Candyman, Hantu Lintas Zaman yang Terus Relevan
Film Candyman sebelumnya telah diproduksi sebanyak tiga kali, dengan arahan sutradara dan sejumlah pemain berbeda. Hanya sang pemeran hantu Candyman, aktor Tony Todd, yang tak tergantikan.
Hantu legenda urban satu ini sepertinya memang punya kemampuan terus bangkit menyatroni dan membunuh siapa saja di tempat dan waktu berbeda. Terutama mereka yang masih percaya untuk memanggil namanya, Candyman, lima kali di depan cermin. Berani coba?
Legenda urban tentang Candyman memang masih lestari. Legenda itu terus hidup dari tiga film sebelumnya hingga kini yang terbaru, Candyman (2021).
Sosok hantunya pun masih serupa, pria jangkung kulit hitam bertangan kanan berupa kait gancu besi, yang dipakai sebagai senjata membunuh. Film horor ini memang masuk kategori horor bacok (slasher), dengan banyak adegan berdarah-darah.
Hantu Candyman dahulu konon tercipta dari arwah penasaran seorang pria keturunan budak kulit hitam, Daniel Robital. Pria yang hidup pada akhir abad ke-19 itu dibunuh dengan sadis oleh massa kulit putih, yang tak terima dan mengamuk setelah mengetahui hubungan terlarang Robital dengan seorang wanita kulit putih.
Tak hanya dianiaya, massa memotong tangan kanannya, lalu diganti dengan kait gancu besi. Tubuh Robital juga dilumuri madu agar lebah liar datang menyengatnya sampai mati. Jasadnya juga dibakar. Dengan kematian seperti itu, rohnya yang penasaran penuh dendam bersumpah menuntut balas. Candyman pun terlahir ke dunia.
Film Candyman sebelumnya telah diproduksi sebanyak tiga kali, dengan arahan sutradara dan sejumlah pemain berbeda. Hanya sang pemeran hantu Candyman, aktor Tony Todd, yang tak tergantikan. Pada seri terbaru kini pun Todd masih ditampilkan dengan dibantu efek khusus digital, yang menjadikan penampilannya kembali muda.
Pada film pertama, Candyman (1992) disutradarai Bernard Rose. Berturut-turut kemudian diikuti Candyman Farewell to the Flesh (1995) dan Candyman 3: Day of the Dead (1999), masing-masing disutradarai Bill Condon dan Turi Meyer.
Pada film keempatnya ini, cerita diawali dengan kehidupan harmonis sepasang kekasih, seniman dan kurator galeri seni Anthony McCoy (Yahya Abdul-Mateen II) dan Brianna Cartwright (Teyonah Parris).
Keduanya hidup bersama di sebuah apartemen mewah, yang berdiri di area bekas kawasan permukiman kumuh, Cabrini-Green, Chicago. Pada dekade 1970-an kawasan di Chicago itu digambarkan sebagai area tempat proyek rumah susun (rusun) milik pemerintah daerah didirikan.
Untuk kasus seperti itu, orang awam meyakini pembunuhan dilakukan Candyman.
Rusun kumuh tersebut menjadi tempat tinggal kaum minoritas dan terpinggirkan. Lokasinya juga dikenal sangat rawan kejahatan. Banyak peristiwa kriminal terjadi, termasuk aksi-aksi pembunuhan.
Beberapa kasus pembunuhan sadis bahkan terjadi berantai dan memakan banyak korban. Kasus-kasus itu ada yang tak pernah terungkap, atau kalaupun ada orang yang dicurigai lalu ditangkap, polisi tak punya cukup bukti. Untuk kasus seperti itu, orang awam meyakini pembunuhan dilakukan Candyman.
Candyman alias roh Robital diyakini masih bergentayangan dan mengutuk lokasi tersebut. Dia masih terus bertekad menuntut balas atas kematiannya yang tragis. Setelah dibakar, abu jasad Robital diyakini ditebar di area sekitar tempat kompleks rusun Cabrini-Green didirikan.
Cerita urban tentang hantu pembunuh yang masih bergentayangan itu belakangan menarik minat sang pelukis, Anthony. Dia coba menggali kisah sang hantu pembunuh itu dengan mendatangi kembali lokasi bekas bangunan kompleks rusun Cabrini-Green, yang sudah diratakan dengan tanah.
Temuan-temuan tentang kisah Candyman kemudian menginspirasi Anthony untuk produktif menghasilkan karya-karya seni baru. Namun, pada saat yang sama, Anthony justru memanggil kembali Candyman datang dan berujung pada sejumlah peristiwa pembunuhan sadis misterius.
Candyman punya tempat spesial dalam kehidupan berkarierku di dunia film. Sekarang setelah 27 tahun saya kembali dikontak untuk ikut terlibat lagi.
Koneksi antara Anthony dan Candyman juga semakin menguat. Dalam pencariannya terhadap Candyman ini, Anthony juga menemukan fakta mengerikan soal masa lalu ibunya, Anne-Marie McCoy, yang diperankan aktris sekaligus penyanyi Vanessa Williams.
Bersama pemeran hantu Candyman, Todd, Williams juga tampil di film Candyman (1992). Film itu sekaligus menjadi debut karier layar lebar Williams.
”Saat mendengar film akan dibuat lagi, saya sangat senang. Saya berharap bisa ikut kembali dilibatkan. Candyman punya tempat spesial dalam kehidupan berkarierku di dunia film. Sekarang setelah 27 tahun saya kembali dikontak untuk ikut terlibat lagi,” tutur Williams.
Baca juga : Akhir Teror Si Veteran Buta
Kisah abadi kekerasan
Di film keempat tentang Candyman ini, Nia DaCosta ditunjuk menjadi sutradara perempuan pertama kisah horor yang berasal dari cerita pendek karya penulis Clive Barker, The Forbidden. DaCosta belakangan menjadi sutradara perempuan berkulit hitam pertama yang filmnya masuk di posisi teratas box office.
”Sejak kecil saya memang sangat suka film-film horor. Saya bahkan tak bisa mengingat pada usia berapa saat itu saya mulai menonton film horor pertama kali. Akan tetapi, semua itu menjadi bagian dari kecintaan saya terhadap dunia film itu sendiri,” tutur DaCosta.
Di film terbaru ini, kisah dan kemunculan Candyman diceritakan terkait langsung kejadian pada tahun 1970-an, yang juga menjadi latar waktu film pertama tahun 1992.
Ide utamanya memang untuk menjadikan film ini tak lekang oleh waktu, sekaligus tepat (urutan) waktunya. Kisah tentang Candyman memang sangat menarik dan cocok untuk periode waktu kapan pun sehingga membuatnya abadi.
Sekadar kilas balik, pada Candyman (1992) dikisahkan tentang karakter mahasiswa pascasarjana Helen Lyle (Virginia Madsen). Seperti juga dilakukan Anthony, Helen tengah meneliti kisah legenda urban Candyman untuk keperluan tesisnya.
Ketertarikan Helen pada mitos yang terus dipercaya warga rusun kumuh Cabrini-Green itu membawanya ke kisah pembunuhan sadis Daniel Robital pada abad ke-19. Secara alur cerita, kisah karakter utama di film pertama dan keempat bisa dibilang mirip.
”Ide utamanya memang untuk menjadikan film ini tak lekang oleh waktu, sekaligus tepat (urutan) waktunya. Kisah tentang Candyman memang sangat menarik dan cocok untuk periode waktu kapan pun sehingga membuatnya abadi,” ujar DaCosta.
Seperti diketahui, hingga saat ini persoalan dan isu seputar diskriminasi dan kekerasan berlatar ras masih menjadi masalah di ”Negeri Paman Sam”. Gerakan Black Lives Matter (BLM) beberapa waktu lalu kembali menemukan momentum setelah diinisiasi tahun 2013.
Aksi solidaritas dan unjuk rasa meluas BLM kembali muncul setelah tewasnya pria kulit hitam, George Floyd, akibat tindakan petugas polisi Minneapolis berkulit putih, Derek Chauvin, tahun 2020. Floyd diringkus Chauvin, yang menekan lututnya ke leher Floyd dalam kondisi tertelungkup di aspal selama tujuh menit hingga membuat Floyd tewas.
Sejarah kekerasan seperti itu diyakini DaCosta akan selalu mengulang dirinya sendiri hingga menjadi sebuah siklus. Masyarakat cenderung secara kolektif memproses trauma dan kesedihan yang terjadi lewat cerita. Semua hal itulah yang kemudian menjadikan cerita tentang Candyman cocok dikisahkan kembali kapan saja.
”Pada satu tingkatan karakter Candyman memang dikenal sebagai sekadar mitos dan monster. Akan tetapi, seperti kita juga pahami, Amerika menciptakan monster-monster dari orang kulit hitam selama ini,” tambah DaCosta.
Menurut DaCosta juga, dirinya tertarik menceritakan kebenaran tentang rasa sakit yang terjadi di pusat kehidupan masyarakat kulit hitam di negeri tersebut. Tak hanya itu, dia juga ingin memberikan secercah cahaya pengharapan terhadap kekuatan kreativitas dan masyarakat kulit hitam yang ada.
Baca juga : Bertahan Menjadi Manusia di Ambang Kiamat