Ridho Hafiedz, Yura Yunita, Marcello Tahitoe, dan Ardhito Pramono, takjub saat mendapati keunikan alat-alat musik tradisional, apalagi saat belajar memainkannya. Khazanah tersebut didokumentasikan lewat "Nada Nusantara".
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Sejumlah musisi kenamaan Tanah Air terkagum-kagum menjajal alat-alat musik tradisional yang baru dijumpainya. Khazanah instrumen Nusantara memang tak henti menyodorkan kejutan. Mereka pun memvisualkan keistimewaan aneka warisan budaya itu lewat Nada Nusantara.
Yura Yunita tertegun sejenak saat menyimak penjelasan Ridho Hafiedz. Biduanita itu beberapa kali menanyakan nama alat musik tradisional yang baru didengarnya. Penting, demikian instrumen asal Karangasem, Bali, tersebut. “Ya, penting. Di Bali, enggak cuma ada gamelan, nolin, atau kendang. Indonesia, tuh, kaya banget dengan alat musik dari Aceh sampai Papua,” ujar Ridho.
Berkat pertemuan dengan gitaris Slank itu, Yura bisa mengenal penting yang turut menyadarkannya untuk terus menyingkap dan mensosialisasikan kekayaan alat musik Nusantara, terutama kepada generasi muda. Mereka lantas beranjak untuk belajar memainkan penting kepada maestronya, AA Gede Krisna Dwipayana yang didampingi seniman muda Karangasem, I Putu Angga Wijaya.
“Apa pun musiknya, (patokan) bunyi penting tetap ding, deng, dong, dung, dang,” kata Angga seraya memeragakan dengan menekan tuts dan memetik senarnya. Krisna juga menambahkan posisi penting saat dimainkan dengan dipangku pemainnya yang bersila. Penting dimiringkan dan ujungnya disangga kaki kanan.
“Pedoman bakunya enggak ada, tapi kalau dihubungkan dengan fingering (menekan senar), saya bikin patokan. Kalau slendro, empat nada. Itu paling cepat bisa dimainkan,” kata Krisna. Ia memeragakan tekniknya dengan jari manis dan tengah, telunjuk, sampai jempol.
Beda lagi dengan pelog yang dipergakan Angga. Ia menggunakan jari tengah, telunjuk, dan jempol. Kepiawaian Ridho, dipadu Yura yang menguasai permainan gitar dan piano membuat mereka tak berlama-lama menunjukkan kemahiran dasar memetik penting.
“Wow, seru banget. Baru diajari sekali saja kayaknya nyawa-nyawa kita langsung menyatu menjadi nada yang kaya seperti menari di angkasa,” ujar Yura sembari tergelak. Ridho dengan antusias menangkap puitisasi rekannya untuk dijadikan lirik lagu mereka.
Animo Yura lalu bersambut dengan diajaknya Krisna dan Angga untuk berkolaborasi yang menyatukan keunikan masing-masing. Gaya blues dan rock Ridho, vokal pop Yura, dan magisnya alunan penting pun lebur dengan dukungan komunitas seni Karangasem, Wasesa Ananta.
Mereka meluruhkan batas-batas musikalitasnya dalam lagu yang turut memadukan kata-kata Bali, “Nada Kaya”. Dalam klip videonya, Yura dengan kenes menari berjingkat-jingkat diiringi cabikan gitar Ridho berlatar keindahan puri di Amlapura, Karangasem.
Yura mengaku emosional lantaran semesta membawanya bertemu Ridho untuk bermusik. Tantangan sungguh besar, namun energi, tujuan, dan frekuensi yang sama memudahkan mereka. “Selaras dengan instrumennya, penting, yang ternyata sungguh-sungguh penting untuk dilestarikan,” ujarnya seraya tertawa.
Tanpa mengesampingkan alat-alat musik daerah lain, tentu saja karena Yura sekadar mengajukan terminologi, Nada Nusantara juga memayungi keberagaman instrumen tradisional yang sama pentingnya. Dokumenter yang dipandu Ridho dan Yura bertajuk Nada-nada Penting (The Most Important Serenade).
Rela pusing
Serupa tapi tak sama, Ridho dan Ardhito Pramono mengulas keistimewaan orkestrasi ala Ambon, Maluku, dalam Mena Musik Amboina (The Ballad from Ambon). Riluke Noa dan musisi-musisi Molucca Bamboowind Orchestra yang mereka temui, umpamanya, menjelaskan keunikan suling lima.
“Latihan dengan suling lima harus lebih intens. Suling lain sudah punya lubang. Kalau suling lima, harus rela pusing supaya tahu cara meniupnya,” kata Riluke sambil tersenyum. Peniup suling itu juga mencari-cari nada karena terdiri atas dua bambu tanpa lubang.
Sutradara “Nada Nusantara” Linda Ochy tak melulu menyajikan tontonan yang serius. Ardhito, misalnya, mencoba meniup suling lima, tapi gagal total. “Sulingnya sudah dikirim ke Jakarta, beberapa minggu lalu. Tetap, saya enggak bisa membunyikannya,” ujar Ardhito disambut sahabat-sahabat barunya yang terbahak.
Demikian pula saat Ridho dan Ardhito bersua dengan Enrico Trixano Silooy dari Sanggar Booyratan Amahusu. Diarahkan Enrico, Ardhito menjajal kebolehan bermain tifa yang menyangga dengan lengan dan menabuhnya dengan tongkat. Ridho tak ketinggalan beraksi dengan instrumen yang juga dipukul dengan jemari itu.
Enrico ikut menambah wawasan penontonnya dengan memaparkan filosofi tifa. Pukulan tifa tasa, contohnya, mewakili marga Saliha. Janes Maryon kemudian memamerkan irama yang dituturkan koleganya itu. Begitu pun dengan tifa jalan potong untuk marga Akiaar. Total, ritme yang menyimbolkan lima marga, dilantunkan. Di pengujung film, mereka bersama Ridho dan Ardhito berkolaborasi untuk melantunkan “Nusa Ina”.
Dalam episode Musik Bhumi Sambhara Budhara (Music on The Mountain of Knowledge), Marcello Tahitoe pun tak kalah terheran-terherannya saat mendapati saron pentatonik anhemitonic. Instrumen lima nada tanpa menggunakan jarak setengah itu tertera pada relief Borobudur.
162 musisi
Penyanyi yang kerap disapa Ello tersebut bersama Ridho dan musisi-musisi setempat mempersembahkan “Ku Selalu di Sini”. Film tersebut memungkasi unggahan Nada Nusantara yang bisa disaksikan lewat akun Youtube Budaya Saya mulai Sabtu (17/12/2022).
Sementara, Nada-nada Penting (The Most Important Serenade) bisa ditonton sejak 15 Desember 2022 dan Mena Musik Amboina (The Ballad from Ambon), sehari setelahnya. “Kami melibatkan 162 musisi yang berlangsung sejak awal tahun 2022,” kata Linda.
Ide untuk menggarap film-film itu sebenarnya sudah tercetus sejak tahun 2020 atau sebelum musisi berdarah Maluku, Glenn Fredly, meninggal. “Bahkan, Glenn menitipkan City of Music (Ambon) harus diangkat. Saya memulai riset pada Mei 2022, shooting awal Juli, dan film-filmnya selesai akhir November lalu,” katanya.
Film-film tersebut diproduksi dengan tujuan utama mengarsipkan alat musik tradisional Nusantara sebagai warisan untuk generasi mendatang. “Kami juga ingin mensosialisasikan filosofi dan peran musik tradisi, hingga menumbuhkembangkan ekosistemnya sehingga terjadi regenerasi yang sehat,” ucapnya.
Setiap film berdurasi sekitar satu jam. Upaya preservasi, inspirasi, serta regenerasi musik berikut alat-alatnya itu terlaksana berkat kerja sama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dengan Yayasan Atma Nusvantara Jati (Atsanti).
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid yang turut menyaksikan pemutaran film itu di Jakarta, Rabu (7/12/2022) mengungkapkan respons positif. “Kita bisa merasakan proses, isi, dan ritme filmnya. Saya pribadi, sih, sangat suka,” ujarnya.