Perjodohan kolot, krisis identitas, tabunya edukasi seks di kalangan remaja, hingga jual beli keperawanan terselubung berkelindan dalam ”Yuni” yang tak hanya faktual di Indonesia, tapi juga berbagai belahan bumi.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Isu-isu kontekstual yang disampaikan lewat Yuni begitu sarat. Demikian pepat namun sineas-sineasnya menyusun kepingan persoalan dengan pemetaan yang rapi. Wajar jika film tersebut diganjar penghargaan nasional hingga global. Di balik itu, terselip harapan kaum marjinal menduniakan tuturan lokalnya.
Yuni (Arawinda Kirana), tokoh film yang berdurasi sekitar dua jam itu, tak henti-hentinya terseret pusaran kebingungan. Ia memendam selaksa pertanyaan yang tak jua menemukan jawabnya. Remaja itu bermukim di Serang, Banten, sementara orangtuanya mengais rezeki di Jakarta.
Ia diasuh Ende (Nazla Thoyib), neneknya yang tak tahu banyak soal masalah siswi SMA itu lantaran gap antarangkatan yang terlalu jauh. Jadilah Yuni lintang pukang sendiri menghadapi kebingungan tentang keperempuanan, pernikahan dini, dan keperawanan.
Lamaran berkali-kali menghampiri dari pemuda hingga pria setengah baya. Yuni curhat kepada gengnya yang tentu saja tergagap-gagap karena keterbatasan pengetahuan. Maklum, mereka tinggal di kampung dengan permukiman padat dan taraf hidup yang tak bisa dikatakan sejahtera.
Yuni sebenarnya gadis cerdas dengan bakat terhambat. Ia terus saja dilingkupi kegamangan yang tak semestinya mengganggu kegembiraan masa muda. Gadis itu masih kolokan menggelendoti bahu ayahnya, minta disuapi sang ibu, atau sekadar membaringkan kepala di pangkuan Ende.
Ia makin tenggelam dalam kemasygulan tatkala mendapati teman sebayanya, Tika (Anne Yasmine), sudah menikah, malah punya anak. Kemuraman bertambah sewaktu Sarah (Neneng Wulandari) dipaksa mengarungi bahtera perkawinan setelah difitnah kawanan pemeras.
Yuni, Tika, dan Sarah menganyam benang merah streotip perempuan dengan patriarki yang mengungkunginya. Betapa mereka tak berdaya menentukan hak atas pikiran maupun tubuhnya sendiri dengan dogma, bahan takhayul yang menghinggapi masyarakat suburban.
Tiga Kali
”Perempuan mah yang penting pinter di dapur, sumur, dan kasur. Sekolah tinggi-tinggi ngapain,” ujar tetangga Yuni sembari cengengesan. Lumrah jika kekritisan yang disuguhkan dalam Yuni lewat dialog-dialog berbahasa khas Banten, Jawa Serang (Jaseng), sungguh padat, namun tak terasa menjemukan.
Perjodohan kolot, krisis identitas, tabunya edukasi seks di kalangan remaja, hingga jual beli keperawanan terselubung lamaran pun berkelindan dalam Yuni yang tak hanya faktual di Indonesia, tetapi juga berbagai belahan bumi. Kepekaan itu terefleksikan dengan Catatan Tahunan Komnas Perempuan.
Dalam keterangan itu dicantumkan dispensasi nikah (perkawinan anak) pada tahun 2020 sebanyak 64.211 kasus berdasarkan data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung. Jumlah itu melonjak hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun 2019 sebanyak 23.126 kasus.
Lebih-lebih, mengemukanya kekerasan seksual terhadap perempuan di lingkungan satuan pendidikan berbasis agama belakangan ini, kian mencuatkan keaktualan pesan-pesan yang disampaikan lewat Yuni. Tak heran, film itu membuahkan berbagai apresiasi di dalam dan luar negeri secara beruntun.
Platform Prize umpamanya, diraih di Toronto International Film Festival 2021. Film itu juga dianugerahi Snow Leopard untuk aktris terbaik di Asian World Film Festival 2021. Di dalam negeri, Piala Citra untuk kategori pemeran utama perempuan terbaik menambah koleksi trofi untuk Yuni.
Kini, kerabat kerja Yuni menatap Academy Awards ke-94. Film tersebut menjadi perwakilan Indonesia untuk kategori Best International Feature Film. Pada puncak pergelarannya, pengumuman pemenang Piala Oscar itu akan diselenggarakan di Hollywood, Amerika Serikat, pada Maret 2022.
Saat ini, sekitar 100 film masih diseleksi. Jumlah itu akan dikerucutkan dalam short list atau daftar yang terdiri atas 12 film pada akhir Desember 2021. ”Buat tahap terakhir, lima atau enam film, akan diumumkan Januari nanti,” kata produser Yuni Ifa Isfansyah.
Diajukannya Yuni ke ajang sinematik yang dianggap paling prestisius itu serta-merta membangkitkan harapan masyarakat Banten. Jika melaju hingga final, kontrasnya sangat besar sekaligus unik. Jaseng yang belum diketahui banyak warga Tanah Air justru ditampilkan di pentas semegah Academy Awards.
Dikira kampungan
Pendiri dan Admin Komunitas Bahasa Jawa Serang Ahmad Fauzi menaruh harapan itu. Saat Ifa dan rekan-rekannya menyatakan niat membuat Yuni yang berbahasa Jaseng saja, sastrawan yang akrab disapa Qizink La Viza itu sudah berbahagia.
”Biasanya, film pakai bahasa Jawa, Sunda, atau Batak. Mana, Yuni menang lagi, di berbagai ajang internasional,” ujarnya. Jangankan negara lain, di Indonesia bahkan Banten saja, banyak warga yang masih terbata-bata bicara Jaseng. Populasi provinsi tersebut sekitar 12 juta jiwa.
Qizink menaksir, penutur bahasa itu sekitar 4 juta orang, tetapi tak semuanya aktif. Artinya, banyak warga terutama remaja, malu berbahasa Jaseng. ”Sering dikira kampungan. Suka diledek teman-temannya. Di tingkat nasional saja nyaris enggak dilirik, sekarang diangkat ke internasional,” kata Qizink.
Ia tak bisa membayangkan nukilan bahasa itu ditampilkan lewat Yuni dalam final Academy Awards, apalagi jika memenangkannya. ”Jadi perwakilan Indonesia buat menggondol Oscar, enggak pernah mimpi. Ibaratnya, orang Jaseng mendamba Oscar,” ujar Qizink sambil tertawa.
Nazla Thoyib sungguh tak menyangka film yang ia bintangi diputar di festival-festival mondial. Ikatan dengan Yuni sangat kuat karena aktris itu memang warga Serang. ”Berkah buat saya. Kalau dapat Piala Oscar, enggak kebayang. Pasti saya nangis,” katanya sambil tersenyum.
Kamila Andini mengawali pembuatan Yuni saat sutradara itu berbincang-bincang dengan asisten rumah tangganya pada tahun 2017. ”Bermula dari obrolan sederhana dengan ibu yang menikah waktu masih sangat muda sampai akhirnya saya menulis tentang Yuni,” ujarnya.
Perempuan itu baru berusia sekitar 35 tahun dan meminta izin untuk pulang ke Pemalang, Jawa Tengah. Ia hendak menyambut kelahiran anaknya yang sama-sama tak mampu menampik pernikahan dini. Pembicaraan tersebut sederhana, namun amat terpatri dalam benak Kamila.
Ia tak hendak mengacu provinsi mana pun dengan stigma akibat persepsi yang sempit. Kamila menujukkan filmnya untuk menyalakan liberasi. ”Saya menempatkan perempuan dengan kerapuhan dan kejujuran. Bukan heroik karena berelasi dengan banyak perempuan,” ucapnya.
Problematik jender masih terserak di tengah masyarakat urban hingga rural di Tanah Air. Pada akhirnya, ia tetap harus memilih kabupaten/kota tertentu sebagai latar Yuni. ”Kenapa Serang? Enggak bisa dijelaskan. Soal rasa, tapi saya tertarik karena ada pantai, pabrik, sampai bukit,” ujarnya.