Marwah Perempuan Perupa
Ada marwah, ada kemuliaan yang melekat pada sosok-sosok perempuan perupa. Semua hadir pada pameran ”Marwah” di Pos Bloc pekan ini.
Tatanan dan norma sosial kita masih menjadi beban tersendiri bagi perempuan perupa. Sebagian besar dari mereka tetap menjalankan peran ganda sebagai ibu rumah tangga yang membuat ruang gerak dan waktu lebih terbatas dibandingkan dengan kaum adam. Tepatlah jika kemudian disebut ada marwah, ada kemuliaan yang melekat pada sosok-sosok perempuan perupa itu.
Perupa surealis Lucia Hartini (64), kelahiran Temanggung, Jawa Tengah, hadir dan menampilkan karya di antara 78 karya perempuan perupa lainnya. Lucia menampilkan karyanya untuk pameran bertajuk ”Marwah”.
Pameran ”Marwah” diprakarsai Amuba Creative bersama Artpora dan diselenggarakan di Pos Bloc, Jakarta, 14-20 Agustus 2023. Pos Bloc menempati Gedung Filateli yang dulunya adalah kantor pos pertama di Indonesia. Kini, gedung yang semula terbengkalai itu telah direvitalisasi untuk ruang pamer dan beranda kuliner berbagai jenama.
Melalui karya lukisan surealis yang diberi judul ”Wanita Berpayung” (2023), Lucia Hartini menggambarkan situasi perempuan yang patut mendapat marwah atau kehormatan. Lucia melukis seorang perempuan berwajah tersenyum dan mengenakan kain putih sedang berpayung. Tudung payung berbentuk lingkaran itu dilukiskan Lucia sebagai semesta. Ada bintang-bintang, planet, dan pusaran tepat di tengah sumbu payung.
”Perempuan dalam hidupnya harus berpikir dan bertindak seperti semesta. Perempuan memikirkan keseluruhan supaya hidup terus berjalan,” ujar Lucia seusai pembukaan pameran ”Marwah”, Senin (14/8/2023).
Lucia bercerita tentang aktivitas melukisnya yang tak bisa terlepas dari tugas utama sebagai ibu rumah tangga. Setelah membesarkan anak hingga berkeluarga, Lucia pun tak serta-merta terbebas dari kegiatan membesarkan cucu-cucunya. Ada marwah di situ. Lucia tetap terus melukis.
Pameran Marwah dibuka Ketua Yayasan Cemara Enam Inda Citranida Noerhadi. Inda dalam sambutan pembukaan menyampaikan kutipan menarik dari penulis Linda Nochlin (1971), ”Why have there been no great women artists?”.
”Ini mengulas bagaimana perempuan secara institusional dianggap tidak mungkin dapat mencapai prestasi yang sangat istimewa dan sangat bagus sekali di dalam menggeluti bidang artistik,” ujar Inda.
Apa yang dikemukakan Lucia Hartini mungkin saja memberikan gambaran tentang pernyataan Linda Nochlin. ”Sekalipun perempuan memiliki potensi atau bakat dan genius, tetap sulit mendapat kesempatan mengembangkan minat pada bidang artistik seperti layaknya laki-laki,” kata Inda, mengutip pernyataan Nochlin.
Sekalipun perempuan memiliki potensi atau bakat dan genius, tetap sulit mendapat kesempatan mengembangkan minat pada bidang artistik seperti layaknya laki-laki.
Pernyataan Nochlin tentu saja menjadi perdebatan. Ada yang menguatkan, misalnya, dengan sebutan kaum perempuan selama ini hanya menghiasi bidang kanvas alias obyek lukisan saja. Kalau tidak, perempuan hanya menjadi model patung.
Ada pula yang menyurutkan pandangan Nochlin tersebut. Menurut Inda, setidaknya dalam dua dekade belakangan ini perempuan perupa berhasil menunjukkan karya-karya luar biasa dan meraih ruang-ruang ekspresi. Pameran ”Marwah” yang menghadirkan 78 karya perempuan perupa menjadi bukti tak terelakkan.
Baca juga: Mengaburkan Batas Seni Rupa
Spirit Srikandi
Pameran Marwah menghadirkan sebagian besar lukisan dua dimensi. Ada juga seni patung tiga dimensi dan seni instalasi yang bercerita tentang banyak hal.
Simak karya perupa Afriani yang menampilkan lukisan dengan judul ”Sri”. Ia melukis deretan perempuan pahlawan nasional dan istri tokoh nasional, seperti Ibu Tien Suharto, secara realis. Perempuan-perempuan itu menyaksikan seorang penari yang memerankan tokoh Srikandi sedang menarik busur panahnya.
”Ini soal spirit Srikandi. Bagaimana seorang perempuan harus memiliki spirit kuat dan berani seperti Srikandi untuk menghadapi apa pun,” ujar Afriani.
Srikandi juga menjadi inspirasi bagi perupa Astuti Kusumo. Jika Afriani melukis dengan realis, Astuti melukis Srikandi yang juga sedang menenteng busur panahnya dengan corak lebih ekspresif.
Perupa asal Jerman, Francisca Fennert, yang kini berkarya dan menetap di Yogyakarta, menampilkan seni instalasi yang diberi judul Dewi Sri. Ia menyajikan karya kolektif berupa kalender Pranata Mangsa (Perkiraan Musim) di bidang layar terbuat dari kain, tiga cangkul dengan segumpal tanah di bawahnya, beserta foto dan video aktivitas kolektif lainnya.
”Karya ini membicarakan Dewi Sri dengan diversifikasi pangan dan kesuburan tanahnya. Di Jerman, isu seperti ini sudah ditinggalkan,” ujar Francisca. Dia ingin mengingatkan pentingnya diversifikasi pangan lewat karya instalasi itu.
Masih banyak kisah lain. Di antaranya perupa Dolorosa Sinaga dengan karya tiga dimensi berjudul ”Codex of Art Power”. Dolorosa menawarkan fungsi ekspresi individual dan kekuatan ekspresi artistik untuk terlibat dalam perubahan persepsi, interpretasi, dan sikap budaya.
Kebangkitan
Kurator Anna Sungkar memilih diksi perupa perempuan dan keterlibatan 78 perupa perempuan dalam memaknai Hari Ulang Tahun Ke-78 Kemerdekaan Indonesia dimaksudkan sebagai kebangkitan perupa perempuan Indonesia merdeka.
”Marwah adalah martabat, kehormatan, kemuliaan, gengsi, dan ketinggian derajat dari manusia. Ia ada karena prestasi yang dipupuk sejak dini, dan diperjuangkan untuk menjadi yang terbaik,” kata Anna.
Perempuan mewakili lebih dari setengah populasi dunia. Mereka harus mendapat kesempatan sama di bidang artistik. Ini masuk ranah pemberdayaan perempuan dan terbukti bisa memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
”Pameran ’Marwah’ mengedepankan dignity atau harga diri sekaligus peran perempuan,” ucap Anna.
Marwah adalah martabat, kehormatan, kemuliaan, gengsi, dan ketinggian derajat dari manusia. Ia ada karena prestasi yang dipupuk sejak dini, dan diperjuangkan untuk menjadi yang terbaik.
Anna membagi kisah karya yang disajikan di dalam pameran ini sebagai berikut: sistem reproduksi, raga, pikiran, wajah, cermin dan topeng, tokoh dan dewi, ibu, rumah dan istri, melihat keluar, pelestarian lingkungan, keberagaman, kesetaraan jender, jati diri dan tradisi, serta perjuangan perempuan.
Anna mencemplungkan nama-nama perupa ke dalam bagian masing-masing. Seperti karya Ariesa Pandanwangi berjudul ”Embrio” masuk ke ranah sistem reproduksi. Di dalam karyanya itu, Ariesa mengingatkan hal kodrati perempuan yang tak terelakkan dengan tugas merawat embrio hingga tumbuh menjadi bayi dan individu baru.
Baca juga: Menggugah Kesementaraan lewat Kartun
Di situ ada lagi karya Ni Nyoman Sani, Nia Gautama, dan Niken Larasati, yang sama-sama menyuarakan perihal kodrati perempuan dalam sistem reproduksi ini.
Bagian perjuangan perempuan diisi karya Beatrix Hendriani, ”Head Up”. Kemudian ada lagi perupa Bunga Jeruk yang menyuguhkan karya lukisan ”Feeling Grateful”, menawarkan gagasan perjuangan perempuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Perupa lain di ranah perjuangan perempuan meliputi Dina Budijanto, Dwi Kartika Rahayu, Erica Hestu Wahyuni, Fransisca CS, Gabrielle Maria Anna, Inanike Agusta, Kania Giana, Mouna Be, Neneng Sia Ferrier, Nita Nursita, Puji Rahayu, Silviola Septia Heriza, Theresia Agustina Sitompul, dan Ulil Gama.
Anna telaten dalam membagi ruang kedalaman makna dari setiap karya yang dipamerkan ini. Layaknya sebuah teks, pameran Marwah yang menampilkan keberagaman simbol itu perlu ditafsir. Banyak refleksi kehidupan di dalamnya ketika karya seni rupa yang baik adalah karya yang menawarkan sebuah dunia di mana kita seolah-olah masuk di dalamnya.
”Kita bisa melihat diri kita ada di sana dan menjadi bagian dari dunia yang ditawarkan oleh karya tersebut,” ujar Anna.
Itu sebabnya, karya seni rupa mampu mengundang apresiator dan kolektor. Ketika seorang kolektor merasa terwakili kehadirannya di dalam karya, mereka berkenan ”memindahkan” karya itu ke rumah masing-masing.