Pertanyaan soal Cinta Buta Kaisar dan Selir
Kaisar Xuanzong dari Dinasti Tang jatuh cinta kepada selir Yang Yuhuan dengan begitu dalam. Tetapi, kestabilan negara jadi ikut berada dalam pertaruhan.
”
Hidup bahagia tak selalu menjadi akhir bagi pasangan kekasih yang saling mencintai. Dalam drama The Song of Everlasting Sorrow atau Lagu Kesedihan Abadi, sang kaisar bersama selir tersayang tidak luput dari tragedi. Namun, muda mudi China mempertanyakan kisah cinta buta yang legendaris itu.
Sebuah sosok samar terlihat dari kejauhan. Tubuh moleknya lama-kelamaan mewujud nyata setelah meluncur dari arah Gunung Li menuju jembatan di atas panggung. Seakan bidadari yang turun dari langit. Sang perempuan, Yang Yuhuan, lantas menari dengan elok sehingga membius mata Kaisar Xuanzong dari Dinasti Tang (618-907).
Adegan tersebut membuka pertunjukan The Song of Everlasting Sorrow di Istana Huaqing, Xi’an, Shaanxi, Selasa (16/5/2023) silam. Pertunjukan drama ini adalah adaptasi dari puisi legendaris ”Chang Hen Ge” karya Bai Juyi yang terinspirasi dari kisah nyata percintaan tragis dua insan itu.
Yang Yuhuan, atau Yang Guifei, terkenal sebagai satu dari empat perempuan tercantik zaman China kuno. Kecantikan inilah yang mengantarkan Yang Yuhuan masuk ke istana sebagai selir Kaisar Xuanzong.
Adegan upacara pengangkatan Yang Yuhuan sebagai selir berlangsung semarak. Puluhan penari dan pejabat berkostum menarik bersukaria. Hari berganti menjadi malam, sang kaisar dan selir merayakan cinta dengan bintang dan bulan sebagai saksi. Sumpah sebagai pasangan terucapkan.
Hidup Kaisar Xuanzong dan Yang Yuhuan berjalan penuh mabuk cinta. Sampai datanglah An Lushan, seorang jenderal, memperkenalkan tarian Huteng dan Huxuan yang energik. Kehidupan istana yang tenang menjadi lebih hidup selama beberapa waktu.
Shaanxi Tourism Group memproduksi drama The Song of Everlasting Sorrow berkualitas tinggi hingga membius penonton selama 90 menit. Pusat pertunjukan berlangsung di depan bangunan megah berlatar kaki Gunung Li. Di depannya terdapat panggung besar dikelilingi telaga. Rimbunnya pohon dedalu di sepanjang panggung memberi kesan asri.
Ribuan kursi penonton berderet rapi di hadapan panggung terbuka tersebut. Tata panggung seperti itu sontak membuat penonton seakan menjadi saksi langsung masa gemilang Dinasti Tang. Namun, ada dua elemen penting yang membuat drama The Song of Everlasting Sorrow lebih berkesan.
Penggunaan teknologi membuat pertunjukan begitu hidup. Pemeran Yang Yuhuan beberapa kali melayang di udara menggunakan dengan tali. Beberapa panggung yang mudah dipindahkan di taruh di beberapa titik strategis. Di telaga, air mancur terkadang timbul dan api sesekali membara yang kian indah dengan pantulan lampu laser.
Penataan cahaya panggung kian sempurna karena lantai panggung ikut bersinar sesuai suasana cerita. Lampu putih untuk suasana suci, pink, dan merah muda untuk perayaan, serta merah untuk kemarahan.
Di belakang gedung istana, layar LED raksasa dengan visual abstrak menambah kekayaan narasi cerita. Tim produksi bahkan menghias Gunung Li di belakang dengan lampu putih sebagai kiasan bintang di langit. Penonton tak henti berdecak kagum atas keindahan visual tersebut ditambah sistem suara yang mumpuni dari segala arah.
Baca juga: Jerit Drupadi dalam Belitan Misogini
Selain itu, tim produksi menerapkan kreativitas dalam menampilkan cerita. Sejumlah aktor dan aktris memerankan karakter yang sama. Alhasil, pertunjukan terjadi dalam waktu aktual, tetapi penonton bisa menyaksikan adegan yang sama dari sudut pandang jauh ataupun dekat dalam waktu sekejap.
Para pemeran juga menampilkan koreografi atraktif. Mereka menampilkan tarian tradisional China, Asia Tengah, dan unsur tari Eropa. Shaanxi Tourism Group meramu sejarah, alam, seni, budaya, cinta, dan spiritualitas menjadi kesatuan utuh dalam bentuk presentasi kontemporer yang canggih.
”Pertunjukannya luar biasa, itu terasa dari antusiasme penonton. Kombinasi cerita klasik dalam penyajian alih media yang modern ini sangat menarik sehingga saya jadi tertarik belajar seni tradisional, budaya, dan sejarah. Setelah menonton drama ini, saya juga tahu bagaimana Dinasti Tang dari kuat menjadi lemah,” kata Zhang Yongchang (25), penonton dari Provinsi Shanxi.
Pemangku kuasa
Drama The Song of Everlasting Sorrow tak hanya menawarkan pertunjukan visual nan memukau. Kisah cinta mengenaskan itu juga memberi pelajaran krusial soal sosok pemangku kuasa.
Konflik dalam pertunjukan mulai bermula kala An Lushan menggelorakan pemberontakan melawan Dinasti Tang. Kabupaten Tongguan jatuh. Tentara pemberontakan dalam sekejap mendatangi Kota Chang'an, nama lama Kota Xi’an.
Pemberontakan An Lushan menghancurkan kemakmuran luar biasa era Dinasti Tang. Hubungan kaisar dan selir ikut terancam. Awalnya, Kaisar Xuanzong hendak membawa Yang Yuhuan ke Provinsi Sichuan, tetapi terhenti di Mawei Wi Po, sebuah lokasi yang terletak 11 kilometer dari barat kota Xingping.
Para prajurit mengelilingi duo sejoli ini. Banyak pejabat dan penjaga istana berpikir bahwa saudara Yang Yuhuan, Yang Guozhong, memprovokasi pemberontakan. Yang Yuhuan dituntut mati demi menyelamatkan negara.
Sejumlah prajurit telah siap menodong tombak ke arah mereka. Kaisar Xuanzong tidak punya banyak pilihan. Ia terpaksa membiarkan selirnya mati yang ditampilkan dalam penggambaran penuh eufimisme.
Kesedihan lantas menyelimuti hati sang kaisar. Ketika kembali ke kota Chang'an, Kaisar Xuanzong terus terkenang akan sosok Yang Yuhuan. Ia menyalurkan duka dengan menari, tetapi gerakannya lunglai. Ia lalu terduduk di takhta dengan kepala menunduk.
Di dunia lain pun, Yang Yuhuan menari penuh kesedihan. Pada akhirnya, dalam mimpi, Kaisar Xuanzong pergi ke Negeri Dongeng Penglai dan bertemu dengan Yang Yuhuan. Mereka melepas rindu. Adegan itu ditunjukan dengan pertemuan dua sejoli di atas dua jembatan yang lama-lama bergerak menyatu.
Baca juga: Julini Dipuji dan Dicaci
Mengutip Britannica, menurut catatan sejarah, Dinasti Tang di bawah pemerintahan Kaisar Xuanzong mencapai masa keemasan di bidang pemerintahan dan budaya. Dia mereformasi birokrasi, meningkatkan pendapatan pajak, memperbaiki sistem transportasi, dan membentuk kekuatan militer di sepanjang perbatasan utara negara.
Menjelang akhir masa pemerintahan, ia mulai menarik diri dari pemerintahan di bawah pengaruh para pasangannya, termasuk Yang Yuhuan. Setelah pemberontakan An Lushan terjadi, ia turun takhta.
Liu Yukun (24), penonton dari Shaanxi, mengapresiasi pertunjukan The Song of Everlasting Sorrow yang dikemas indah. Akan tetapi, ia tidak terkesan dengan cerita cinta sang kaisar dan selir itu.
”Ceritanya tidak realistis untuk diimplementasi di kehidupan nyata. Sebagai pemimpin, sang kaisar terlena dalam kesedihan sehingga mengabaikan kewajibannya,” tuturnya.
Kritik Liu itu mengena jika berkaca ke situasi politik Indonesia. Menjelang Pemilu 2024 nanti, semoga para pemangku kuasa yang ingin berlaga tidak terlalu sibuk melobi sana sini atau melakukan pencitraan demi meraih suara. Bekerja tulus untuk kepentingan rakyat mesti selalu menjadi prioritas utama. Biarkan rakyat menilai dari hasil kerja keras itu.