Para sineas film horor telah mengalihkan perhatiannya. Aneka hantu semakin seram tanpa judul yang aneh-aneh dan keterlibatan artis film dewasa. Kreator-kreator karya itu dikenal tak hanya di dalam, tapi juga luar negeri.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Hantu-hantu dalam semesta horor Indonesia semakin menunjukkan keangkerannya. Tanpa adegan vulgar, sineas-sineas film itu mampu melaju untuk menunjukkan keseriusan karyanya. Beberapa film tetap menarik banyak penonton, bahkan merebut penghargaan.
Manoj Punjabi dengan semringah menunjukkan poster film teranyarnya, KKN di Desa Penari. Ia memindai kode batang dan membuka Instagram. ”Hai guys (teman-teman), ada yang inovatif. Lihat, nih,” ujar pendiri dan Chief Executive Officer MD Pictures itu, di Jakarta, Kamis (7/4/2022).
Di layar ponsel kemudian tak hanya terlihat poster, tetapi juga ular besar yang bergerak melingkarinya dengan bunyi mendesis dan musik mendirikan bulu kuduk. ”Kalian bisa ke sinema dan cek poster KKN di Desa Penari. Di semua bioskop pasti ada posternya,” ucap Manoj di kantornya.
Ia tengah mengambil ancang-ancang meluncurkan KKN di Desa Penari pada 30 April 2022. Keoptimisan Manoj mengandalkan kisah hantu bukan tanpa pijakan. Film horor rilisan MD Pictures sebelumnya, Makmum 2, menembus jumlah penonton hingga 1,76 juta orang meski pandemi membayangi.
Tak heran, horor nyaris tak pernah putus mengisi bioskop. Iblis dalam Kandungan dan Menjelang Magrib yang sedang tayang diramaikan sinema asing, Umma. Arwah penasaran, misalnya, kerap bikin penonton menjerit hingga melonjak di sela durasi Iblis dalam Kandungan selama hampir dua jam.
Film itu mengisahkan keluarga yang pindah sementara dari Jakarta ke perkebunan terpencil di kaki Gunung Salak. Tak dinyana, rumah mereka sangat angker lantaran roh gentayangan yang kehilangan janin saat masih hidup. Beberapa warga pun kerasukan, bahkan kehilangan nyawa.
Sementara Menjelang Magrib memadukan budaya, takhayul, dan mistis. Thalia (Annette Edoarda), Erlan (Jeffry Reksa), dan Ahmad (Fajar Kurniawan) mendatangi kediaman Nina (Novia Bachmid) yang histeris setiap petang. Ketiga mahasiswa yang sedang membuat skripsi itu diteror keganjilan akibat masa lalu Nina.
Umma, film Amerika Serikat yang kental dengan kultur Korea, menghantui penonton dengan arwah nenek berselubung hanbok (MeeWha Alana Lee). Roh gentayangan itu, umma atau ibu, menghantui Soo-Hyun alias Amanda (Sandra Oh). Ia murka karena tak dimakamkan anaknya dengan layak.
Umma paling moncer dengan mengandalkan Sandra yang populer lewat sejumlah serial dan film, selain nama besar Sony Pictures Releasing sebagai distributor. Sayangnya, hubungan ibu dan anak dalam film ini kurang tergali lebih dalam. Iblis dalam Kandungan bolehlah buat hiburan bermodalkan nama-nama beken macam Nafa Urbach, Ali Syakieb, dan Muhammad Adhiyat, ditambah sinematografi yang lumayan apik.
Menjelang Magrib paling mengenaskan. Teknik point of view atau pengambilan gambar berdasarkan pandangan pelaku yang awut-awutan kerap memusingkan. Akting para pemain masih standar dan warna-warni filmnya tampak redup. Kebanyakan horor memang belum bisa dielakkan dari sekadar efek kejut yang selintas menjalar lantas hilang secepat penonton berlalu dari bioskop.
Bagaimanapun, sineas-sineas genre itu sudah makin mendekati marwah horor dan berupaya memberikan bobot lebih. Penonton dijejali jump scare atau adegan-adegan mengagetkan, apalagi mereka sekaligus mengusung tema-tema sosial, tradisi, hingga psikologi. Iblis dalam Kandungan, umpamanya, berlatar kehidupan masyarakat Sunda.
Film dewasa
“Musiknya terinspirasi lagu ’Ayun Ambing’ untuk meninabobokan anak,” kata produser Iblis dalam Kandungan, Johansyah Jumberan. Selaras dengan filmnya, lantunan tersebut juga mengungkapkan kerinduan dan doa ibu agar segera bertemu sang anak.
Menjelang Magrib menyelipkan persoalan tumpang tindihnya pemasungan warga dengan tingkah tak lazim di pelosok-pelosok yang sering dikaitkan peristiwa mistis. Lain lagi dengan Umma yang menyelipkan unsur tradisional Korea seperti upacara jesa, perabuan, dan topeng atau tal.
Berangsur-angsur, horor telah beranjak dari stigmanya yang teramat melekat satu dasawarsa hingga 15 tahun silam. Sebut saja Hantu Binal Jembatan Semanggi (2009), Rintihan Kuntilanak Perawan (2010), dan Dendam Pocong Mupeng (2010). Ada Nenek Gayung (2012), ada pula Kakek Cangkul (2012).
Judul-judul komikal sinkron dengan kehadiran pelawak seperti Tessy, Jojon, dan Ence Bagus yang turut bermain dalam Setannya Kok Beneran? (2008). Budi Anduk, Aldi Taher, Daus Separo, dan Yadi Sembako juga membintangi Tiren: Mati Kemaren (2008).
Lebih-lebih, pemeran film dewasa tak ketinggalan meramaikan jagat horor nasional. Tak tanggung-tanggung, mereka bertaraf internasional. Rin Sakuragi, Vicky Vette, Tera Patrick, dan Sasha Grey termasuk beberapa artis yang pernah memanaskan layar lebar Tanah Air.
Poster-poster film saat itu juga provokatif. Pengunjung bioskop dibikin tertawa melihat pose seronok, setidaknya tersenyum masam. Penonton saat itu memang ditelikung keambiguan, antara terenyak sensasi horor, terbahak, atau yang lainnya.
Fenomena tersebut dituangkan dalam buku Film Horor & Roman Indonesia: Sebuah Kajian dengan editor Tane Andrea Hadiyantono yang diterbitkan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta tahun 2012. Dalam buku itu dijelaskan, seks menjadi sangat identik dengan film horor Indonesia.
Judul-judul bab buku itu sarat dengan kritik, antara lain ”Cover Film Horor atau Cover Film Dewasa”, ”Memperkosa Pesona Perempuan melalui Film Horor”, ”Menelanjangi Perempuan dalam Film Horor Indonesia”,”Voyeurisme sebagai Komoditi Film Horor Indonesia”, dan ”Belahan Perempuan=Uang”.
Penonton jenuh
Judul-judul paradoksal bahkan bisa ditelusuri hingga berpuluh tahun ke belakang sejak zaman kejayaan ratu horor Suzanna. Ambil saja contoh Beranak Dalam Kubur (1972). Bagaimana mau beranak dalam kubur, beranak di puskesmas saja pontang-panting.
Horor tak lagi demikian, paling tidak ditilik dari judul-judul, antara lain, Pengabdi Setan (2017), Danur (2017), atau Sebelum Iblis Menjemput (2018). Hantu, memedi, genderuwo, atau apa pun itu menjadi lebih hakiki. Puncaknya, Perempuan Tanah Jahanam (2019) menyabet penghargaan film terbaik dalam Festival Film Indonesia 2020.
Dosen Jurusan Film Binus University, Ekky Imanjaya, mengamati tiga faktor yang memicu film-film horor saat ini berbeda dengan nuansa beberapa dekade lampau. ”Pertama, penonton jenuh dengan horor yang dibintangi artis film dewasa. Hanya satu atau dua film yang sukses,” ujarnya.
Rata-rata, jumlah penonton saat senja kala era itu sekitar 300.000 orang per film. Sineas-sineas horor beringsut mengalihkan perhatiannya. ”Penyebab kedua, muncul generasi baru horor yang melakukan breakthrough (terobosan). Horor tak lagi diremehkan,” katanya.
Mereka semisal Joko Anwar, Gareth Evans, Timo Tjahjanto, dan Kimo Stamboel. Tak hanya di dalam, kreasi mereka juga dikenal di mancanegara. ”Ketiga, produk-produk horor yang bisa dijadikan novel, figur karakter, dan serial,” ucap Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta itu.