Lukisan Kaca Menanti Hidup Kembali
Seni lukis kaca yang tumbuh banyak di kalangan rakyat jelata juga menunjukkan seni itu milik siapa saja.
Sekitar 300 lukisan kaca, sebagian besar karya anak negeri, memenuhi dinding ruang pamer. Beberapa sampai menempati dinding kamar kecil dan dapur kafe. Inilah artefak lukisan kaca bersejarah yang pernah memasuki masa keemasan pada periode 1970 sampai 1990-an dan kini menanti dihidupkan kembali.
Lukisan-lukisan kaca itu dipamerkan di Galeri Dia.Lo.Gue, Kemang, Jakarta, dalam pameran bertajuk Cerita Kaca-Perjalanan Seni Lukis Kaca Indonesia. Pameran berlangsung 3 Februari hingga 19 April 2024.
”Lukisan-lukisan kaca kita bisa dilihat titik awalnya dari Eropa, lalu dibawa ke China dan masuk ke wilayah Nusantara. Diperkirakan pada 1930-an lukisan kaca mulai populer di Nusantara sampai 1990-an,” tutur Chabib Duta Hapsoro, salah satu kurator pameran Cerita Kaca, Sabtu (3/2/2024).
Pameran dibuka oleh aktris Dian Sastrowardoyo. Dian juga pencinta lukisan kaca. Saat ini ia mengoleksi sedikitnya 12 lukisan kaca yang dibeli di pasar barang antik Triwindu, Solo.
Dalam sambutan pembukaannya, Dian mengungkapkan, perjalanan seni lukis kaca di Nusantara menunjukkan seni adalah dialog kebudayaan yang akan terus berkembang menyesuaikan zamannya. Seni lukis kaca yang tumbuh banyak di kalangan rakyat jelata juga menunjukkan seni itu milik siapa saja. ”Lukisan kaca menunjukkan adanya demokratisasi seni,” ucap Dian.
Lukisan kaca menunjukkan adanya demokratisasi seni.
Saat pembukaan ini, para tamu menyimak narasi lukisan kaca dari sisi sejarah dan perjalanannya yang panjang. Kurator pameran Hermawan Tanzil dan Chabib Duta Hapsoro memajang lini masa lukisan kaca yang bermula dari Eropa.
Titik mulanya dari era Perserikatan Dagang Hindia Timur (VOC) dari Belanda. VOC memperdagangkan banyak produk dari Eropa ataupun dari Asia pada masa itu. Ada di antaranya produk lukisan kaca.
Salah satu produknya dari Venesia, Italia, yang diperdagangkan VOC untuk China daratan. VOC pada masanya menguasai perdagangan di berbagai tempat, termasuk Jawa. Pada masa monopoli di Jawa, VOC pernah memberi kesempatan kepada para pedagang China di Batavia untuk membuka perdagangan dengan pedagang dari China daratan. Salah satu produk perdagangannya berupa lukisan kaca. Saat itu, lukisan kaca tergolong benda mewah.
Tak hanya dari China daratan, lukisan kaca dari Persia dan Jazirah Arab dengan tema peradaban Islam lantas masuk Batavia pula. Perdagangan lukisan kaca mulai menyebar.
Kota pelabuhan Cirebon disebut-sebut mulai banyak didatangi seniman lukisan kaca dari China. Tidak ketinggalan para pelaku seni di lingkungan Keraton Cirebon turut memproduksi lukisan-lukisan kaca. Gaya lukisannya mulai berubah. Di situ mulai terjadi akulturasi peradaban China, Sunda, Hindu, Buddha, dan Islam. Inilah tema lukisan-lukisan kaca yang berkembang di Nusantara sampai sekarang.
Kemudian, masyarakat di luar Keraton Cirebon banyak yang memproduksi lukisan kaca pula. Gaya seni lukis kaca mereka dikenal banyak dengan motif mega mendung, wadasan, atau kaligrafi Islam.
Baca juga: Ilusi Nyata Tulus Warsito
Menyebar
Dari Cirebon, seni lukisan kaca terus menyebar ke sejumlah wilayah lain di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Persebaran lukisan kaca di Bali memiliki kisah tersendiri.
Kurator pameran menyebutkan, pada era 1840-an wilayah pesisir Bali utara mulai dikuasai Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Perdagangan di Bali utara mulai terbuka, di antaranya mulai masuk lukisan kaca yang diminati bangsawan lokal. Lukisan kaca bertema Putri China banyak diminati.
Pada 1927, seorang dalang wayang kulit bernama I Ketut Negara, yang juga disebut Jro Dalang Diah, dari Desa Nagasepaha, Singaraja, Bali, membuat lukisan kaca dengan tema wayang untuk pertama kali. Kemampuan Jro Dalang Diah diikuti warga lain, seperti I Kadek Suradi, I Nengah Silib, I Ketut Samudrawan, dan I Ketut Santosa.
Lukisan kaca mereka banyak tersebar ke tangan para bangsawan di Singaraja ataupun kolektor benda seni sampai sekarang.
Pada 1974, di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung (ITB), digelar Pameran Seni dan Budaya Cirebon. Pameran ini membuka jalan lukisan kaca memasuki masa keemasannya.
Para pejabat pemerintahan mulai banyak mengoleksi lukisan kaca. ”Ini membuktikan, melalui peran mereka, seni lukis dengan medium kaca yang sekarang makin surut sebenarnya bisa dihidupkan kembali,” kata Hermawan Tanzil.
Titik awal pameran pada 1974 itu tak lepas dari pertemuan seniman grafis Haryadi Suadi dengan pelukis kaca Rastika dari Gegesik, Cirebon, pada 1972. Keduanya saling memberikan pengaruh dalam mengembangkan seni lukis kaca di kemudian hari.
Menyurut
Pameran Cerita Kaca-Perjalanan Lukisan Kaca Indonesia menghadapi situasi karya seni rupa dengan medium kaca yang kini terus menyurut. Pameran ini menggugah supaya seni lukis kaca berkibar kembali dan diminati para apresiator seni rupa.
”Keadaan sekarang mulai berubah. Tidak banyak lagi kolektor yang mau berburu lukisan kaca. Saat ini di rumah saya masih menumpuk sekitar 30 lukisan kaca. Semoga ada yang mau mengoleksi,” ujar Kusdono Rastika (42), sambil duduk di kursi rodanya, di sela pembukaan pameran Cerita Kaca.
Baca juga: Kisah Dua Galeri Indonesia di Singapura
Kusdono adalah anak Rastika, maestro pelukis kaca Cirebon. Ia mewarisi kemampuan ayahnya dalam melukis di medium kaca. Di tengah perubahan zaman seperti sekarang, Kusdono masih memegang teguh keyakinannya bahwa seni lukis kaca akan tetap diminati.
”Melukis dengan medium kaca itu dengan cara terbalik. Ini yang saya nikmati selama ini sehingga saya masih meneruskan untuk melukis dengan medium kaca,” tutur Kusdono.
Pameran Cerita Kaca menampilkan satu bidang panel yang mempertunjukkan puluhan lukisan karya Rastika. Hermawan mengumpulkan lukisan-lukisan itu dari sejumlah kolektor, di antaranya dua lukisan kaca berjudul ”Batara Guru” (1975) dan ”Ganesha” (1975) koleksi perupa AD Pirous.
”Rastika melukis kedua karya ini atas arahan seniman AD Pirous dan berhasil mewujudkannya dengan sangat baik. Ini menunjukkan kemampuan seni seorang pelukis kaca sebetulnya cukup tinggi,” kata Hermawan.
Pameran Cerita Kaca menampilkan karya seniman, antara lain, Bahendi, Elang Aruna, H Winta, Hardiono, Haryadi Suadi, Hasri, Kawi, I Ketut Samudra, I Ketut Santosa, Ketut Suamba, Jro Dalang Diah, Ketut Sekar, Kusdono, Maryono, Ni Kadek Nurining, Ning Istiariningsih, Raden Saleh, Raden Sugro, Rastika, Rina Kurniyati, Studio Adjib, Sulasno, Waged, Yadi Umbara, dan sejumlah seniman anonim. Dari sini, kita berharap, lukisan kaca janganlah tinggal cerita.