Dejima, Gerbang Modernitas Jepang
Jepang berevolusi setelah berhubungan dengan dunia luar. Sebelumnya, Jepang mengisolasi diri selama dua dekade.
Jepang menjalin hubungan dengan dunia luar setelah lebih dari 250 tahun menutup diri. Hal itu membuka keran modernitas yang akhirnya mengantar Jepang menjadi negara maju. Namun, sebelum kebijakan itu muncul, cikal bakal modernitas lebih dulu tumbuh di Dejima.
Dejima di masa lampau adalah pulau buatan yang sibuk. Banyak orang berlalu lalang. Ada yang sibuk memanggul barang keluar-masuk gudang. Ada yang sibuk menimbang komoditas. Ada pula yang sibuk mengemas barang dalam peti-peti kayu sebelum dibawa ke kapal dagang.
Itulah Dejima, satu-satunya tempat perdagangan internasional resmi di Jepang pada Zaman Edo (1603-1867). Pulau berbentuk kipas itu memiliki luas sekitar 15.000 meter persegi. Dejima dibangun pada tahun 1636 di pelabuhan yang ada di kota Nagasaki, Prefektur Nagasaki.
Secara geografis, Jepang yang adalah negara kepulauan yang dikelilingi laut sebetulnya cocok menjadi tempat singgah kapal-kapal dagang asing. Perdagangan internasional berpotensi mekar di sana. Namun, hal itu tak terjadi.
Pemimpin Jepang pada masa itu, Shogun Tokugawa, menerapkan kebijakan untuk mengisolasi Jepang dari dunia luar. Kebijakan isolasi atau sakoku itu berlangsung selama lebih dari 250 tahun. Walau demikian, Shogun Tokugawa membuat pengecualian untuk Dejima. Interaksi dan perdagangan internasional hanya boleh terjadi di Dejima.
Sejarah menulis bahwa sakoku bertujuan untuk mempertahankan kepentingan nasional Jepang. Menurut warga Jepang, Shogun Tokugawa menerapkan kebijakan ini untuk mencegah kolonialisme dari bangsa asing. Sakoku juga bertujuan untuk menekan penyebaran agama Kristen oleh misionaris Portugis.
Menurut catatan Reuters, Jepang akhirnya melarang agama Kristen pada tahun 1614. Pemerintah lantas memisahkan permukiman orang Portugis dan warga Jepang. Orang Portugis ditempatkan di Dejima, pulau yang hanya bisa diakses dengan satu jembatan kayu besar di dekat pintu gerbang.
Baca juga: Kiamat di Nagasaki 79 Tahun Lalu
Waktu berlalu dan orang Portugis akhirnya keluar dari Jepang. Pada tahun 1641, atau dua tahun setelah kepergian Portugis, Belanda datang melalui Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Jepang berperan sebagai importir dan eksportir selama perdagangan internasional berlangsung. Salah satu komoditas yang diekspor Jepang adalah perunggu. Perunggu tersebut ditambang dari sejumlah daerah, lalu dibawa ke Osaka untuk diolah dan dilebur menjadi perunggu batangan seberat 300 gram. Perunggu yang telah siap lantas dibawa ke Dejima untuk diekspor dalam kotak-kotak kayu besar.
Selain perunggu, Jepang juga mengekspor pernis dan hasil tambang lain, seperti perak. Sementara itu, Jepang mengimpor berbagai komoditas, seperti sutra, kulit hewan, dan gula.
Dua ratus tahun
Perdagangan antara Jepang dan VOC berlangsung sekitar 200 tahun. VOC berperan penting karena merekalah satu-satunya penghubung Jepang dengan Eropa. Mereka pula yang menjembatani interaksi Jepang dengan teknologi, kebudayaan asing, dan perdagangan. Dejima pun menjadi gerbang utama pertukaran informasi dari dunia luar.
”Nagasaki adalah pintu utama untuk memasuki Jepang dan sejak dulu berkembang dengan kedatangan bangsa asing,” ucap Direktur Divisi Kebudayaan, Pariwisata, dan Urusan Internasional Prefektur Nagasaki Sakaguchi Ikuhiro, Kamis (25/1/2024), di kota Nagasaki.
Pertukaran budaya pun terjadi di Nagasaki dan Dejima. Saat kedatangannya ke Jepang pada abad ke-16, Portugis membawa pula budaya kulinernya dan memperkenalkan castella, bolu khas Portugis. Bolu yang terbuat dari gula dan telur ini lantas diadopsi Jepang, lalu menjadi makanan populer hingga kini. Castella bahkan menjadi salah satu oleh-oleh khas Nagasaki.
Adapun titik balik produksi makanan manis di Nagasaki terjadi pada abad ke-17. Pada masa itulah Nagasaki mengimpor gula dari Belanda dan China. Nagasaki menjadi salah satu daerah dengan persediaan gula terbanyak daripada daerah lain di Jepang. Teknik-teknik pembuatan makanan manis (nanban sweets) pun turut berkembang dengan melimpahnya gula di Nagasaki.
Orang-orang yang berdagang di Nagasaki lantas belajar teknik pembuatan makanan manis dan membawa gula ke luar daerah. Mereka melintasi jalan raya kuno, Nagasaki Kaido, yang kemudian disebut Jalan Gula. Kuliner bercita rasa legit pun menyebar ke seluruh Jepang.
Selain makanan manis, di Nagasaki pun berkembang berbagai sajian fusi yang diadaptasi dari bangsa lain, salah satunya sara udon. Sara udon adalah mi yang digoreng kering dan disajikan dengan siraman kuah boga bahari. Kuliner ini merupakan hasil akulturasi dari China. Makanan serupa bisa ditemukan di Indonesia dengan berbagai nama, seperti ifumi dan mi titi (Makassar).
Ada keinginan berkomunikasi dengan warga asing walau dengan bahasa isyarat.
Perdagangan internasional juga membuat warga lokal mengenal bahasa asing. Sakaguchi mengatakan, dulu ada sejumlah juru bahasa asing yang umumnya bukan penduduk Nagasaki. Di sisi lain, waktu itu tak banyak warga lokal yang bisa berbahasa asing. Mereka akhirnya berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
”Karena sudah terbiasa berdagang, penduduk Nagasaki memiliki sikap toleran terhadap warga asing. Ada keinginan berkomunikasi dengan warga asing walau dengan bahasa isyarat,” tutur Sakaguchi.
Baca juga: Jepang Jadi Negara Kelima yang Sukses Mendarat di Bulan
Isolasi berakhir
Dalam pemaparan daring mengenai seluk-beluk Jepang, Executive Managing Director Strategic International Management Associates (SIMA) Profesor Hideo Kimura mengatakan, setelah lebih dari 200 tahun mengisolasi diri, Jepang melihat bahwa negaranya perlu belajar teknologi. Teknologi diyakini bakal membawa transformasi positif. Jepang pun mengakhiri sakoku dan membuka diri pada tahun 1859.
Setelah itu, Jepang berevolusi dan menjalani era industrialisasi. Jepang pun kini menjadi salah satu negara dengan teknologi termutakhir. Berbagai perusahaan teknologi lahir di Jepang, misalnya Panasonic, Sony, Nintendo, dan Fujitsu. Industri otomotif pun tumbuh, bahkan menjadi salah satu produk ekspor unggulan Jepang.
Jepang juga maju di bidang sains. Dengan sains dan teknologi ini, Jepang berhasil menjadi negara kelima di dunia yang mendarat di bulan setelah Amerika Serikat, Uni Soviet, China, dan India. Wahana robot luar angkasa Jepang tiba di orbit Bulan pada 25 Desember 2023, kemudian menyentuh permukaan Bulan pada 20 Januari 2024 (Kompas.id, 20/1/2024).
Jepang juga tumbuh menjadi negara dengan perekonomian yang kuat. ”Negeri Matahari Terbit” ini bahkan pernah tercatat sebagai negara dengan ekonomi terkuat nomor tiga di dunia. Walakin, Jerman akhirnya menggeser Jepang dari posisi itu pada awal tahun 2024. Produk domestik bruto (PDB) Jepang pada 2023 tercatat 4,21 triliun dollar AS, sementara PDB Jerman 4,46 triliun dollar AS (Kompas, 16/2/2024).
Sekian abad berlalu setelah sakoku dicabut dan selama itu pula Jepang berevolusi. Hubungan dengan dunia luar menghasilkan akulturasi hingga perkembangan teknologi. Hal tersebut pada akhirnya memberi warna baru bagi Jepang.
Baca juga: Jerman Gusur Jepang sebagai Negara Ekonomi Terkuat Nomor 3 Dunia