Seni Grafis dan Sebuah Pertarungan
Pameran Tarung Grafis ini dirancang sebagai ”pertarungan” karya seniman grafis kubu Yogyakarta dan Bali.
Dua kubu seniman saling berhadapan dalam pameran bertajuk ”Tarung Grafis”. Di situ seni hadir sebagai dua kutub yang saling memperkuat esensi sebagai perlawanan; seni sebagai gugusan gagasan yang mengambil posisi di medan pertarungan.
Seniman kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, Jajang Kawentar (52), yang kini menetap di Yogyakarta mengawali pembukaan pameran tersebut. Ia menorehkan tinta hitam di atas lembar papan MDF, sejenis papan tripleks yang memiliki pori-pori lebih rapat dan halus.
Di lembar itu Jajang menorehkan sosok laki-laki dengan teknik cukil kayu. Setelah tinta menutupi cukilan itu, Jajang menangkupkan lembar MDF itu ke atas bidang sebuah kaus berwarna putih. Ia kemudian menginjak-injak lembar MDF seraya membacakan sebuah puisi dari gawainya.
Secarik kanvas lebar diambil untuk mengerudungi tubuhnya. Di lembar kanvas itu terdapat pula karya seni cetak grafis yang dibuat Jajang dengan teknik cukil kayu. Beberapa sosok terkenal bangsa ini tertoreh di situ dengan tinta warna hitam, kecuali sosok Presiden Soeharto. Ada citra wajah Gus Dur, Pramoedya Ananta Toer, Tan Malaka, Pangeran Diponegoro, dan lain-lain.
Jajang yang menginjak-injak lembar MDF itu seperti menari sambil membaca puisi. Hingga suatu kali terhenti. Jajang lalu merunduk dan berjongkok. Ia perlahan mengangkat lembar MDF itu.
Jajang memilih warna merah untuk cetakan gambar Soeharto. Dia menyiratkan jejak warna darah, warna kelam yang ditinggalkan semasa Soeharto menjadi presiden. Melalui warna merah darah ini, Jajang memercikkan perlawanan terhadap kekejaman yang pernah berlangsung di masa itu.
Jajang yang lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini aktif pula menulis. Ia sempat membuat cerita bersambung yang dimuat media Terompet Rakyat dan diterbitkan komunitas Taring Padi di Yogyakarta.
Jajang yang menginjak-injak lembar MDF itu seperti menari sambil membaca puisi. Hingga suatu kali terhenti. Jajang lalu merunduk dan berjongkok. Ia perlahan mengangkat lembar MDF itu. Ada semburat garis warna hitam menempel di kaus putih.
Jajang makin lebar membuka lembar MDF. Kaus putih itu akhirnya sudah bergambar. Sosok laki-laki yang dicetak Jajang ternyata Tan Malaka. ”Tan Malaka sosok yang saya gemari,” ujar Jajang Kawentar, Jumat (13/5/2022), saat pembukaan pameran Tarung Grafis di Galeri Lawangwangi, Bandung.
Jajang yang jadi salah satu peserta pameran Tarung Grafis hadir mewakili salah satu kubu, tetapi bukan untuk bertarung dengan kubu lawannya.
Baca juga: Kaligrafi dan Pegangan Transendental
Yogyakarta dan Bali
Pameran Tarung Grafis ini dirancang sebagai ”pertarungan” karya seniman grafis kubu Yogyakarta dan Bali. Kubu Yogyakarta diwakili 13 seniman di bawah koordinasi Syahrizal Pahlevi, sedangkan kubu Bali diwakili 13 seniman di bawah koordinasi Devy Ferdianto.
”Perwakilan kubu ini memang tak bisa sepenuhnya dikatakan mewakili kelompok seniman grafis dari setiap daerah tersebut. Ini semata untuk memudahkan saja,” ujar Asmudjo J Irianto, yang ditugasi sebagai kurator kubu Bali, sedangkan Tisna Sanjaya menjadi kurator untuk kubu Yogyakarta.
Tarung Grafis ini dipicu perdebatan antara seni cetak grafis konvensional dan seni cetak grafis yang meluas (expanded). Bahkan, di ranah seni rupa kontemporer terdapat fenomena seni cetak grafis yang makin melabrak konvensi seni cetak grafis konvensional.
Devy Ferdianto yang mendirikan Devto Printmaking Institute, lembaga seni cetak grafis di Bali, berpegang pada haluan seni cetak grafis konvensional. Syahrizal Pahlevi yang menetap di Yogyakarta dan mendirikan lembaga serupa, Miracle Prints Artshop & Studio, kerap mengambil posisi seni cetak grafis expanded atau perluasan seni cetak grafis.
”Pameran ini seperti sebuah pertarungan antara kubu seni cetak grafis dan seni cetak grafis expanded, seni cetak grafis yang sudah mengalami perluasan,” ujar Asmudjo.
Tisna Sanjaya, menurut Asmudjo, juga dikenal sebagai sosok seniman yang bertitik tolak dari seni cetak grafis. Tisna tak diragukan lagi telah menguasai seni cetak grafis secara konvensional. Akan tetapi, Tisna memperluas seni cetak grafis, di antaranya, ke dalam karya dengan teknik cetak tubuh.
”Saya sendiri yang menyematkan karya seni cetak grafis Tisna Sanjaya itu bukan sekadar expanded, tetapi juga ekspansif,” ujar Asmudjo.
Perwakilan kubu ini memang tak bisa sepenuhnya dikatakan mewakili kelompok seniman grafis dari setiap daerah tersebut. Ini semata untuk memudahkan saja.
Tisna Sanjaya membenarkan, karya seni cetak tubuhnya memang berawal dari seni cetak grafis. Ia memaknai tubuhnya sebagai mesin cetak grafis. ”Seni cetak grafis sering terikat dengan peralatan atau mesin-mesin tertentu. Namun, mesin cetak grafis itu ternyata segala sesuatu yang sudah ada di dekat kita, termasuk tubuh kita,” katanya.
Pameran Tarung Grafis menjadi momentum penting. Bagi Tisna, hal ini menjadi momentum perkembangan seni cetak grafis sebagai produk keilmuan. Ini tidak hanya penting bagi kubu Yogyakarta atau Bali, tetapi penting bagi siapa saja yang menekuni dan menikmati seni cetak grafis.
Baca juga: Gombloh di Tepi Sejarah
Karya terbaik
Pameran Tarung Grafis berlangsung mulai 13 Mei hingga 5 Juni 2022. Dalam pembukaan pameran disebutkan 10 nomine karya terbaik oleh dewan juri yang meliputi Andonowati, Asmudjo, Tisna Sanjaya, Konfir Kabo, dan Simon Tan. Kemudian ditetapkan tiga karya terbaik.
Karya berjudul ”Ramayana I” dalam dua edisi karya Putra Wali Aco dinobatkan sebagai karya terbaik. Aco lahir di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, pada 1997 dan menetap di Bali. Ia mewakili kubu Bali.
Aco menampilkan kisah Ramayana ke dalam karya grafis dengan teknik intaglio atau cetak dalam. Teknik ini menempatkan bidang gambar di bawah permukaan acuan cetak. Kedalaman gambar diperoleh dari torehan jarum di atas acuan cetak yang secara umum terbuat dari logam. Torehan yang terbentuk dengan jarum itu kemudian diisi tinta, permukaannya pun dibersihkan dengan kain lap kasa cetak, kemudian mulai dicetak dengan bantuan mesin pres.
Karya Fitri Dwi Kurniasih yang mewakili kubu Yogyakarta menempati urutan kedua. Fitri memberi judul karyanya ”Ada Do’a di Mana-mana”. Karya ini sebuah instalasi bidang kanvas dengan cetakan seni grafis linocut seperti cukil kayu di atas media berbahan dasar karet.
Fitri mencetak gambar di atas selembar kain yang cukup panjang. Kain itu kemudian dibentuk menyerupai tenda dengan sisi depan dan belakang terbuka. Di bawah tenda, Fitri juga menempatkan karya cetak grafis di atas selembar kain. Bentuknya menjadi mirip selembar sajadah dan dihadapkan pada sebuah kitab.
Selanjutnya, karya seniman grafis Windi Delta yang juga mewakili kubu Yogyakarta ditetapkan sebagai karya terbaik ketiga. Karyanya yang diberi judul ”Hello World!” dikerjakan dengan teknik screen print atau cetak saring. Di dalam karyanya ada citra serupa stupa Buddha. Windi menyertakan kode batang (barcode) untuk karyanya itu. Ini menunjukkan karya Windi tersebut bisa dinikmati pula lewat platform NFT (nonfungible token). Karya ini termasuk perluasan karya seni cetak grafis.
Tidak kalah menarik karya-karya lain yang ditampilkan dalam pameran Tarung Grafis. Di situ ada semacam pertarungan antara keinginan memegang erat konvensi seni cetak grafis dan perluasan-perluasan demi kebaruan yang kontekstual.
Keduanya tentu sama-sama penting. Keduanya tentu baik untuk dipertahankan dan dikembangkan.