Kisah Cinta dan Pengorbanan Seorang Ibu
Produser film ”Just Mom” Hanung Bramantyo yakin, seperti dirinya, ada banyak orang yang lekat dengan kisah dan sosok seorang ibu yang mencintai anak-anaknya di film ini.
Sosok ibu adalah segalanya bagi anak-anaknya. Walau tak harus lahir lewat rahimnya, naluri seorang ibu akan selalu mencintai, memelihara, serta membesarkan anak-anaknya tanpa syarat. Dengan kemuliaan itu, bahkan surga pun ditahbiskan berada di bawah telapak kakinya.
Kemuliaan cinta kasih, ketabahan, sekaligus ketulusan pengorbanan seorang ibu tadi menjadi inti cerita dalam film Just Mom. Film panjang terbaru sutradara muda asal Yogyakarta, Jeihan Angga, ini bergenre drama keluarga.
Jeihan sebelumnya membuat film panjang debutnya bergenre komedi, Mekah I’m Coming. Dalam film keduanya, dia menggaet aktor senior kawakan Christine Hakim, yang tentunya memerankan sosok utama, seorang ibu bernama Siti.
Karakter Siti digambarkan sebagai seorang janda pensiunan bidan berjiwa sosial tinggi, yang belum lama ditinggal berpulang sang suami. Dia memiliki tiga anak yang telah dewasa dan berkeluarga sekaligus nenek dari seorang cucu laki-laki.
Siti diceritakan tinggal bersama si bungsu, Jalu (Toran Waibro), dan seorang asisten rumah tangga perempuan, Mbak Sum (Dea Panendra). Sementara si anak sulung Pratiwi (Niken Anjani) dan anak kedua Damar (Ge Pamungkas) sudah punya kehidupan sendiri di kota berbeda.
Dalam jumpa pers sewusai tayang perdana untuk media (press screening), Kamis (20/1/2022), sutradara Jeihan dan sang produser Hanung Bramantyo dari rumah produksi Dapur Film mengungkapkan hal yang sama. Keduanya mengatakan sejak awal memang memprioritaskan aktor Christine Hakim untuk menjadi dan memerankan sosok Ibu Siti.
”Sejak awal skenario jadi, kami sudah mulai coba mencari siapa kira-kira yang akan memerankan sosok Ibu. Waktu itu yang kami pikirkan tidak ada lagi aktor yang cocok memerankannya selain Christine Hakim. Saya dan Mas Hanung lalu ketemu Bu Christine di TIM untuk minta kesediaannya main di film ini. Jadi, begitu Bu Christine mau, baru mikirin siapa (pemeran) yang lain,” ujar Jeihan tertawa.
Sosok ibu dalam film digambarkan sama dengan sosok para ibu lain di dunia nyata. Ibu yang kesepian setelah anak-anak mereka mentas beranjak dewasa dan punya keluarga masing-masing.
Dalam kesepiannya itu, Ibu Siti diceritakan mengambil sebuah langkah drastis memungut seorang perempuan hamil tunawisma dengan gangguan jiwa untuk dirawatnya di rumah. Sosok Murni tersebut diperankan Ayushita W Nugraha, yang juga pernah beradu akting dengan Christine di film Kartini (2017).
Langkah sang ibu memungut dan merawat orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) menjadi pemicu kekhawatiran anak-anaknya, terutama si sulung Pratiwi. Cerita pun lantas mengalir jernih, dengan dibumbui keharuan dan kesukacitaan yang terasa alami. Beberapa adegan seolah mencoba mengaduk perasaan penonton dengan halus, sekaligus membuat penonton mengingat sang ibu.
Untuk membuat alur cerita berjalan mulus dan tak terkesan dibuat-buat seperti itu, Jeihan mengaku melakukan banyak penyesuaian dan perubahan, baik dari sisi dialog maupun adegan. Tak jarang, penyesuaian adegan dan dialog berasal dari para pemain film.
Saat diminta menilai karakternya sebagai Ibu Siti, Christine sangat bersyukur diberi kesempatan memerankan sosok tersebut. Walau mengaku tak pernah mengalami menjadi seorang ibu dari anak-anak biologisnya sendiri, Christine menyebut sosok, peran, dan kecintaan seorang ibu terhadap anak-anaknya adalah tak dapat dibayangkan (beyond imagination).
Seorang ibu, menurut Christine, dituntut memiliki banyak peran mulai dari menjadi seorang pembimbing dan bahkan menjadi tulang punggung dari keluarganya. Seperti juga tergambar dalam karakter Ibu Siti, Christine menyebut sosok ibu kerap mengalah dan hampir tak pernah menuntut pada anak-anaknya.
Terjeda pandemi
Jeihan bercerita, proses pengambilan gambar film yang dilakukan pada tahun 2020 sempat mengalami kendala dan terjeda menyusul pengumuman resmi pemerintah bahwa Indonesia sudah memasuki masa pandemi. Proses shooting kemudian terpaksa terjeda selama empat bulan dari yang seharusnya tinggal sembilan hari lagi tuntas.
Lokasi pengambilan gambar beberapa adegan dikabarkan juga berpindah, seperti dari yang awalnya direncanakan di kawasan Candi Borobudur menjadi Candi Prambanan. Produksi film Just Mom bekerja sama dengan badan usaha milik negara (BUMN) bidang pengelolaan destinasi wisata candi, PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (PT TWC).
Dalam jumpa pers, Hanung membenarkan, di masa pandemi ada banyak produser memilih menawarkan film produksi mereka ke platform-platform aplikasi pemutar film digital berbayar (OTT). Masa pandemi memunculkan ketidakpastian terutama terkait kebijakan seputar pembatasan mobilitas warga.
Kebijakan pembatasan jarak juga berdampak pada jumlah penonton bioskop. Tawaran menjual film ke OTT kerap menjadi pilihan terutama pada masa pandemi ketika orang lebih banyak beraktivitas dan menghabiskan waktu di dalam rumah, termasuk untuk mencari alternatif hiburan seperti menonton film.
”Beruntung pihak TWC paham dan enggak bolak-balik tanya dananya bisa balik modal kapan. Sejak awal saya sudah bilang, enggak, (film) Just Mom ini hanya untuk sinema (bioskop). Ya, memang sih saya juga menawarkan ke OTT, tapi itu lebih karena ngikuti tren saja karena semua produser begitu. Yang namanya cinematic experience harus bisa kita hadirkan lagi,” tutur Hanung.
Alasan utama Hanung bertekad mempertahankan film Just Mom bisa tampil di bioskop lantaran dirinya yakin kisah dalam film ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan keseharian masyarakat urban. Seperti dia akui alami sendiri, ada banyak adegan terjadi dalam kehidupan nyata.
Salah satunya, akibat kondisi serta kesibukan pekerjaannya sekarang, Hanung kerap merasa sulit untuk sekadar mampir pulang menemui ibunya di rumah. Entah karena dia sekarang yang berada di Jakarta atau kesibukan pekerjaan saat pulang ke Yogyakarta sehingga tak sempat mampir ke rumah ibunya.
Baca juga : Semangat Menyala dalam Sepeda Presiden
Terkait pemilihan judul dalam bahasa Inggris, sutradara Jeihan menyebut hal itu dilakukan atas dasar kepraktisan semata. Walau diakui film ini juga terinspirasi dan mengambil spirit dari novel berjudul Ibu, Doa yang Hilang karya Bagas Dwi Bawono, Jeihan memastikan ceritanya sama sekali berbeda.
”Makanya kami enggak pakai judul sama karena pastinya ada banyak yang pakai judul Ibu. Waktu itu film ini juga masuk ke dua festival, Jakarta Film Week dan Jogja Netpac Asian Film Festival, kami pikir judulnya cukup satu saja. Kebetulan saya ingat omongan ibu setiap kali saya puji. Beliau selalu bilang, aku ini cuma ibu, sama seperti ibu-ibu lain. Oh ya sudah, itu saja judulnya, cuma ibu, Just Mom,” kisah Jeihan.