Putu Sutawijaya berpameran tunggal di Bentara Budaya Jakarta pada 14-29 September 2023. Pameran bertajuk Lelampah ini hasil dari perjalanannya mencari Garuda di Candi Kedaton.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Putu Sutawijaya, seniman mapan yang namanya beken, memutuskan untuk belajar lagi menjadi seniman dari nol. Ibarat caleg menjelang masa pemilu, Putu blusukan ke lapangan, menyapa warga, dan mempelajari candi-candi di Jawa (poin terakhir bukan khas caleg). Hasil ”kampanye” Putu kini dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta.
Pameran Lelampah yang berlangsung pada 14-29 September 2023 adalah pameran tunggal Putu yang kesekian kalinya. Namun, bisa dibilang ini permulaan Putu mempertemukan seni rupa, fotografi, dan lukisan. Sebetulnya dulu ia pernah mencoba pola berkarya seperti ini, tetapi belum pernah se-total sekarang. Lukisan Putu monokrom dan didominasi warna hitam-putih, sementara patungnya kecoklatan.
Lewat pola ini, Putu mencoba memvisualkan Candi Kedaton, sebuah candi yang ada di dalam hutan Gunung Argopuro, Probolinggo, Jawa Timur. Di sana ada relief yang menceritakan Garuda saat mencari air amerta atau air kehidupan. Air itu adalah kunci pembebasan ibunya, Winata, yang diperbudak Kadru.
”Aku sebetulnya bukan pelukis naratif. Konsep, tuh, nomor sekian dulu. Aku biasanya melukis ’Blar! Bler! Blar! Bler!’saja,” ujar Putu di Jakarta, Kamis (14/9/2023). ”Aku sekarang mau dibilang sebagai perupa yang bercerita, enggak apa-apalah!”
Putu pernah ke Candi Kedaton 7-8 tahun lalu, tapi waktu itu kisah Garuda belum menyentuh baginya. Kata Putu, waktu itu ia belum paham. Ia kembali berkunjung ke Candi Kedaton beberapa tahun kemudian dan jatuh cinta. Candi Kedaton yang berasal dari abad ke-14 terasa luar biasa baginya. Reliefnya detail, naratif, dan inspiratif. Fantastis!
”Kalau lihat ukiran reliefnya, mungkin ini salah satu candi terbaik dari sisi visual,” katanya. ”Tema Garuda di candi ini menarik karena reliefnya manusiawi. Ada Garuda sungkem di telapak kaki ibunya.”
Pesona relief boleh jadi salah satu daya tarik candi. Namun, ia tak lupa menyerap apa saja yang bisa ditemui di lapangan: suasananya, alam sekitar, hingga masyarakat yang menjaga candi.
Pengalaman ini membawa Putu belajar lagi cara melihat dan merasakan segala sesuatu. Bisa dibilang, ia belajar lagi dari nol. Kemapanan teknis berkesenian tak dibiarkan jadi tipuan untuk nyaman di satu tempat. Meskipun demikian, perjalanan pengalaman lapanganlah yang akhirnya memperkaya Putu.
Perjalanan (dalam bahasa Jawa, perjalanan bisa diartikan sebagai lelampah) lalu dipilih sebagai judul pameran. Menurut kurator pameran Kris Budiman, perjalanan Putu mencari Garuda, dan dirinya sebagai seniman, bukan perjalanan yang diartikan secara harfiah. Lingkup medan makna perjalanan melampaui geografi fisik.
”Jika boleh dirumuskan dengan terma-terma lokal dalam sistem pengetahuan Jawa, jangkauannya mulai dari laku raga, laku cipta, laku jiwa, hingga laku rasa,” ujar Kris pada catatan kuratorial.
Garuda
Garuda lantas ditetapkan menjadi inspirasi, kemudian digubah menjadi karya. Sedikitnya ada 10 lukisan hitam-putih di atas kanvas. Ukuran paling besar 200 senitimeter x 200 senitimeter, paling kecil 80 cm x 70 cm. Ada juga lukisan yang diolah dari foto di atas plat aluminium berdimensi 50 cm x 50 cm, serta patung-patung dari besi dan kuningan setinggi sekitar satu meter. Selain itu, Putu juga melakukan video dokumentasi riset ke Candi Kedaton.
General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri menangkap keseriusan Putu untuk berkarya di pameran kali ini. Karya-karyanya diolah seperti sedang menggarap tugas akhir kuliah. Targetnya adalah dapat nilai A, lalu lulus dengan predikat cum laude.
Ibarat belajar dari nol lagi, Putu butuh waktu cukup lama untuk menyiapkan pameran, sekitar delapan bulan. Ia juga banyak berkontemplasi, mengendapkan gagasan-gagasan yang muncul untuk dikaryakan.
Garuda dipilih bukan hanya karena relief di Candi Kedaton menarik. Garuda punya kualitas manusiawi sehingga Putu meyakini bahwa sebenarnya kita semua adalah Garuda. Bukan hanya tubuh Garuda yang manusiawi di relief ini, karakternya pun demikian.
Perjalanan mencari air amerta membawa Garuda ke Dewa Wisnu. Sang Dewa setuju memberi air amerta asalkan Garuda mau menjadi tunggangannya. Garuda setuju. Yang penting, ibunya lepas dari perbudakan.
Kisah Garuda heroik dan sangat mulia. Bakti kepada orangtua rupanya ajaran lama yang masih aktual hingga sekarang. Bagi Putu, apa-apa yang aktual bisa dikisahkan ulang dengan cara lain, bergantung pada kreatornya. Hal ini juga yang diharapkan dari perupa-perupa muda saat ini: mencari inspirasi dari akar budaya dan sejarah bangsa sendiri.
Omong-omong soal bangsa, tak lengkap rasanya bicara Garuda tanpa menengok lambang negara. Burung Garuda dengan perisai Pancasila dan tulisan ”Bhinneka Tunggal Ika” adalah simbol keberagaman yang padu. Tapi, banyak yang lupa soal ini. Putu dan kurator pameran, M Hilmi Faiq, berkelakar bahwa jangan-jangan orang pun lupa Burung Garuda selama ini menengok ke kanan.
Karya Putu mengingatkan lagi nilai-nilai Garuda. Bagi sang seniman, Garuda adalah rambu-rambu untuk berkelakuan. Tak boleh semena-mena walau negeri ini adalah rumah sendiri. Di rumah saja ibu pasti ngomel kalau sepatu dipakai di dalam rumah, piring kotor tak dicuci, dan kaus kaki dilempar asal-asalan. Hormatilah rumahmu dan para penghuninya.
Bagi sang seniman, Garuda adalah rambu-rambu untuk berkelakuan. Tak boleh semena-mena walau negeri ini adalah rumah sendiri.
Keberagaman
Garuda juga digambarkan sebagai pelindung keberagaman. Ini ada di lukisan ”Menjaga #2” yang dibuat pada kanvas berukuran 200 cm x 150 cm. Putu melukis Garuda yang menggendong benda lonjong besar mirip batu dengan ukiran peta Indonesia. Benda itu terlalu besar dan berat. Tangan Garuda kurang panjang untuk menimang benda itu dari ujung ke ujung. Sama seperti kita, persatuan negeri ini sulit dipikul sendirian. Ada yang bilang itu gambar balon yang mudah meletus jika tak benar-benar dijaga.
Pesan tersebut cocok jadi refleksi menjelang tahun politik 2024. Ketika membuka pameran Lelampah, Inayah Wahid menjelaskan bahwa judul pameran ini mengingatkannya pada tradisi Jawa tedhak sinten, yaitu upacara saat anak pertama kali turun tangan begitu dia bisa berjalan.
Langkah pertama anak dirayakan. Langkah kedua, ketiga, dan seterusnya tak hanya membanggakan orangtua, tapi juga dipandang sebagai penentu masa depan anak. Sama seperti tedhak sinten, perjalanan atau lelampah negeri pun menentukan ke mana bangsa ini melangkah. Jangan sampai salah langkah.
”Lelampah menjadi laku spiritual. Jadi, melangkah itu bukan hanya soal berpindah dari satu tempat ke tempat lain, atau berjalan satu-dua langkah saja,” kata Inayah.
Pemilu tahun depan pun demikian. Apa pemilu adalah wujud dari laku spiritual bangsa, atau sekadar laku politis? Yah, apa pun jawabannya, yang penting jangan lupa bahwa kepala Garuda menengok ke kanan, ya.