Ken Dedes, Sindiran Darah Biru
Ketika para pemimpin berdarah biru masih memperebutkan kekuasaan, negara menjadi tidak aman. Begitulah salah satu pesan dari pementasan ”Ken Dedes”.
Suksesi kepemimpinan sebuah bangsa tidak jarang mendatangkan petaka. Warga menjadi saling sikut. Hidup mereka penuh syak wasangka, saling curiga. Negara pun menjadi tidak aman.
Untuk menghindari itu semua, dibutuhkan pemimpin yang tak lagi berdarah biru, melainkan berdarah merah. Sebab, orang berdarah biru itu penuh intrik, penuh tipu muslihat dalam memperebutkan kekuasaan. Seperti inilah pesan moral pementasan teater musikal Ken Dedes oleh Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) Dance Company.
Lakon ini dipentaskan empat hari di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Yang pertama pada 16–17 September 2023 dan berikutnya pada 23–24 September 2023. Pementasan ini merupakan hasil penggarapan ulang karya yang pernah dipentaskan pada 1996. Garapan pertama berupa drama tari tanpa naskah, melibatkan 18 pemain. Pementasan pada tahun ini sebagai teater musikal dengan naskah dan kolosal yang melibatkan sekitar 80 pemain.
Naskah digarap Titien Wattimena dan memakan durasi pentas sekitar dua jam. Pesan moral yang menyindir para bangsawan berdarah biru itu muncul dalam sebuah percakapan sepasang suami istri Pak Larto dan Bu Laras.
Bu Laras dan Pak Larto ini sepasang suami istri bangsawan. Mereka berada di masa transisi pemerintahan Akuwu Tumapel Tunggul Ametung, hingga kemudian Tunggul Ametung dibunuh oleh Ken Arok.
Ken Arok pun mengambil alih jabatan Tunggul Ametung, sekaligus juga mengambil alih istrinya, Ken Dedes. Ken Arok sendiri sebelumnya telah memperistri Ken Umang.
Ketika menjadi pengganti Akuwu Tumapel, Ken Arok akhirnya memisahkan diri dari Kerajaan Kediri dan mendirikan kerajaan Singasari.
Peristiwa berdarah untuk pergantian raja Singasari kembali terjadi. Ken Arok dibunuh Anusapati, anak Ken Dedes dari ayah Tunggul Ametung, lewat suruhannya.
”Pak, Pak… kapan negara ini jadi tenang, enggak kacau seperti ini?” tanya Bu Laras, yang diperankan Takako Leen.
Pak Larto diperankan Kiki Narendra. Perbincangan mereka membahas pertanyaan kapan negara akan tenang karena peristiwa berdarah selalu mewarnai kerajaannya.
”(Akan aman) Kalau negeri ini sudah tidak lagi dipimpin oleh orang yang berdarah biru, tapi merah seperti kamu,” kata Pak Larto.
Percakapan ini sekaligus menutup pementasan.
Sudut pandang perempuan
Ide mementaskan kembali Ken Dedes muncul di masa pandemi Covid-19. Saat itu, penata artistik sekaligus pendiri dan pemilik EKI Dance Company, Rusdy Rukmarata (alm, 1952–2023), menginginkan agar pementasan Ken Dedes disertai naskah yang digarap dengan sudut pandang perempuan.
Rusdy ketika masih hidup meminta Titien Wattimena, seorang penulis skenario film, untuk menggarap naskah Ken Dedes ini. Titien menyanggupi dan ingin lebih menonjolkan sosok Ken Dedes beserta Ken Umang, istri Ken Arok.
Menurut Titien, penulisan sejarah lebih banyak menonjolkan sudut pandang yang tertuju kepada Ken Arok. Itu pun terdapat beberapa versi.
Titien mengambil sudut pandang perempuan dengan menonjolkan peran Ken Dedes dan Ken Umang. ”Saya tidak memahami politik, tetapi kemudian melihat aspek personal dari Ken Dedes dan Ken Umang ternyata bisa melebar ke politik. Di sinilah peran Ken Dedes tampak menjadi master mind, menjadi otak dari peristiwa yang kemudian melebar menjadi politik perebutan kekuasaan,” ujar Titien, yang pernah memenangi penghargaan Piala Citra sebagai penulis Cerita Asli Terbaik pada 2013 dan Skenario Adaptasi Terbaik pada 2013 dan 2018.
Ken Dedes diculik
Ketika Kompas menyaksikan pementasan pertama di hari Sabtu (16/9/2023), pentas diawali seorang narator yang mengisahkan riwayat Ken Dedes sebagai gadis desa yang cantik. Narasi ini ditampilkan lewat sebuah animasi di layar video yang besar.
Masih dengan animasi video, Ken Dedes dijumpai Tunggul Ametung sendirian di rumahnya. Ken Dedes diculik dan menjadi permaisuri Tunggul Ametung.
Ayah Ken Dedes seorang pendeta. Ketika Ken Dedes diculik, ia sedang bertapa di tengah hutan. Ketika pulang dan mengetahui Ken Dedes diculik, ia mengutuk penculiknya suatu saat akan mati terbunuh. Tunggul Ametung mengetahui itu dan murka. Ia memerintahkan prajurit untuk membunuh ayah Ken Dedes.
”Dari sinilah kemudian Ken Dedes menyimpan dendam yang tidak pernah pupus terhadap Tunggul Ametung,” ujar Titien Wattimena dalam percakapan sehari menjelang pementasan.
Titien melihat ada beberapa versi tentang relasi Ken Arok dan Ken Dedes. Ada versi yang mengisahkan Ken Dedes setelah diperistri Tunggul Ametung pernah menyingkap kain yang dikenakan. Saat itu Ken Dedes sedang mengunjungi Taman Boboji. Ken Arok bekerja sebagai tukang taman itu.
”Beberapa penulisan sejarah ada yang menyebutkan, Ken Arok melihat betis Ken Dedes bersinar. Akan tetapi, naskah yang saya buat tidak menampilkan persoalan ini,” kata Titien.
Titien menggunakan versi Ken Arok yang sebelumnya menjadi seorang perampok kuat, kemudian direkrut menjadi prajurit Akuwu Tumapel. Jabatan Ken Arok melejit hingga menduduki posisi panglima.
Titien mengemas kisah perjumpaan Ken Dedes dan Ken Arok ke dalam suatu pesta kerajaan. Setelah perjumpaan itu, Ken Arok dan Ken Dedes mengawali perselingkuhan.
Baca juga : Panggung Megah Malahayati
Titien mengemas narasi seperti ini dengan cerdik melalui perbincangan gosip oleh Pak Larto dan Bu Laras. Penonton menjadi mudah memahami narasi.
Selain dari Ken Dedes, Titien juga menghadirkan sudut pandang Ken Umang sebagai sosok istri Ken Arok yang setia. Ia tak mudah percaya akan adanya gosip perselingkuhan Ken Arok dengan Ken Dedes. Hingga suatu kali ia melihat sendiri Ken Dedes sedang berpelukan dengan Ken Arok di tengah hutan.
Aspek personal di antara mereka melebar menjadi politik yang memanas. Terjadi pertumpahan darah. Tunggul Ametung dibunuh oleh Ken Arok. Ini sekaligus memenuhi kutukan ayah Ken Dedes. Tidak berhenti di situ.
Suksesi penguasa Kerajaan Singasari yang didirikan Ken Arok dan Ken Dedes pada masa-masa awal selalu berdarah. Inilah yang dimaksud ketika para pemimpin berdarah biru yang haus kekuasaan berebut takhta, negeri tidak akan tenang dan aman.
Sekarang kita mulai dikenalkan pada sistem demokrasi yang tidak lagi menyerahkan kekuasaan negara kepada orang yang berdarah biru atau keturunan dari suatu dinasti penguasa. Akan tetapi, tak sedikit orang berdarah biru yang tak rela melepaskan kekuasaan begitu saja.
”Ketika para pemimpin berdarah biru masih memperebutkan kekuasaan, negara menjadi tidak aman,” kata Titien.