Dunia Berubah, Green Day Masih Resah
”Saviors”, album baru Green Day, masih berisi satire politik. Mereka masih disebut punk, meski tak menyangkal penuaan.
Band Green Day adalah anomali di genre punk rock. Selama lebih dari tiga dekade, mereka meraih status grup rock arena besar, rutin bikin album, dan menggelar tur panjang. Di album terbarunya, Saviors, mereka menertawakan otoritas yang tolol, tapi mulai renta menenggak air beralkohol.
Tiga puluh tahun lalu, vokalis/gitaris Billie Joe Armstrong menyapa pendengarnya ”selamat datang di paradiso” pada lagu ”Welcome to Paradise” di album debut label besar Dookie (1994). Kini, ketika berusia 51 tahun, Armstrong menyebut ”selamat datang di permasalahanku” dalam lagu ”Dilemma” pada album Saviors.
Dalam ”Welcome to Paradise”, Armstrong bercerita tentang kebosanan setelah tiga minggu kabur dari rumah, menggelandang di trotoar penuh pencandu dan dar-der-dor jagoan jalanan. Itulah yang dia sebut sebagai paradiso, ”rumah baru” buatnya. Di ujung lagu yang berbentuk curhatan kepada ibunya itu, Armstrong bilang betah juga setelah melewati enam bulan. ”And I’m never gonna go,” serunya dalam nada meninggi.
Armstrong, ditemani basis Mike Dirnt dan penggebuk drum Tre Cool menggenapi ucapannya. Mereka tak pernah pergi meninggalkan jagat yang membesarkannya: jalanan, kebosanan, pesimisme, kecanggungan, dan satire sosial. Topik-topik itu dibalut dalam agresivitas rock bergaya punk atau alternatif.
Album Dookie adalah karya debut mereka di label besar Interscope/Reprise Records, yang membuat trio ini tenar. Ketenarannya melampaui band segenerasi dari kawasan tongkrongan sama, yaitu San Francisco Bay Area, seperti Operation Ivy, Rancid, atau AFI.
Green Day ”memimpin” pergerakan musik punk renyah menaklukkan kanal arus utama. Mereka tampil di sampul majalah besar dan klip lagunya diputar berulang-ulang di MTV. Seiringan dengan sisa ”laskar” grunge macam Pearl Jam, Soundgarden, dan Alice in Chains, Green Day kukuh di kancah rock alternatif yang mengamplifikasi kegelisahan generasi X.
Ketenaran adalah pedang bermata dua bagi band yang lahir di kancah bawah tanah seperti mereka. Green Day dicap jualan alias selling-out hanya karena menapaki kemapanan. ”Itu konsekuensinya. Kami pernah kerja serabutan, jadi kurir paket atau penjaga pom bensin. Apa kami harus kembali ke (kehidupan) itu? Pilihan satu-satunya adalah melanjutkan yang telah kami upayakan,” kata Mike Dirnt kepada Rolling Stone.
Itu konsekuensinya. Kami pernah kerja serabutan, jadi kurir paket atau penjaga pom bensin. Apa kami harus kembali ke (kehidupan) itu?
Putaran zaman dan jeratan heroin akhirnya merontokkan banyak band yang besar di awal 1990-an. Hanya segelintir yang bertahan. Green Day adalah satu dari sedikit itu. Bukan sekadar bertahan dengan karya medioker, mereka membuat pencapaian yang tak terduga, khususnya bagi band-band yang dicap cuma memainkan tiga akor ini.
Sepuluh tahun setelah Dookie, dan tiga album berikutnya, Green Day meluncurkan album American Idiot (2004) yang konseptual; layak disebut sebagai opera punk rock. Cerita album ini bersentral pada lagu panjang ”Jesus of Suburbia” dengan tokoh warga biasa Amerika Serikat. Satire politik, khususnya sindiran untuk kebijakan Presiden George W Bush, jadi benang merahnya.
Lagu-lagunya adalah sintesis sosial politik di era itu dan sebelumnya seperti perang Irak dan serangan 11 September. Nomor ”Wake Me Up when September Ends” masih lantang terdengar di setiap bulan itu hingga sekarang.
Album ini menyabet kategori Album Rock Terbaik di ajang Grammy. Majalah Rolling Stone menempatkannya sebagai salah satu dari 500 album terpenting sepanjang masa. Album ini juga dialihwahanakan menjadi pertunjukan musikal di pentas Broadway. Gengsinya setara dengan karya opus David Bowie, Ziggy Stardust, ataupun The Wall milik Pink Floyd.
Baca juga: Sepultura, 31 Tahun Kemudian
Tanpa pretensi
Album Dookie dan American Idiot adalah mutiara di antara katalog Green Day. Mereka pernah bereksperimen memainkan gaya musik lain, memodifikasi corak punk rock. Album Nimrod (1997), misalnya, terdengar lebih santai dan kalem. Sementara eksplorasi lebih jauh menjamah synth pop terdengar di album Father of All Motherf*ckers (2020).
Album keempat belas, Saviors, yang resmi meluncur 19 Januari 2024 dibikin tanpa pretensi berlebih. ”Kami cuma ingin masuk studio dan main bareng. Kami sebelumnya sudah saling berkirim pola nada. Kami mengembangkannya dari situ,” kata Dirnt.
Ikatan kimiawi trio ini tak meluntur karena masih latihan bareng rutin sepekan sekali. Itu makin terbantu dengan kembalinya Rob Cavallo di meja produser. Dulu, Cavallo turut menangani Dookie dan American Idiot. Keempat pria paruh baya ini seolah menapak tilas menyusuri kenangan otot dan otak ketika menggarap dua album itu. Makanya, Saviors terdengar seperti babak lanjutan American Idiot yang dulu dimulai Dookie.
Kami cuma ingin masuk studio dan main bareng.
Album dibuka dengan nomor ”The American Dream is Killing Me”. Dari judulnya saja sudah bisa diduga ini satire sosial politik. Menurut mereka, ”impian Amerika” yang digemakan pemerintah berdekade lalu kini tak lagi relevan. Pemerintah kepayahan memenuhi kesejahteraan warganya, termasuk soal tempat tinggal dan lapangan kerja.
Ini tersirat di larik ”People on the street/unemployed and obsolete” yang kira-kira terjemahan bebasnya berbunyi, ”orang-orang di jalan/tak bekerja dan merana.” Armstrong berulang kali menyerukan ”the American Dream is killing me”, seolah-olah impian Amerika telah berubah menjadi pencabut nyawa.
”Di California, aku melihat tunawisma di jalanan, juga orang-orang yang tak memiliki pilihan hidup. Biaya hidup naik, dan itu menyebabkan kekacauan dan depresi. Lagu itu merefleksikan impian Amerika yang sekarat,” ucap Armstrong kepada radio NPR. Di tahun 1970-an, katanya, ayahnya yang sopir truk dan ibu pelayan masih sanggup membesarkan enam anak dan membeli rumah. ”Sekarang, itu rasanya mustahil terjadi.”
Satire di lagu itu makin lucu di lagu ”Strange Days are Here to Stay”. Di sini, Green Day seperti kewalahan melihat perubahan dunia—menyebutnya sebagai hari-hari yang janggal. Setengah kelakar, kejanggalan itu terwakili dalam frasa ”nenek mabuk fentanyl”, dan ”Gen Z membunuhi baby boomer”. Armstrong menyerah memahami kejanggalan itu dengan berucap, ”aku tak melihat ini ujungnya seperti apa”; pesimisme yang terjaga sejak ia menyatakannya di lagu ”Armatage Shanks” dari album Insomniac (1995).
Di California, aku melihat tunawisma di jalanan, juga orang-orang yang tak memiliki pilihan hidup. Biaya hidup naik, dan itu menyebabkan kekacauan dan depresi.
Selain satire sosial politik, di album ini Armstrong menulis lagu tentang pendewasaan—atau sebut saja penuaan—misalnya di nomor balada ”Father to a Son”. Lagu lainnya, ”Dilemma”, menggambarkan menjadi tua bukan perkara gampang. Lagu ini dibuka dengan sapaan, ”Welcome to my problems.”
”Aku pernah berhenti minum alkohol selama lima tahun. Lalu suatu ketika aku merasa ingin (minum) lagi. Lalu, aku angkat botol, dan ketagihan lagi. Padahal, aku ingin berhenti karena ini memengaruhi hubunganku dengan orang terdekat,” kata Armstrong.
Ah, dilema semacam itu tak terjadi dalam lagu ”Geek Stink Breath” keluaran 1995 yang menceritakan betapa mendebarkannya pakai amfetamin. Dalam dunia yang berubah, usia bertambah, Green Day masih resah.
Baca juga: ”Kambing Hitam” Behemoth di Rock in Solo