Synchronize Fest 2022 kembali digelar secara tatap muka setelah dua tahun beralih media. Suka dan duka kehidupan dirayakan bersama lewat musik. Grup lawas Dara Puspita pun kebagian sorotan.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI, DWI AS SETIANINGSIH
·6 menit baca
Di Synchronize Fest 2022 yang berlangsung pada 7-9 Oktober 2022 di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta, para penyanyi dan musisi lokal Tanah Air lintas genre dan lintas generasi saling berdialog dalam musik. Sebanyak 126 penampil dalam negeri tak cuma menyuguhkan keriaan pesta, tapi juga kusutnya kehidupan.
Setelah 52 tahun, band perempuan legendaris yang banyak menjadi inspirasi bagi band-band perempuan di Tanah Air, Dara Puspita, hadir di tampilan pada Sabtu (8/10/2022) malam. Di panggung bernama Dynamic (Dynamic Stage), reuni band yang terdiri dari Titiek AR, Lies AR, Titiek Hamzah, dan Susy Nander mengobati kerinduan band perempuan yang di era tahun 1960-an mengharumkan nama Indonesia di panggung internasional.
Meski seluruh personelnya telah menginjak usia lebih dari 70 tahun, penampilan Dara Puspita dalam pertunjukan bertajuk Spirit of Dara Puspita menggetarkan jiwa, bukan hanya melalui musik mereka, melainkan juga aksi panggungnya. Terbayang bagaimana di masa muda, Dara Puspita membius penonton dengan gaya manis dan centil. Menggemaskan.
Keempat personel muncul di atas panggung diantar lagu ”All You Need is Love” milik The Beatles. Tepuk tangan penonton yang didominasi sosok-sosok muda menyambut mereka dengan tak sabar. Dara Puspita tak sendiri, di atas panggung tampil mengiringi penampilan mereka adalah para personel Fleur serta kibordis NonaRia, Nanin Wardhani. Lagu ”Surabaya” mengalun dengan ritme lambat menyapa penonton. Semua menyanyi.
”Gimana, Tante?” tanya Yuyi, basis Fleur, kepada Titiek Hamzah, sang vokalis. ”Baru satu lagu aja udah teler,” jawab Titiek lantang, juga jenaka.
Dia lalu bercerita saat mendapat tawaran manggung di festival ini. ”Mau! Dan, kami mau tunas-tunas kami menyatu di atas panggung. Tepuk tangan untuk tunas-tunas di atas panggung,” ungkap Titiek. Yang dimaksud ”tunas” adalah para perempuan musisi yang bareng mereka malam itu, yaitu band Fleur, NonaRia, Margalo, Apri Mela, Aprilia Apsari, band The Dare, Endah Widiastuti, dan Bonita Adi.
Berturut-turut kemudian mereka membawakan ”Pantai Pataya”, ”Mari-Mari”, ”Pesta Pak Lurah”, dan ”Hey Kasih” dengan mulus.
Titiek Hamzah, yang menjadi nakhoda malam itu, tak kehilangan jiwa rock n roll-nya. Saat mengomandoi penonton di ”Lagu Mari-Mari” Titiek menutup lagu dengan kalimat ”nenek gokil itu berbahaya!”
Penonton tertawa. Dia juga bermain-main dengan tongkat bantu jalannya, memutar-mutar, dan mengangkat layaknya sedang membidik dengan senapan. Gaya banget!
Di ujung penampilan, Titiek menyerahkan tongkat itu kepada Yuyi, ibarat tongkat estafet Dara Puspita kepada para perempuan musisi di Tanah Air. Dara Puspita boleh saja tinggal legenda, tetapi semangatnya bertunas di tangan para perempuan musisi Tanah Air hari ini.
Sebelumnya pada Jumat (7/10/2022) sore ketika gerimis masih menitik di arena, band Lair tampil di panggung bernama Forest Stage. Mereka adalah sekumpulan anak muda asal Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Salah satu lagu yang dibawakan adalah ”Roda Gila” dengan petikan lirik ”Meraba jalanan gila-menggila/Panas debu dan serapah/Di roda-roda yang Lelah”.
Imaji itu diperkuat dengan penampilan tiga orang ”model” lelaki kekar bertelanjang dada, bergerak-gerik layaknya binaragawan. Tubuh mereka dibaluri minyak, berkilauan seperti peluh. Mereka juga mengangkat setumpuk genteng bikinan Jatiwangi, tempat band ini berkarya. Otot-otot itu milik kelas pekerja. Irama funk dan surf rock menderu-deru mengiringinya.
Masih di panggung yang sama, band bergaya shoegaze The Milo asal Bandung tampil dingin tapi bising. Pada lagu ”Malaikat”, suara vokalis Ajie Gergaji samar-samar melantunkan ”Kekosongan jiwaku meratap”. Penonton mengangguk-angguk mengikuti ketukan monoton dengan gaung gitar berlapis-lapis. Bisa jadi, benak penonton juga sedang riuh di dalam; monoton dan berlapis-lapis.
Kelompok Batavia Collective asal Jakarta tampil di panggung lainnya, XYZ Stage. Jalinan musik jazz, soul, dan fusion tanpa kata-kata mereka begitu riuh, seperti menggambarkan suasana lalu lintas Jakarta yang begitu kusut beberapa hari terakhir. Namun, respons sebagian penonton seperti sedang kerasukan, menggelengkan kepala tak henti-henti. Mungkin itu respons pelepasan keruwetan mereka.
Puncak kejumudan hidup dipertontonkan duo eksperimentalis Senyawa asal Yogyakarta. Bebunyian perkusi dan distorsi yang dimainkan Wukir Suryadi menderu tak menentu. Sementara rekannya, Rully Shabara, melantangkan marabahaya pada lagu ”Muara” dan menutup dengan rapalan ”kiamat sudah dekat”. Mencekam.
Sukaria
Tapi, sejatinya festival, sukaria jadi atmosfer yang dominan. Ribuan pengunjung bisa keasyikan berjoget diiringi disjoki, atau larut dalam nostalgia lagu Naif yang dibawakan mantan vokalisnya, David Bayu, yang malam itu meluncurkan album solonya. Musik pop yang ceria disuguhkan oleh grup vokal Project Pop pada sore hari.
Project Pop main di panggung besar bernama Dynamic Stage. Ribuan orang bergoyang mengikuti lagu ”Goyang Duyu”, atau ”Dangdut is the Music of My Country”. Seorang penonton membawa poster berisi ucapan terima kasih karena telah menemani masa kecilnya. Yosi, salah satu personelnya, menjawab, ”Terima kasih pula telah menemani masa tua kami.” Gerrr…
Musik dangdut, tepatnya orkes Melayu, yang kocak dimainkan Jhonny Iskandar bersama Orkes Nunung Cs. Mereka membawakan lagu yang main tebak-tebakan singkatan zodiak. Penonton, kebanyakan muda-mudi, wangi-wangi juga ikutan melantangkan ”aku bukan pengemis cintaaaaa….”
Luapan sukacita penonton tak bisa dilupakan Titi DJ. Sabtu pagi, setelah malam sebelumnya mengharu biru panggung Dynamic Stage bersama 3Diva iringan Erwin Gutawa, dia masih gemetaran.
”Masih ndredeg, excited, takjub sama lihat banyaknya orang yang menonton. Kata panitia, penonton 3Diva itu 10.000 orang! Whoaaa…,” serunya. Dia takjub karena sepanjang tampil selama sekitar satu jam itu penonton ikut bernyanyi bersama. Terakhir kalinya Titi menyanyi di pergelaran berskala festival sudah belasan tahun lalu.
Titi, bersama Ruth Sahanaya dan Krisdayanti yang sama-sama macan panggung, tetap butuh persiapan teliti. Mereka latihan sampai empat kali. Hasilnya, 3Diva gemilang menunjukkan bahwa penyanyi, yang tugas utamanya adalah menyanyi, mampu menyuguhkan suara emas terbaik untuk penonton.
Kualitas vokal ketiga diva itu sungguh masih amat prima, minim cela. Lagu-lagu seperti ”Pilihlah Aku”, ”Ekspresi”, dan ”Bawa Daku Pergi” terlantun megah dengan iringan orkestra. Interaksi dengan penonton terjalin akrab.
Titi senang bisa tampil di Synchronize Fest, wadah festival musik berskala besar yang hanya memanggungkan musisi dalam negeri. Sejak dibesut 2016, festival ini tak pernah mengundang musisi luar negeri. Meski begitu, penontonnya tak pernah sepi. Rata-rata tiap tahun selama tiga hari penyelenggaraan, penonton yang datang bisa lebih dari 70.000 orang. Bagi Titi, festival macam ini memberi panggung penting bagi musisi lama, juga baru.
”Juga ada fenomena baru di mana genre dangdut, misalnya, bisa tampil satu arena dengan genre lain. Dulu, kan, acara dangdut sendiri, pop sendiri, rock sendiri,” katanya. Di festival ini, aneka genre dan generasi melebur. Termasuk genre dangdut koplo yang dianggap musiknya kaum pinggiran, berdentam setelah 3Diva main.
Prontaxan, grup koplo dari Yogyakarta, menyemarakkan panggung District Stage. Selama satu jam, mereka nonstop memainkan lagu-lagu populer dalam wujud koplo, tentu saja. Lagu-lagu pilihan mereka banyak berkaitan dengan patah hati, duka lara yang kerap menghinggapi kaum muda. Tapi, mereka berkerumun di situ untuk berpesta. Salah satu anggota Prontaxan berujar, ”Lupakan cinta, jauhi narkoba. Mari pesta, tapi pamit orangtua.”
Keriaan masih berlanjut Minggu ini. Ada grup lawas Karimata, Pagelaran Swara Gembira untuk Guruh Sukarno Putra, band muda sedang naik daun Perunggu, serta pedangdut King Nassar. Wah, bakalan nggak mau pulang, maunya digoyang....