Kaligram Butet Bergenre Baru
Butet Kartaredjasa melalui pameran tunggal Melik Ngendong Lali menghadirkan kaligram genre baru.
Selain beraroma sindiran sarkastik, karya Butet Kartaredjasa di pameran Melik Nggendong Lali mengundang sudut pandang tersendiri. Butet dinilai menghadirkan kaligram bergenre baru. Di situ ada subversi terhadap teknologi serta ulang-alik atas kesadaran tubuh mengendalikan pikiran dan sebaliknya.
Memasuki ruang pamer, pengunjung disambut patung pria bertubuh langsing sedang berkacak pinggang. Kepalanya mendongak. Anatomi tubuhnya tak ada yang janggal, kecuali hidungnya yang memanjang. Ini mengingatkan pada dongeng Pinokio. Ketika berbohong, hidungnya bertambah panjang.
Baca juga: Seni Instalasi Dunia Ramalan
Di latar belakang patung tersebut terdapat kaligram besar dengan tiga panel. Setiap kaligram mencantumkan tulisan ”Melik Nggendong Lali”. Tulisan ini jadi judul instalasi patung dan tiga kaligram yang masing-masing berukuran 306,5 sentimeter (cm) x 141,5 cm.
Melik Nggendong Lali bagi Butet memiliki makna. Ketika seseorang memiliki harta dan kekuasaan, akan cenderung lupa. Terutama lupa pada sangkan paraning dumadi, asal-muasal diri, hingga menjadi berharta dan berkuasa.
Judul karya instalasi tersebut sekaligus menjadi tajuk pameran tunggal Butet, Melik Nggendong Lali, yang digelar di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Pameran dibuka Franz Magnis-Suseno dengan kurator Asmudjo J Irianto, berlangsung 26 April hingga 25 Mei 2024.
”Mungkin saja patung dengan hidung panjang itu dianggap sarkastik. Biarkan publik yang menafsirkan ini patung siapa. Melalui pameran ini, saya ingin menunjukkan saya tak mungkin membisu dengan perkembangan sosial politik mutakhir,” ujar Butet, Selasa (30/4/2024).
Baca juga: Seni Berakar Kuat, Menembus Sekat
Tak hanya patung itu, masih banyak karya senada berupa karya dua dimensi. Tak jauh dari patung itu, misalnya, dipajang sebuah kaligram bertuliskan ”Nusantara”. Kata ini ditulis berulang, membentuk gambar laki-laki berhidung panjang seperti patung tadi. Telinga laki-laki itu digambarkan tersumpal. Butet memberinya judul ”Tuli Permanen”.
Di dinding sisi kanan patung terdapat karya instalasi yang berjudul ”Arsip-arsip Doa: Wirid Visual”. Di situ dipajang 100 kertas ukuran A3. Setiap kertas berisi kaligram yang disebut Butet sebagai wirid visual atau doa-doa yang tertuliskan. Wirid visual dibuat ketika ia jatuh sakit pada 2013.
Doa kesembuhan
Semula, Butet banyak menuliskan namanya, Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa. Ia menulis secara berulang di sebuah kertas bergaris ukuran A4. Wirid visual Butet ini terpengaruh tulisan-tulisan yang sering ia lihat dari personel kelompok seni Sanggar Bambu di Yogyakarta. Bagi Butet, wirid visual menjadi doa kesembuhannya dan berhasil. Butet kembali sehat dan terus berkarya di dunia teater dan seni rupa.
Ada peristiwa nasional yang memicu keinginannya membuat wirid visual lagi. Ia mengingat peristiwa itu terjadi 5 Maret 2022 ketika nama IKN yang semula singkatan dari Ibu Kota Negara diubah menjadi Ibu Kota Nusantara. ”Penggantian nama itu mengingatkan saya pada Arkand Bodhana (1971–2020), yang pernah mengusulkan agar nama Indonesia diganti dengan Nusantara,” ujar Butet.
Butet pun kembali memulai wirid visualnya dengan ukuran kertas lebih besar, yaitu A3. Kertasnya juga lebih bagus, kertas impor khusus untuk sketsa atau seni rupa profesional. Kertas yang lebih besar dimaksudkan agar tersedia ruang kosong yang lebih luas. Setiap ingin membuat wirid visual, Butet membuat sketsa gambar lebih dulu. Ia pun berusaha mendisiplinkan diri, selama 90 malam tak berhenti menorehkan pena di atas kertasnya.
Sejak itu satu putaran wirid visual selama 90 hari ditekuninya. Pada 2023 sudah ada 10 putaran. Setidaknya ada 900 lembar wirid visualnya. Ia sempat mengikutsertakan karya wirid visualnya itu di Artjog.
”Ketika beberapa kali menyaksikan tumpukan kertas wirid visual saya seperti menerima hadiah besar dari diri saya. Saya ingat, Mei 2023, naluri seni saya tergerak untuk menempatkan wirid visual saya ke atas kanvas yang lebih besar,” kata Butet.
Ia memanfaatkan teknologi cetak digital untuk memperbesar dan memindahkan tulisan wirid visualnya ke kanvas. Butet juga menciptakan narasi untuk setiap wirid visual yang dipindah ke kanvas besar. Narasi-narasi mutakhir pun dibuatnya. Untuk menguatkan narasi, Butet mengimbuhkan cat warna layaknya membuat lukisan abstrak pada kanvas berisi wirid visual yang dicetak digital tadi.
Tema Nusantara menjadi narasi yang dominan. Masih berada di bagian depan ruang pamer, Butet menampilkan empat cetakan kaligram dengan tembaga dan besi. Keempatnya diberi judul ”Lingkaran Nusantara”, ”Lingkaran Nusantara 2”, ”Kesuburan Nusantara 1”, dan ”Kesuburan 2”.
Baca juga: Seni Media Baru Bagus Pandega
Terlihat Butet ingin menunjukkan keberagaman ide pameran. Dari yang personal berupa arsip wirid visual, patung berbahan resin, dan lukisan di atas kanvas bertema kondisi sosial politik mutakhir. Juga cetakan lembaran atau patung tipis berbahan tembaga dan besi bertema kaligram tentang Nusantara. Butet juga melukis badut-badut dengan media keramik, berjudul ”Koalisi Indonesia Mundur”.
Meski banyak karya bernada satire, Butet tak sedang menebar kebencian. Ini terlihat dari kaligram di atas kanvas berukuran 106 cm x 206 cm bertuliskan Uaassuwoookk, judulnya ”Ungkapan Cinta”. Melalui karya ini sejatinya Butet ingin mengungkapkan cinta dengan caranya sendiri.
Genre baru
Kurator Asmudjo menyebut karya-karya Butet di pameran ini memiliki genre baru. Ia melihat dari sisi proses penciptaan kaligram wirid visual sebagai laku spiritual personal, tak ditujukan seperti sketsa menuju penciptaan sebuah lukisan. ”Dalam sejarah dan tradisi seni rupa dunia, pelukis dunia seperti Picasso atau Salvador Dali, juga hampir semua pelukis, membuat sketsa untuk lukisan-lukisannya. Di sini Butet menunjukkan proses yang berbeda,” kata Asmudjo.
Butet berangkat dari doa yang dituliskan, lalu dibentuk sebagai kaligram. Doa yang semula ditujukan untuk kesembuhan personal, meluas ke urusan publik soal Nusantara. ”Sebut saja kaligram itu sebagai found object, obyek yang ditemukan dari laku spiritual dan akhirnya dijadikan sebuah karya seni rupa kontemporer,” imbuh Asmudjo.
Dalam sejarah dan tradisi seni rupa dunia, pelukis dunia seperti Picasso atau Salvador Dali, juga hampir semua pelukis, membuat sketsa untuk lukisan-lukisannya. Butet menunjukkan proses yang berbeda.
Berikutnya, terjadi beberapa hal meliputi transmutasi media dari kertas ke kanvas dengan teknologi cetak digital untuk membesarkan kaligram kertas. Kemudian rekomposisi ditempuh dengan mengimbuhkan warna dan membangun narasi-narasi kontekstual.