Penyanyi Taylor Swift merilis album ”The Tortured Poets Department”. Album anyar yang kembali mencetak sejarah baru.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·4 menit baca
Adagium manusia tak sempurna memang benar adanya. Bahkan, seorang Taylor Swift pun tak bisa memperoleh semua sesuai dengan inginnya. Namun, karena hal ini, Swift berhasil menjadi magnet bagi banyak orang lintas usia. Album barunya, The Tortured Poets Department, juga bisa jadi berbeda rasanya jika jalan hidupnya paripurna.
Kisah cinta adalah sandungan besar bagi Swift. Di balik kesuksesannya menjadi idola dan mengukir prestasi, cerita hubungan romantisnya kerap merana. Walau nyatanya ia membalikkannya menjadi amunisi. Tanpa memori luka perjalanan cintanya, Swift bisa jadi tak seproduktif sepanjang belasan tahun ini.
Di albumnya kali ini, melalui lagu ”I Can Do It With A Broken Heart”, ia menjawab hal ini dengan menuliskan: ”I cry a lot/ but I am so productive/ it’s an art/ you know/ you’re good when you can even do it with a broken heart//”
Memang apabila dicermati, nyaris semua albumnya memiliki konten lagu patah hati dari pengalaman pribadinya. Bedanya, album terbarunya ini sesuai dengan judulnya tentang penulis puisi yang tersiksa, berisi penuh tentang patah hati dan rasa tersisihnya.
Lewat 31 lagu yang dirilis pada 19 April 2024, Swift hadir dengan kerapuhannya. Alih-alih mengutuki sang mantan seperti yang biasa dilakukan di album sebelumnya, Swift di sini fokus pada dirinya dengan permainan diksi yang lebih halus dan dewasa, tapi menusuk. Seperti dalam ”So Long, London” yang sepertinya jelas ditujukan kepada mantan kekasihnya Joe Alwyn, aktor Inggris, yang menjalin hubungan selama enam tahun terakhir ini.
Dalam lagu tersebut, Swift menuliskan, ”For so long, London/ had a good run/ a moment of warm sun/ but I’m not the one/ So long, London/ stitches underdone/ two graves/ one gun/ you’ll find someone//”
Di tengah kematangan lirik, sayangnya dari aransemen musik, kolaborasi Swift bersama Jack Antonoff dan Aaron Dessner pada album ini tak banyak menunjukkan kebaruan. Sebagian lagu terdengar mirip dengan nomor yang telah rilis pada album-album sebelumnya.
”Fresh Out The Slammer”, misalnya, mengingatkan pada ”Cruel Summer” dari album Lover (2019) atau ”Blank Space” dari album 1989 (2014) yang liriknya dinyanyikan dengan ketukan staccato. Ada juga tembang ”The Tortured Poets Department” yang mirip dengan beberapa lagu di album Reputation (2017) atau Evermore (2020). Hanya aransemen musik di lagu-lagu barunya ini lebih terasa murung.
Tak masalah memang, Swift kali ini agaknya memang ingin meresapi luka dan dukanya ditinggal cintanya. Bukan semata-mata mengais popularitas lagi atau mencari-cari agar digemari.
Berbicara tentang murung, hampir keseluruhan lagu di The Tortured Poets Department ini menawarkan nuansa muram. Duet dengan Florence + The Machine dalam lagu ”Florida” yang disebut-sebut mengeluarkan sisi rock dari Swift pun tetap terasa sakit ketimbang marah. Kendati demikian, kerja sama keduanya menghasilkan lagu terbaik dalam album ini tanpa menihilkan ciri khas keduanya.
Begitu pula kolaborasi dengan Post Malone dalam lagu ”Fortnight” yang tetap memberikan ruang bagi rapper Amerika ini mengeluarkan sentuhannya. Lagu pembuka pada album baru Swift ini pun menduduki peringkat Billboard Hot 100.
Selain ”Fortnight”, ada 14 lagu dari album ini yang masuk chart Billboard, yaitu ”Down Bad”, ”I Can Do With A Broken Heart”, ”The Tortured Poets Department”, ”So Long, London”, ”My Boy Only Breaks His Favorite Toys”, ”But Daddy I Love Him”, ”Florida”, ”Who’s Afraid of Little Old Me”, ”Guilty as Sin?”, ”Fresh Out The Slammer”, ”Loml”, ”The Alchemy”, dan ”The Smallest Man Who Ever Lived”.
Sejarah Baru
Okupasi Swift pada peringkat tangga lagu ini mengulang sukses album Midnights (2022). Saat itu, lagu ”Anti-Hero” dan kawan-kawannya menguasai 10 besar chart Billboard selama beberapa minggu. Terbukti album Midnights menjadi Album of The Year pada Grammy Awards 2024.
Sementara itu, album The Tortured Poets Department ini memiliki babakan sejarah sendiri selain mendominasi tangga lagu. Album ini dalam minggu pertamanya telah terjual 2,61 juta kopi. Angka ini menjadi penjualan album tertinggi sepanjang sembilan tahun. Sebelumnya, pada 2015, album terakhir yang meraih penjualan album tertinggi adalah album 25 milik Adele dengan 3,48 juta kopi.
Total penjualan album Swift pada pekan pertama ini mengalahkan rekor dari albumnya sendiri yang direkam ulang, yaitu 1989 (Taylor’s Version) (2023) dengan penjualan sebanyak 1,65 juta kopi. Untuk streaming, Swift juga mencetak rekor dengan 891,3 juta streaming. Angka ini mengalahkan rekor yang dibuat Drake pada 2018 dengan 745,9 juta streaming.
Swift lagi-lagi menggebrak dunia dengan capaiannya. Tapi, sekali lagi, manusia tak ada yang sempurna. Swift juga seperti kita yang pernah terseok-seok patah hati dan berhak menjadi dirinya sendiri dengan berduka tanpa harus memikirkan pendapat sekelilingnya.