Perempuan Perupa, Letupan Karya dari Keseharian
Karya perempuan perupa hadir sebagai endapan dari rangkaian peristiwa yang dilakoni. Karya mereka lebih membumi.
Peran ganda perempuan perupa ternyata menyimpan kekuatan tersendiri. Ada letupan ketika mereka menghadirkan karya seni dari keseharian. Karya mereka hadir sebagai endapan dari rangkaian peristiwa yang dilakoni. Karya mereka lebih membumi.
Sebanyak 25 perempuan perupa kolektif Empu Gampingan menampilkannya dalam pameran bertajuk Tempatan di Galeri Nasional Indonesia Gedung D. Pameran ini berlangsung dari 30 April sampai 16 Mei 2024. Empu Gampingan merupakan komunitas perempuan perupa lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Perupa Retno Redwindsock (52), kelahiran Magelang, dalam keseharian memproduksi minuman yang difermentasi. Produknya terbagi menjadi minuman beralkohol dan tidak beralkohol. Ia melakoni pekerjaan ini sejak 2010 sampai sekarang.
”Awal mulanya, ketika 2009 saya bersama perupa Kana Fuddy Prakoso berpameran di Tunisia. Saya menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di sana dan mendapatkan bibit tanaman rosela untuk saya bawa pulang,” ujar Retno, yang menempuh program studi Desain Interior ISI Yogyakarta pada periode 1992–2001, Kamis (2/5/2024).
Retno berkarya dan menetap di Godean, Yogyakarta. Selain menekuni bidang seni rupa, Retno memiliki hobi menanam. Setiba di rumah, ia menyemai benih rosela dari Tunisia di halaman rumahnya.
Tempatan memiliki makna sebagai proses kreatif yang berdekatan dengan diri dan dilakukan dalam keseharian.
Beberapa saat kemudian rosela Tunisia itu bertumbuh lebat. Bunganya juga banyak dan memiliki ukuran yang lebih besar jika dibandingkan dengan jenis tanaman rosela yang tumbuh di rumahnya. ”Saat itu kami panen raya bunga rosela dari Tunisia,” ujar Retno.
Bunga rosela itu pun diolah menjadi sirup atau bahan seduhan seperti daun teh. Tidak lama berselang, sekitar awal 2010, Retno kembali berpameran di luar negeri, di Yunani. Seperti biasa, Retno suka sekali berjalan-jalan di tempat yang baru.
Di Yunani, Retno mendatangi sebuah kastil yang dipergunakan untuk produksi minuman fermentasi anggur (wine). Retno mengamat-amati dan belajar tentang proses pembuatan wine di situ.
”Setelah kembali ke Tanah Air, saya ingin segera menerapkan cara pembuatan anggur dengan sirup bunga rosela dari Tunisia. Saat itu saya masih memiliki banyak sirup rosela Tunisia dari panen raya,” ujar Retno.
Baca juga: ”The Queen of Pantat” Melata dari Desa ke Desa
Sirup rosela Tunisia memiliki kekhasan aroma dan rasa seperti wine. Tidak seperti aroma dan rasa bunga rosela setempat yang lebih kecut atau masam. Ia memproduksi minuman bunga rosela Tunisia dengan cara fermentasi yang menghasilkan produk berakohol dan tidak beralkohol, seperti kombucha atau ginger beer.
”Nama produk minuman yang saya bikin adalah Black Octopus Rosella. Ada kata octopus karena di dalam bunga itu seperti ada tentakel dan warnanya merah kehitam-hitaman. Jadinya, seperti tinta octopus atau cumi-cumi,” ujar Retno.
Seni instalasi
Jauh hari sebelum membawa pulang benih bunga rosela dari Tunisia, Retno memang gemar memproduksi minuman tradisional dari rempah atau jamu. Kemudian tebersit keinginan untuk memadukan produk minuman jamu itu dengan fermentasi bunga rosela tersebut.
”Ini yang kemudian saya tampilkan sebagai karya seni instalasi di dalam pameran Tempatan. Ada 36 botol yang berisi minuman empat varian bunga rosela dan jamu, kemudian saya susun di dinding dengan label dari lukisan saya,” kata Retno.
Keempat varian minuman perpaduan jamu dengan fermentasi bunga rosela itu meliputi Black Octopus Rosella, Miss Red, Fallen Angel, dan Strawberry of My Heart. Karya seni instalasinya bertajuk ”Indonesia Spice Up the World” (2024). Retno mengajak dunia untuk kembali merempah seperti dulu.
Susunan karya seni instalasinya di dinding ada sebanyak sembilan botol ditata secara berjajar. Ada empat baris. Retno memberikan sedikit catatan untuk karya seni instalasi botol kaca itu sebagai minuman ramuan fermentasi untuk kesehatan. Kemudian label pada botol tersebut juga sebagai karya seni visual yang dibuatnya.
Lebih lanjut, Retno menjelaskan, rempah Nusantara sudah dikenal sejak pelayaran bangsa Eropa pada 1512. Manfaat rempah sudah dikenal sebagai bumbu masakan, bahan minuman, penghangat tubuh, dan pengawet makanan. Di situ ada antimikroba dan antioksidan.
Masyarakat Indonesia sejak lama juga mengenal rempah sebagai andalan bahan pengobatan. Rempah dikemas sebagai minuman dan dikenal sebagai jamu.
”Generasi sekarang sudah berbeda. Ketika saya memproduksi dan memasarkan jamu, ini sulit diterima. Saya pun mengemasnya dengan perpaduan fermentasi bunga rosela Tunisia tadi,” ujar Retno.
Baca juga: Kursi-kursi Ekspresi Tubuh
Jamu menjadi warisan tradisional. Namun, jamu tergilas arus modernitas. Generasi terkini tidak menggemari jamu. Retno menyadari hal itu dan mengemas ”bungkus” lain. ”Sekarang ini kita dihadapkan pada persoalan bungkus-bungkus modernitas,” ujar Retno.
Frigidanto Agung selaku kurator pameran Tempatan melihat karya seni instalasi Retno sebagai karya seni yang berangkat dari persoalan keseharian yang ditekuni selama ini. Bagi Agung, ini menunjukkan ruang karya kreatif perempuan perupa yang mungkin berbeda dengan perupa laki-laki. Karya perempuan perupa lebih detail dan mengerucut pada persoalan yang dihadapi, sedangkan perupa laki-laki cenderung ke persoalan hidup yang lebih meluas.
”Itulah sebabnya, tajuk pameran ini sebagai Tempatan. Tempatan memiliki makna sebagai proses kreatif yang berdekatan dengan diri dan dilakukan dalam keseharian,” ujar Agung.
Di antara perempuan perupa dan perupa laki-laki sering diamati ada jurang perbedaan. Akan tetapi, bagi Agung, sebetulnya ada posisi kesetaraan dengan cara dan ruang yang berbeda.
Irene Agrivina dan Gilang W April menjadi kurator pendamping. Pada saat pembukaan pameran Tempatan, Irine mengemukakan, selain menjalani peran di bidang seni, perempuan perupa masih dibebani peran domestik rumah tangga.
”Hal ini berbeda dengan peran perupa laki-laki yang tidak pernah dibebani peran domestik seperti perempuan,” ujar Irine.
Plastik dan artifisial
Kedekatan karya perempuan perupa dengan keseharian ternyata juga bisa begitu beragam. Di dalam pameran ini perupa Ary Okta menampilkan karya seni instalasi yang diberi judul ”Artificial Thing” (Sesuatu yang Artifisial/Palsu).
Ary membuat instalasi kurungan ayam. Kurungan itu digantungi pot-pot tanaman. Pada awalnya, tanaman-tanaman yang digantungkan itu asli. Kemudian, dalam beberapa hari berikutnya, ada penggantian dengan tanaman palsu yang terbuat dari plastik.
Melalui karya ”Artificial Thing ” ini, saya ingin membicarakan segala sesuatu di sekitar kita sedang berubah menjadi palsu.
Ayam-ayam yang terkurung pun ternyata ayam palsu. Selama delapan tahun terkahir, Ary memilih bentuk patung ayam untuk mewakili ekspresi seninya. Patung-patung ayam itu disusun dengan plastik-plastik sampah.
Awal mulanya, Ary menemukan pengalaman pahit ketika membuka lahan di daerah Depok, Jawa Barat, untuk dijadikan studio dan ruang mengajarkan seni rupa bagi anak-anak. Tanah yang digali dipenuhi dengan limbah plastik. Komposisi tanah di permukaannya jauh lebih sedikit ketimbang plastik yang tidak mudah terurai di tanah.
Ary memikirkan hal itu dan berkeinginan mengurangi jumlah sampah plastik. Sejak itulah Ary selalu mengumpulkan limbah atau sampah plastik dan dijadikan patung-patung ayam. Di tempat itu pula Ary membentuk kelas anak-anak untuk belajar berseni rupa.
Para muridnya juga diajak untuk selalu membawa serta sampah plastik dari rumah masing-masing. Sampah plastik lalu diolah menjadi patung-patung ayam dan aneka bentuk lainnya.
”Melalui karya ’Artificial Thing’ ini saya ingin membicarakan segala sesuatu di sekitar kita sedang berubah menjadi palsu,” ujar Ary.
Perupa Bekti Istri menampilkan sebuah seni instalasi berbentuk sepeda unik yang diberi judu ”Nahkoda”. Sepeda itu dicetak dengan pengecoran resin. Roda bagian depan dibuat lebih besar daripada roda belakang. Di antara sadel dan setang terdapat wajan penggorengan. Ini simbol peran ganda dari pengendaranya, selain melaju dengan sepeda untuk mencapai suatu tempat tujuan, juga harus memasak di atas sepeda.
Bekti menyampaikan, perjuangan membutuhkan ilmu, kemauan, dan semangat untuk selalu maju. Tanpa ilmu dan semangat, tidak akan tercapai tujuan. Mengayuh membutuhkan pengetahuan untuk menentukan arah sekaligus menggerakkan roda kehidupan.
Dalam pameran ini masih banyak lagi karya perempuan perupa lain yang cukup mendalam dan menyentuh perasaan. Pameran Tempatan oleh kolektif Empu Gampingan menyuguhkan wacana seni rupa yang berpijak pada persoalan terdekat kita.