Pengalaman Mendekati Kematian
Lewat lukisan itu, ia menyodorkan metafora bahwa kehidupan dan kematian itu adalah satu tarikan. Seketika atau kapan pun kematian bisa merenggut kehidupan.
Tidak banyak orang memiliki pengalaman mendekati kematian. Lucky Supriadi salah satunya. Seniman lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung tahun 2006 itu mengisahkan pengalamannya dalam karya tentang kematian yang menjadi satu paket dengan kehidupan.
Lucky (39) menggelar pameran bersama teman seangkatannya di FSRD ITB, Trie Aryadi Harijoto (39), di Orbital Dago, Bandung, Selasa (28/3/2023). Pameran itu bertajuk Preliminaries (Persiapan) yang dikuratori Mujahidin Nurrahman.
Di sela-sela pameran, Lucky mengisahkan pengalaman yang bagi banyak orang mengerikan: mendekati kematian. Namun, pengalaman seperti itu sekaligus memberikan kesadaran baru. ”Pengalaman mendekati kematian itu membuat saya lebih ikhlas. Sebelumnya, saya seperti manusia modern lainnya dalam menempuh dinamika kehidupan yang serba ingin bergerak cepat untuk memperoleh hasil,” ujar Lucky.
Pengalaman itu terjadi pada suatu siang tahun 2021 saat pandemi Covid-19. Lucky mengalami serangan jantung di rumahnya. Ia segera dilarikan ke rumah sakit dan menjalani perawatan. Setelah membaik, Lucky diberi tahu istrinya bahwa detak jantungnya sempat terhenti dua sampai tiga detik seperti yang bisa disaksikan di layar monitor detak jantung.
”Pembuluh darah di jantung saya akhirnya kembali diberi satu cincin. Sebelum itu, sudah pernah dua kali diberi cincin,” ujar Lucky.
Setelah sehat, Lucky melanjutkan kegiatan berkeseniannya. Namun ada yang berubah. Sebelumnya ia banyak mengusung tema identitas dan lingkungan hidup dalam karya-karyanya, belakangan ia mulai menyentuh persoalan ketubuhan dan kematian.
Dalam pameran Preliminaries, tema soal ketubuhan bisa ditemui pada lukisan Lucky berjudul ”Burn”. Lukisan itu memperlihatkan nyala api yang keluar dari rongga dada. Api merupakan simbol rasa panas di dada yang dirasakan orang yang terkena serangan jantung. Setelah serangan itu bisa diatasi melalui perawatan, ada semacam perasaan lega. Nyala api itu telah keluar dari dada.
Lukisan Lucky lainnya berjudul ”Stand” memperlihatkan sepasang kaki berdiri tegak di atas tengkorak. Lewat lukisan itu, ia menyodorkan metafora bahwa kehidupan dan kematian itu adalah satu tarikan. Seketika atau kapan pun kematian bisa merenggut kehidupan.
Baik dan buruk
Rekan Lucky, Trie Aryadi atau akrab disapa Aryo, lewat karya seri berjudul ”Lebih Dekat dari Nadi” berkisah tentang catatan kehidupan yang baik dan buruk. Setiap orang akan memilikinya.
”Kadang orang tidak bisa menghindar dari sesuatu yang buruk. Ketika hidup akhirnya bisa ditutup dengan kebaikan, maka di saat kematian rohnya akan ditarik dengan lembut seperti aliran air,” kata Aryo.
Aryo memiliki pengalaman tersendiri. Pada 2010 ia memeluk ayahnya yang terkena serangan jantung hingga wafat di pangkuannya. Ia merasakan napas terakhir ayahnya dan seperti melihat roh ayahnya terenggut seperti aliran air mengalir.
Aryo tidak ingin membicarakan kehidupan roh setelah kematian tubuhnya. Melalui sebuah karya lukisannya yang diberi judul ”Decomposition by God”, Aryo berkisah tentang asal mula manusia dari tanah akan kembali ke tanah.
Lukisan itu menggambarkan bagian kepala menyembul di atas permukaan tanah dengan tubuh yang tenggelam, pergelangan tangan kanannya muncul ke atas permukaan dan membawa sepotong tumbuhan hijau. Ini metafora kematian yang akan mendatangkan kehidupan baru.
Baca juga: Manifestasi Spiritualitas Nusantara
Bagi banyak orang, berbicara tentang kematian pada umumnya mendatangkan kecemasan. Ini dilukiskan Aryo lewak karya yang diberi judul ”Hultarian”. Kata ini dirangkai dari asal kata huleng dalam bahasa Sunda yang bermakna ’melamun’.
”Hultarian itu melamun dengan intensif seperti menunggu proses kematian. Itu seperti berjalan di lorong, bisa bermakna pula menunggu atau menyiapkan diri. Di situ akan ada pertempuran batin,” ucap Aryo.
Hultarian juga diberi makna sebagai orang yang memiliki kecemasan berlebihan terhadap kematian. ”Hultarian menjadi simbol kecemasan. Cemas menghadapi kematian akan seperti apa, cemas akan meninggalkan apa, dan sebagainya,” lanjut Aryo.
Tidak ada jarak
Bagi kurator Mujahidin Nurrahman, baik Lucky maupun Aryo melalui karya-karya mereka memberikan pesan agar setiap orang mau mempersiapkan kematian. Keduanya mempersiapkan kematian dengan pengalaman yang berbeda.
”Soal kematian ini memang kadang dijauhi. Melalui seni, kita bisa melihat kematian sebagai keindahan,” ujar Mujahidin.
Sebagai perupa, Mujahidin pada 2008 pernah menggarap karya tentang kematian dan dipamerkan di Galeri Cemara, Jakarta. Pada waktu itu, ia membayangkan ada apa setelah kematian.
”Saya tidak ada jarak dengan tema kematian. Keindahan bukan karena saya tahu setelah kematian akan indah. Tetapi, saya mengeluarkan apa yang saya rasakan tentang kematian dan menjadikan sebagai karya dengan keindahan,” kata Mujahidin.
Mengeluarkan pikiran di dalam diri tentang kematian ternyata sekaligus bisa mengatasi kegundahan. Ujung-ujungnya, dapat meraih sebuah ketenangan hidup.
”Bila kita memperbincangkan kematian, sebetulnya menjadi satu paket dengan kehidupan itu sendiri,” kata Mujahidin.
Fenomena seni berbicara tentang kematian untuk beberapa tahun terakhir menjadi hal baru. Padahal, dua-tiga tahun terakhir terjadi pandemi Covid-19 yang menimbulkan banyak kematian.
Baca juga: Rekaman Layar Sewaktu Rapat
”Seni rupa sejak era 2000-an sampai sekarang banyak dihadapkan dengan selebrasi kehidupan. Melalui seni, orang berbicara tentang mimpi, tentang ruang, tentang teknologi, dan sebagainya. Jarang yang membicarakan kematian,” tutur Rifky Effendy, pemilik dan pengelola galeri Orbital Dago. Berbeda dengan seniman di Eropa yang, menurut Rifky, banyak memperbincangkan kematian lewat karya-karya seni rupa setelah terjadi Perang Dunia I dan II.
”Sekarang mulai ada segelintir seniman yang membicarakan lagi tentang kematian. Mereka menggali dari pengalaman diri sendiri,” ujar Rifky.
Melalui berbagai peristiwa kematian yang dirasakan secara personal seperti yang dialami perupa Lucky dan Aryo, ternyata ada sesuatu yang bisa digali secara menarik. Pengalaman mereka yang dituangkan secara visual itu mungkin sekali menawarkan kesadaran-kesadaran baru.
”Ini sebuah selebrasi kematian yang semestinya akan sama menariknya dengan selebrasi kehidupan. Seperti terjadi di Meksiko atau Jepang, ada tradisi yang merayakan kematian, merayakan arwah-arwah dari orang yang pernah hidup,” papar Rifky.
Ada nilai penting yang bisa dipetik dari upaya merayakan kematian. Kesadaran massal terhadap kematian bertujuan supaya kita menyadari untuk hidup yang lebih baik. Supaya kita tidak semena-mena terhadap kehidupan, memanfaatkan hidup sebaik-baiknya sebelum kematian.