Hak Cipta dan Infrastruktur Ganjal Industri Layar
Indonesia punya potensi ekonomi besar dalam industri film, yang bisa berkembang dengan beberapa syarat. Apa saja itu?
Industri layar Indonesia punya potensi besar meningkatkan pendapatan ekonomi sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan di masa mendatang. Namun, kedua hal ini baru bisa benar dinikmati setelah sejumlah persyaratan dan kondisi terpenuhi, antara lain berupa kepastian hukum terkait hak cipta dan infrastruktur.
Masalahnya, hingga saat ini industri layar Indonesia, yang mencakup film, animasi, video, dan televisi, masih mengalami banyak masalah. Karut-marut diyakini masih terjadi di beberapa hal, salah satunya terkait regulasi sekaligus penegakan aturan hukum, semisal terkait hak cipta.
Baca juga: Perlawanan Seorang Gadis lewat Kretek
Selain itu, masih terbatasnya infrastruktur pendukung, tenaga kerja terampil sesuai kebutuhan, kurangnya definisi dan ruang lingkup, serta pendanaan untuk proyek film independen. Semua hal itu merupakan hasil pengkajian yang digagas dan didukung platform layanan streaming berbasis langganan (OTT) Netflix.
Temuan itu mengemuka berdasarkan hasil kajian yang diadakan dengan mekanisme kerja sama antara kantor akuntan publik PwC Indonesia serta Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LPEM FEB UI). Studi tersebut dipublikasikan pada Kamis (1/2/2024) malam.
”Kami memberanikan diri melakukan studi ini bekerja sama dengan rekan-rekan kami di PwC Indonesia dan LPEM FEB UI. Setelah setahun, ada banyak proses kami lakukan, mulai dari FGD (diskusi kelompok terfokus) dan interview. Harapannya, semoga angka-angka dan potensi yang dihasilkan bisa jadi batu loncatan untuk men-drive conversation (lebih lanjut),” ujar Direktur Kebijakan Publik Netflix Asia Tenggara Ruben Hattari.
Baca juga: Relaksasi Beragama lewat Film
Seperti diwartakan, sepanjang tahun lalu industri layar di Indonesia mampu berdampak signifikan pada perekonomian Indonesia. Hal itu tampak pada total output yang dihasilkan senilai 8,2 miliar dollar AS atau setara Rp 130 triliun.
Angka itu setara kontribusi terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) negara sebesar 5,1 miliar dollar AS atau setara Rp 81 triliun. Tak hanya itu, sepanjang tahun 2022 ada 387.000 orang yang terserap dalam lapangan pekerjaan di industri ini.
Hingga tahun 2027 diperkirakan industri layar Indonesia juga akan tumbuh 6,13 persen (2023-2027). Hal itu berarti bisa menghasilkan potensi total output ekonomi sebesar 9,8 miliar dollar AS, setara Rp 156 triliun.
Dengan begitu, nilai tambah bruto (NTB) yang didapatkan sebesar 6,1 miliar dollar AS, setara Rp 98 triliun terhadap PDB, dan juga 616.000 tambahan pekerjaan setara penuh waktu.
”Kontribusi kami dalam hasil studi ini cukup searah dengan komitmen Netflix di Indonesia. Salah satunya untuk meningkatkan kualitas serta jumlah konten yang dihasilkan dari negeri ini. Selama ini, kami sudah meluncurkan sejumlah project film (orisinal Netflix) yang lumayan sukses, seperti The Big 4 (2022) dan baru-baru ini Gadis Keretek (2023),” tambah Ruben.
Pada akhir 2022, film The Big 4 masuk 10 besar Netflix global dan ditonton selama 16,4 juta jam. Adapun serial Gadis Kretek masuk 10 besar Neflix global dan ditonton selama 16,8 juta jam per Desember 2023 lalu.
Indonesia dengan budayanya yang majemuk memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa serta 2 juta tahun sejarah. Semua itu bisa menjadi (seolah) sumur yang tak akan pernah habis (airnya). Bayangkan, semua tadi bisa menjadi sumber untuk berkreasi dan tak akan pernah ada habisnya. Pangsa pasarnya pun bukan hanya Indonesia.
Dalam diskusi, Staf Khusus Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Alex Sihar menyebut pentingnya menentukan dan menetapkan pendefinisian industri layar di Indonesia untuk memudahkan. Dengan begitu, menurut dia, semua pihak akan dapat dengan mudah ke depan membahas seberapa luas yang akan dijangkau terkait isu budaya layar (screen culture) ini.
”Yang namanya OCC (konten terkurasi daring) itu perputaran ekonominya kita enggak tahu. Perputaran (uang) di Tiktok memangnya berapa setahun? Yang dirilis, kan, cuma yang Tiktok, tapi yang bayar, misalnya buzzer? Jadi, harus jelas tentukan definisi, batasannya, bagaimana kontribusinya, atau seperti apa multiplier effectnya,” ujar Alex.
Sementara itu, menurut M Amin Abdullah, Direktur Perfilman, Animasi, dan Televisi Kemenparekraf, ekonomi kreatif seharusnya menjadi ideologi politik kebijakan kebudayaan di era reformasi. Hal itu mendapat dukungan pula dari Judith J Dipodiputro, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Promosi Badan Perfilman Indonesia.
Baca juga: Menjual Gagasan di Busan
Menurut Judith, sejak tidak lagi bisa mengandalkan pendapatan dari industri energi, seperti minyak dan gas bumi, Indonesia harus mampu mencari sumber pendapatan lain untuk bisa bertahan. Industri kreatif bisa menjadi salah satu pilihan meyakinkan, apalagi mengingat Indonesia memiliki modalitas yang sangat besar terkait hal itu.
”Indonesia dengan budayanya yang majemuk memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa serta 2 juta tahun sejarah. Semua itu bisa menjadi (seolah) sumur yang tak akan pernah habis (airnya). Bayangkan, semua tadi bisa menjadi sumber untuk berkreasi dan tak akan pernah ada habisnya. Pangsa pasarnya pun bukan hanya Indonesia,” tuturnya.
Dari situ Judith juga menegaskan bahwa industri perfilman bakal bisa menjadi pengganti industri minyak dan gas bumi sebagai sumber pendapatan. Namun, untuk bisa seperti itu pemerintah dituntut punya komitmen dan keinginan politik serius, termasuk dalam hal investasi dan bankability.
Lebih lanjut terkait investasi, dari hasil studi disebutkan beberapa hal yang bisa dilakukan terutama oleh pemerintah lewat kebijakan-kebijakannya. Semisal dengan menawarkan skema insentif berupa insentif pajak ataupun cash rebate.
Dengan begitu, industri layar di Indonesia bisa menjadi lebih menarik sebagai tujuan investasi. Selain itu, pemerintah juga bisa memfasilitasi penawaran hibah dan sponsor terafiliasi kepada para pelaku industri lokal. Sejumlah negara tetangga di ASEAN dinilai jauh lebih unggul terkait isu ini.
Terkait insentif cash rebate, Thailand diketahui telah melakukan kebijakan stimulus dan bahkan meningkatkannya dari 15 persen menjadi 30 persen, maksimal 75 juta baht Thailand atau setara Rp 32 miliar. Pemerintah Singapura menawarkan potongan hingga 40 persen melalui skema bantuan produksi yang diawasi Infocomm Media Development Authority (IMDA).
Baca juga: Pulang Membawa Perubahan
Sementara Malaysia lewat kebijakan Insentif Film di Malaysia (FIMI) memberikan cash rebate sebesar 30 persen untuk produksi beranggaran minimal 5 juta ringgit Malaysia, Rp setara 16,7 miliar. Syaratnya, lokasi pengambilan gambar harus di Malaysia dan produksi dilakukan bersama produser di sana.