Emosi, Sensualitas, dan Rumus Lama Sutradara Guadagnino
Premis yang biasa-biasa saja, ketika digarap dengan baik, tetap mampu menghadirkan film menarik.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·3 menit baca
Tema film memang itu-itu saja, terutama jika menyangkut asmara. Namun, jika ditulis dengan baik dan dieksekusi dengan bagus, film bertema asmara tetap menarik. Luca Guadagnino lewat film Challengerstampaknya ingin membuktikan hal itu.
Premis film ini sangat sederhana. Bercerita tentang tiga remaja petenis, Patrick Zweig (Josh O’Connor), Art Donaldson (Mike Faist), dan Tashi Duncan (Zendaya), yang terlibat cinta segitiga. Patrick dan Art, yang bersahabat baik itu, sama-sama jatuh cinta kepada Tashi, dan Tashi menyukai keduanya. Tashi akhirnya menikah dengan Art setelah putus dari Patrick. Masa lalu mereka itu menjadi bahan bakar drama ketika Patrick dan Art bertemu dalam sebuah kejuaraan. Art dan Tashi berjuang menyingkirkan Patrick. Namun, Tashi mempunyai agenda tersembunyi terhadap Patrick.
Dengan premis sesederhana itu, film ini berpotensi jatuh pada drama ringan yang membosankan. Sebab, premis seperti itu, tentang cinta segitiga atau cinta yang belum kelar, terlampau sering digunakan. Bahkan dalam sinetron atau film-film televisi (FTV).
Akan tetapi, Guadagnino hanya menjadikan premis sebagai tulang punggung cerita. Dia kemudian memainkan detail-detail yang menguras emosi lewat dialog, gestur, dan ekspresi. Setiap detail dibangun dengan kuat sehingga menciptakan balon-balon emosi yang siap meletus kapan saja. Guadagnino menancapkan kesan itu setidaknya bila kita lacak dalam film-film dia sebelumnya, misalnya Call Me by Your Name (2017) yang berkisah tentang cinta sesama jenis yang tragis atau Bones and All (2022) yang masuk ke wilayah tabu-tabu kemanusiaan.
Sebagai sutradara yang dikenal mahir membuat film-film berkarakter kompleks, gambar mewah, dan erotis, Guadagnino mengukuhkan itu semua dalam Challengers. Di sinilah letak daya tarik film ini, bukan pada cerita, melainkan pada visual dan gambar sensual. Rumus lama Guadagnino itu masih efektif.
Tubuh-tubuh atletis telanjang dada bermandi keringat di tengah terpaan sinar matahari siang muncul berulang kali. Gambar itu makin hiperrealis karena disorot secara close up dan dalam gerak lambat. Tetesan keringat yang semestinya jatuh ke tanah dalam waktu sedetik diperlambat hingga setengah menit.
Gambar-gambar itu diperkaya dengan variasi angle yang tak biasa dilihat mata. Dalam duel tenis antara Patrick dan Art, gambar diambil dengan sudut pandang katak sehingga langkah-langkah kaki dua petenis itu seperti terbang di udara karena mengangkangi kamera.
Belum lagi adegan-adegan panas antara Tashi dan Patrick atau antara Tashi, Patrick, dan Art. Bayangkan Tashi duduk di tubir ranjang diapit Patrick dan Art di sebuah kamar hotel. Gambar seperti ini menjadi salah satu kekhasan Guadagnino.
Film dengan latar olahraga tenis memang cenderung membosankan. Sebutlah Battle of the Sexes (2017) atauStrokes of Genius (2018). Untuk menghindari kebosanan tersebut, selain memainkan kemewahan gambar dan sensualitas, Guadagnino mengeksplorasi sedemikian rupa alur cerita. Dia menggunakan alur maju mundur dengan poros cerita masa kini, lalu ditarik ke belakang, kemudian maju, dan mundur lagi, sebelum kembali maju.
Bahkan, dia berani bereksperimen dengan menggunakan alur di dalam alur. Maksudnya, dalam salah satu alur mundurnya, dia memajukan sedikit linimasa dalam film sebelum maju lagi ke linimasa saat ini. Ini alur yang tak biasa dan berisiko mengaburkan cerita. Namun, sang sutradara sudah mengantisipasi itu dengan memberikan distingsi penampilan masing-masing karakter sebagai penanda waktu.
Formulasi itu terbukti berhasil. Dalam sepekan pertama, film yang menghabiskan anggaran 55 juta dollar AS ini mulai tayang di Indonesia pada 26 April 2024. Kini, film tersebut telah meraup 25,2 juta dollar AS. Bisa jadi, dalam dua pekan ke depan, film ini mencapai tiga kali lipat daripada biaya produksinya.