ganti tema tampilan di sepanjang katalog Iron Maiden. Ia pernah tampil sebagai monster luar angkasa di album Somewhere in Time (1986), pernah jadi mumi dan Sphinx di album Powerslave (1984). ”Eddie telah menyaru dalam banyak tradisi. Kini dia kembali seperti tokoh dalam sejarah Jepang,” kata Bruce kepada Apple Music.
Jepang adalah salah satu pasar terbesar Iron Maiden. Pemuja mereka di ”Negara Matahari Terbit” itu tergolong fanatik. Iron Maiden pernah mengeluarkan mini album Maiden Japan pada tahun 1981, 40 tahun lalu. Senjutsu sendiri punya arti harafiah ’strategi’ atau ’taktik’. ”Tapi lagu-lagu di album ini tak melulu berhubungan dengan kebudayaan negara itu,” lanjut Bruce, sang pilot Boeing 747 ini.
Album ini dibuka dengan lagu berjudul sama dengan albumnya. Intronya diisi dengan tetabuhan perkusi khas Jepang, taiko, yang bunyinya terasa berdimensi itu. Bunyi tetabuhan taiko itu berlangsung cukup lama. Band veteran ini sudah tahu betul caranya membangun tensi, perlahan saja, tapi makin lama makin menanjak. Bruce mengisi vokalnya dalam harmoni dua pola. Dia bilang, ini bakal cocok jadi lagu pembuka konser kelak.
Singel unggulan album ini adalah trek ketiga berjudul ”The Writing on the Wall”. Lagu berdurasi enam menit ini dibuka dengan nuansa akustik dan mengandung warna southern blues. Memasuki paruh kedua lagu, melodi gitar elektrik menyayat, berpadu dengan ritem gitar akustik, membuatnya terdengar megah. Ini seperti hibrida album A Matter of Life and Death (2006) dan Brave New World (2000).
Lagu terpanjang ”The Parchment” ibarat dinamit, terbakar perlahan lalu memuncak ketika trio gitaris Adrian Smith, Dave Murray, dan Janick Gers berbagi solo gitar sepanjang lima menit.
Perjalanan panjang ”The Parchment” ini ditutup dengan nomor pamungkas ”Hell on Earth” yang sudah mengentak di sepertiga lagu. Nomor ini tepat sebagai penutup, pemberi kesimpulan pada cerita di sembilan lagu sebelumnya. Bruce menyanyikan larik ini seperti mengucapkan selamat tinggal, ”On the other side I’ll see you again in heaven/Far away from this hell on Earth”.
Proses rekaman
Dikutip dari laman resmi Iron Maiden, Steve Harris menceritakan, album ini memang dijejali komposisi kompleks. ”Sehingga kami memang bekerja keras untuk mewujudkan bunyi yang benar-benar kami inginkan. Kupikir kami berhasil melakukannya. Aku bangga dengan hasilnya dan tak sabar mempertontonkannya kepada penggemar,” ujar Steve.
Band yang terbentuk di kawasan Leyton, London, Inggris, tahun 1975 ini mengerjakan album terbaru mereka di studio Guillaume Tell di Perancis, tempat yang sama ketika mereka merekam The Book of Souls. Menurut Steve, rancang bangun studio ini menyuguhkan suasana rileks. Studio ini adalah bekas bioskop dengan langit-langit yang tinggi. Akustik ruangannya sangat mumpuni.
”Segala yang ada di studio itu sangat sempurna bagi kebutuhan kami. Di sana, kami mulai menulis lagu, mencobanya, dan segera merekam satu demi satu ketika lagu baru itu masih segar di kepala setiap personel,” lanjut Steve.
Mereka mulai mengerjakan album ini di sela-sela rehat tur Legacy of the Beast yang dimulai sejak Mei 2018. Menurut Bruce, berada di dalam satu studio bersama-sama bisa memaksimalkan penampilan di lanjutan tur sekaligus menyiapkan materi terbaik untuk album.
”Memang, wabah (Covid-19) menghambat banyak hal. Tapi itu justru memberi waktu lebih bagi kami menyiapkan segalanya lebih teliti. Jangan-jangan, rehat ketika pandemi adalah strategi kami,” ujarnya.
Album Senjutsu adalah album pertama yang direkam Bruce setelah menjalani operasi kanker, yang dia bilang, ”tumor seukuran bola golf tepat di pangkal bawah lidahnya”. Dia tidak tahu sejak kapan gumpalan itu hidup di sana. Tumor itu sukses diangkat lewat operasi pada 2015.
Kepada Ultimate Classic Rock, Bruce mengungkapkan, vokalnya menjadi lebih bertenaga setelah gumpalan itu diangkat. ”Seperti ada ruang lebih lebih lega di kerongkonganku. Hambatan (tumor) itu sudah terlepas. Setelah operasi, suara itu masih buruk seperti monster yang sekarat. Tapi dua-tiga bulan kemudian rasanya plong. Aku lebih bisa mencapai nada-nada tinggi,” kata Bruce yang menjajal hasil operasi itu dengan menyanyikan lagu klasik mereka ”Run Through the Hill”.
Suaranya telah pulih. ”Aku jadi tenang, tak lagi panik, karena tahu suara itu masih ada di sana. Oke, mari melaju lagi,” ujarnya.
Pada pertengahan Agustus lalu, Bruce juga menyatakan dirinya terpapar Covid-19, padahal dia sudah divaksin. Vokalis berusia 63 tahun ini merasa badannya tak keruan seperti flu. ”Aku yakin, andai saja aku belum divaksin, dampaknya pasti lebih buruk,” katanya.
Album Senjutsu merayakan kesembuhan Bruce dari segala penyakit yang pernah menderanya. Sekaligus, album ini menandai kembalinya pioner ”gelombang baru heavy metal Inggris” yang mereka awali sejak dekade 1980-an dulu. Up the irons!