Tom Parker dianggap tamak lantaran mengeruk hingga 50 persen dari keuntungan sementara Elvis Presley harus memeras keringat di pentas. Ia harus terus mengeksploitasi superstar tersebut untuk menutupi kecanduan berjudi.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Biopik terbaru tentang Elvis Presley mengisahkan jatuh bangun megabintang legendaris tersebut dari perspektif manajernya, Tom Parker. Tanpa tendensius, film berjudul Elvis itu menyoroti pasang surut hubungan mereka yang kompleks selama lebih dari dua dekade.
Amerika Serikat pada 1954 tengah riuh dengan ”That’s All Right” yang digaungkan radio-radio. Permintaan pendengar begitu intens hingga lagu tersebut bisa diputar sampai 27 kali sehari. Lantunan Elvis (Austin Butler) yang direkam Sun Records itu diiringi musik country, tetapi corak kulit hitamnya amat kuat.
Spontan, kegelisahan mengemuka di tengah kebijakan rasialis yang masih menggila. Lagu itu tak terkecuali terngiang-ngiang di telinga Parker (Tom Hanks). Ia kepincut lantas memburu Elvis ke lokasinya beraksi. Parker terpana menatap pemuda kurus dengan jambul, rambut berminyak, dan riasan sedikit feminin.
Ia melihat Elvis bak kerasukan saat melagukan ”Baby Let’s Play House” yang membius kaum hawa. Penyanyi itu mengembuskan karisma begitu dahsyat yang turut mencengkeram benak Parker. Elvis menggeletar. Goyangan yang bikin kembang kempis cuping hidung gadis-gadis seraya menggigit bibirnya sendiri.
Sekuens awal itu saja sudah menabalkan Elvis sebagai malaikat berwajah manis sekaligus iblis dengan berjuta godaan mautnya. Dalam sekejap, ia sudah menggenggam televisi, radio, dan film. Bersama Parker, pasar cendera mata tak ketinggalan dikuasai.
Film tentang Elvis sudah begitu banyak hingga sulit dihitung, berikut lagu-lagu hit yang menyertai alurnya. Kebaruan kini disodorkan Baz Luhrmann, sutradara Elvis asal Australia, dengan permainan kamera diramu sinematografi apik hingga kadang tampak komikal.
Aneka teknik seperti zoom yang tak lumrah dan teknologi LED ditambah laburan sedikit warna-warni psikedelik menggamblangkan leburnya batas imajinatif dan riil Lurhmann yang dikenal lewat Moulin Rouge! (2001), Romeo + Juliet (1996), dan The Great Gatsby (2013) itu.
Lainnya, Elvis juga drama musikal dengan rentetan adegan rancak yang nyaris konstan. Setelah 30 menit pertama, plotnya berangsur melambat untuk memberi kesempatan penonton semakin jernih menyimak karier dan karakter Elvis yang digali lebih dalam.
Tentu, Luhrmann mengandalkan rekam jejak solois tersebut dari sudut pandang Parker yang menjadi narator untuk menegaskan perbedaan filmnya. Peristiwa penting, kumpul keluarga, hingga perkenalan Elvis dengan obat-obatan hampir selalu dibuntuti Parker.
Mirip dengan bangkit dan runtuhnya imperialisme Jepang yang melatari perjalanan Jim, bocah dalam karya kesohor Steven Spielberg, Empire of the Sun (1987). Hanks berubah dengan kepala separuh botak, dagu berlipat, dan langkah yang terpincang-pincang.
Mengeruk Keuntungan
Parker yang bertopi koboi, mengisap cerutu, dan berlogat Belanda itu diperankan Hanks dengan natural. Ia memang berasal dari ”Negeri Tulip” dengan kewarganegaraan tak jelas setelah memasuki Amerika tanpa legalitas. Sembari menebar pandangan oportunisnya, senyum tak henti tersungging di bibir Parker.
Setiap pesohor adalah pengecoh, demikian keyakinan Parker. Ia tak hanya merayu Elvis, tetapi juga keluarganya untuk meneken kontrak. Parker memang kontroversial dengan sesumbarnya. ”Kalau tak ada Parker, belum tentu dunia mengenal Elvis,” begitu klaimnya.
Ia dianggap tamak lantaran mengeruk hingga 50 persen dari keuntungan sementara Elvis harus memeras keringat di panggung. Parker harus terus mengeksploitasi mitranya untuk menutupi kecanduan berjudi. Ia menghalalkan keculasan meski Elvis sudah dilanda depresi saking jenuhnya.
”Aku tak peduli. Pokoknya, manusia ini harus berdiri dan tampil bagaimana pun caranya,” ujar Parker saat melihat Elvis tersungkur gara-gara keletihan menjelang pertunjukannya. Parker bagai dua sisi mata uang dengan mulut manis di muka namun beringas di belakang karena dipicu perangainya yang mata duitan.
Hanks yang berkaliber peraih Oscar memanggungkan Parker dengan amat mulus. Penonton disuguhi gerak-gerik Parker yang alamiah tanpa geram berlebihan untuk tetap menikmati filmnya. Betapa di tangan manajer, artis bisa makmur, berantakan, atau malah jadi sapi perahan.
”Banyak orang bicara. Kau harus mendengarkan orang yang dicintai. Pada akhirnya, kau hanya perlu mendengar dirimu sendiri,” ujar Elvis sebelum menyanyikan ”Trouble”. Anak penurut berubah jadi pemberontak yang menyalakan histeria massa dan kericuhan konser.
Elvis masih muda. Ia dielu-elukan sekaligus dibenci dengan rock and roll dan gerakannya yang dipandang vulgar. Parker memang manajer jagoan namun psikolog yang buruk. Ia memperkuda Elvis, tetapi sangat halus hingga penyanyi asal Memphis itu tertekan.
Pada akhirnya, film itu sekilas menyibak beberapa probabilitas penyebab kematian Elvis. Dalam buku Three Steps to Heaven yang ditulis Roma Wheaton dan diterbitkan Warner Books, tahun 1993, ia dinyatakan tewas karena gagal jantung namun hasil otopsi menunjukkan daftar panjang dampak dari obat-obatan.
Hipoglikemia, glaukoma, lever bengkak, gumpalan darah pada kaki, usus besar yang terbelit, dan masalah pernapasan ditemukan sejalan dengan kandungan 10 obat yang berbeda dalam tubuh Elvis. Rumor tentang ”Raja Rock and Roll” yang terserang kanker stadium akhir ikut menyebar.
Dilanda Klaustrofobia
Tumbuh kembang Elvis dibarengi ingar-bingar di negaranya. Luhrmann dengan luwes menyelipkan kematian senator Robert F Kennedy, hukum diskriminatif, dan Perang Vietnam. Peralihan superstar ramping menjadi berisi, bercambang, dan berbusana jumpsuit disemati pernak-pernik juga terselaraskan dengan baik.
Set dengan kehidupan retro jelas membutuhkan kendaraan, instrumen, furnitur, hingga pakaian segudang. Lebih dari 300 mobil dan sepeda motor, umpamanya, dikumpulkan. Untungnya, di Queensland, Australia, lokasi shooting film tersebut, ditemukan banyak kolektor mobil.
Butler pun sampai bergonta-ganti kostum hingga lebih dari 90 kali selama penggarapan Elvis. Ia harus lebih tabah saat melakoni Elvis di pengujung hidupnya. ”Dipasangi prostesis, pakaian untuk orang gemuk, dan dirias seperti terlihat tak sehat sampai lima jam,” ujarnya.
Ia merasa berat badannya melonjak, kepanasan, dan tenggorokan sesak. Butler bahkan dilanda klaustrofobia dan hanya bisa menghirup udara pendek-pendek. ”Aku bisa menyelami kesedihan Elvis. Bernapas saja susah, tapi suaranya harus tetap lantang,” katanya.
Hanks pun menghadapi tantangan berbeda dibandingkan peranan yang kebanyakan protagonis dalam film-film sebelumnya. Ia menilai Parker jenius namun licik. ”Parker sangat disiplin. Ia nakal tapi pionir bisnis pertunjukan besar yang belum eksis sampai Elvis meraih popularitasnya,” katanya.