Totto-Chan, Revolusi Pendidikan, Anti Perundungan, dan Anti Perang
Film "Totto-Chan: The Little Girl at The Window" yang penuh pesan kemanusiaan tayang di Indonesia sejak 1 Mei 2024.
Ada ungkapan bahwa anak-anak akan tumbuh sesuai dengan apa yang kita percayai. Untuk itu, melabeli anak dengan tanpa bersedia memahaminya bisa mematikan motivasi dan langkahnya kelak. Sebagai orang dewasa, akan kah kita menjadi pembunuh mimpi mereka?
“Kenapa semua orang menganggapku pembuat onar? Padahal, Aku hanya lah seorang Totto-Chan,” ujar gadis kecil yang akrab dipanggil Totto-Chan dengan suara dan wajah sedih.
“Kau adalah gadis yang baik,” balas Sosaku Kobayashi, Kepala Sekolah Tomoe Gakuen, dengan lembut menanggapi pertanyaan Totto-Chan.
Sepenggal dialog di atas merupakan sebagian adegan pembuka film Totto-Chan: The Little Girl at The Window (2023) atau Madogiwa no Totto-Chan (2023). Film yang rilis di Indonesia pada 1 Mei 2024 ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama yang berisi otobiografi dan kenangan masa kecil dari Tetsuko Kuronayagi.
Bagi para pembaca bukunya, isi dari filmnya tentu saja tak jauh berbeda. Kisahnya tentang Totto-Chan yang dikeluarkan dari sekolah karena rasa ingin tahunya yang berlebih dianggap mengganggu, lalu menemukan rumah di sekolah barunya. Namun sayangnya, kejamnya perang merenggut cerianya masa kecil para anak-anak di Jepang, termasuk Totto-Chan dan teman-teman sekolahnya.
Kendati demikian, layaknya dalam karya adaptasi ada sedikit dramatisasi yang dilakukan sutradara Shinnosuke Yakuwa dan Yosuke Suzuki sebagai penulis naskah. Walakin, hal itu tak mempengaruhi bangunan inti cerita. Justru penggambarannya menjadi jauh lebih mengena dalam filmnya.
Berdurasi 114 menit, film yang didistribusikan Feat Pictures Indonesia ini bermain apik lewat animasi 2D. Pemilihan tone warna pada berbagai adegan di awal hingga pertengahan film berhasil menghadirkan suasana manis dan riang gembira anak-anak menikmati masa kecilnya secara penuh di sebuah sekolah, Tomoe Gakuen, yang didirikan Sosaku Kobayashi (Koji Yakusho).
Sementara itu, bagian pertengahan hingga akhir, usai kabar serangan Jepang di Pearl Harbor, Amerika Serikat, pada 8 Desember 1941, warna mulai memunculkan semburat gelap sebagai representasi perang yang mengerikan. Warna seolah menjadi kekuatan Yakuwa dalam menuturkan kisah hidup Totto-Chan yang memang penuh warna.
Bahkan Yakuwa yang dikenal telah menyutradarai berbagai film Doraemon ini menampilkan keajaiban lain dengan menggambarkan imajinasi Totto-Chan dalam berbagai ilustrasi dan latar yang berbeda untuk membedakan realita dan fantasi.
Salah satunya, ketika Totto-Chan (Liliana Ono) tengah berjalan bersama sahabatnya Yasuaki di jalanan yang gelap dan sepi dalam guyuran hujan sambil menahan lapar. Mendadak suasana suram akibat perang berganti dengan pendar lampu warna-warni dan keduanya menari bahagia dengan musik yang sengaja mereka buat dari kecipak becek air hujan. Usai lagu berhenti, mereka kembali berada di jalanan gelap dan berpisah di stasiun yang membawa mereka ke rumah masing-masing.
Begitu pula saat Yasuaki yang mengidap polio untuk pertama kalinya masuk ke kolam sekolah dan berusaha berenang. Layar mendadak berubah putih polos, lalu muncul sosok Yasuaki seperti dalam guratan pensil berenang meliuk-liuk disusul Totto-Chan. Keduanya tertawa riang.
Baca juga: Nyawa Dunia di Tangan Ghibli
Revolusi pendidikan
Sejak awal Kuroyanagi menulis artikel berseri tentang dirinya dari 1979 sampai 1980 di majalah remaja Kodansha hingga diterbitkan dalam bentuk buku pada 1981, kisah Kuroyanagi ini selalu erat dikaitkan dengan sistem pendidikan dan pola pengasuhan. Tak salah memang, kepindahan Totto-Chan ke Tomoe Gakuen memang dilandasi persoalan sistem pendidikan yang menuntut keseragaman dan memaknai kedisiplinan secara kaku.
Kembali pada dialog pada pembuka film, seorang anak berusia 6 tahun yang duduk di kelas 1 SD nyaris kehilangan kepercayaan diri karena dilabeli sebagai pembuat onar oleh sekolah sebelumnya. Beruntung, ibu Totto-Chan, Cho Kuroyanagi (Anne Watanabe), menemukan Tomoe Gakuen dan Kobayashi yang sangat menyayangi anak-anak.
“Tanpa ucapan Pak Kobayashi saat itu bahwa aku sebenarnya adalah anak yang baik, mungkin aku tak akan pernah sampai di titik sekarang ini,” ujar Kuroyanagi yang sukses berkarir sebagai aktris dan penulis.
Penerimaan Kobayashi terhadap tiap individu anak dengan ragam karakternya berhasil membangkitkan rasa percaya diri tiap anak. Bahkan Kobayashi sengaja membebaskan anak-anak untuk belajar apapun yang disukai. Totto-Chan sempat terkejut ketika hari pertama sekolah, karena ketika kelas dimulai, tiap anak sibuk sendiri dengan kegiatan yang berbeda-beda. Ada yang main piano, ada yang menggambar, ada yang melakukan eksperimen sains, ada yang menulis cerita, ada yang belajar matematika. Semuanya bebas sesuai minat.
Namun, apakah kemudian situasi belajar mengajar menjadi berantakan? Tidak sama sekali. Anak-anak fokus dengan kegiatan masing-masing tanpa saling mengganggu. Berbicara kedisiplinan, anak-anak di Tomoe Gakuen tanpa omelan atau hukuman secara sadar merapikan alat peraga, buku, mainan, tas, hingga sepatu mereka pada tempatnya.
Tiap aktivitas yang dilakukan dari makan siang bersama hingga waktu istirahat bisa menjadi momen belajar yang menyenangkan. Seperti saat jam makan siang, anak-anak diminta membawa bekal yang berisi sesuatu dari darat dan sesuatu dari laut. Dari situ, anak-anak mengidentifikasi darat dan laut secara berkesinambungan menyokong kehidupan manusia sehingga patut dijaga.
Suasana kelas yang menarik dan di luar pakem juga menjadi daya tarik tersendiri. Kobayashi memanfaatkan gerbong kereta bekas sebagai kelas dan perpustakaan, alih-alih gedung besar berpilar besar yang kaku. Anak-anak pun bebas duduk di mana saja sesuai kehendak mereka. Dengan cara ini, anak-anak sangat mencintai sekolah dan menyukai belajar tanpa ada paksaan. Bahkan libur musim panas pun, diam-diam mereka tetap berjanjian main di sekolah.
Selain itu, Kobayashi juga berulang kali menekankan mengenai “Kita semua sama. Kita akan melakukannya bersama.” Hal ini membekas bagi Totto-Chan. Bagi yang menyaksikan maupun membaca, maksud Kobayashi dengan kalimatnya itu adalah bentuk perlawanan terhadap perundungan.
Karena itu pula, Kobayashi bersedia menerima Totto-Chan yang ditolak bersekolah karena dianggap nakal. Ia juga menerima Yasuaki yang polio dan sulit bergerak atau Takahashi yang mengalami gagal tumbuh sehingga tubuhnya kecil.
Semangat yang terus digelorakan Kobayashi menular ke anak-anak. Alih-alih menganggap Yasuaki dan Takahashi berbeda secara fisik, anak-anak ini malah tak menyadari adanya perbedaan tersebut. Mereka asyik bermain bersama, tertawa bersama, dan saling menyemangati satu sama lain. Hangat sekali.
Baca juga: Palme d’Or untuk Studio Ghibli
Di sisi lain, ada momen yang menangkap para orangtua murid di Tomoe Gakuen memiliki pengasuhan berbasis disiplin yang lembut. Mereka senantiasa pula terlibat dan mendengarkan cerita anak-anak mereka secara penuh.
Bahkan ayah Totto-Chan, Moritsuna Kuronayagi (Shun Oguri) memperkenalkan putrinya pada dunianya yang merupakan seorang pemain biola di sebuah orkestra dan mengajarkan kemandirian dengan melibatkan Totto-Chan dalam pekerjaan rumah sehari-hari. Ayah dan ibu Totto-Chan juga tak memarahi anaknya ketika dikeluarkan dari sekolah, karena mereka memahami Totto-Chan bukan anak yang nakal dan bukan salahnya hingga sekolah mengeluarkannya.
Anti Perang
Di balik hal indah tersebut, bayang-bayang perang yang menghantui mewujud nyata. Totto-Chan heran karena bekalnya berubah hanya menjadi sekantong kacang kedelai. Kemudian, ia tak diperbolehkan lagi memanggil orangtuanya dengan sebutan mama dan papa, melainkan harus memanggil dengan sebutan otousan untuk ayah dan okaasan untuk ibu. Ia pun pernah ditegur oleh seorang tentara karena menyanyikan lagu dengan nada lagu "Row, row, row Your Boat".
Saat itu, Totto-Chan yang merupakan anak kecil tak memahami itu adalah dampak perang yang dialaminya. Akibat pecah Perang Dunia II yang kemudian berujung pada pertarungan Jepang dengan Inggris dan Amerika, Jepang mengeluarkan larangan untuk menggunakan bahasa Inggris atau mengadopsi berbagai budaya barat.
Tak hanya itu, penggambaran dampak perang dalam film ini terlihat sederhana tapi penuh luka. Bayangkan seorang anak yang sangat menyukai sebuah permen karamel, lalu pada suatu hari ia tak lagi bisa menikmati permen kesukaannya karena tak ada lagi produksi permen tersebut akibat perang. Bayangkan juga anak-anak harus berpisah dengan teman-temannya dan sekolah ditutup karena mereka harus evakuasi dengan keluarganya. Bayangkan juga di depan mata anak-anak ini, rumah tempat mereka berbagi suka duka dengan keluarga hancur karena bom.
Baca juga: The World of Studio Ghibli and Makoto Shinkai Ajak Anak Muda Mengenal Orkestra
“Melihat yang terjadi di Ukraina dan di Gaza, aku merasa perlu lagi disuarakan apa yang pernah kutuliskan dengan susah payah sebagai anak kecil yang terdampak perang,” ujar Kuroyanagi.
Yakuwa juga sepakat dengan Kuroyanagi. Ia bersedia menjadi sutradara bersama Shin-Ei Animation untuk membuat film Totto-Chan dari 120.000 susunan gambar sejak awal 2023 ini karena dilandasi kemanusiaan dan sikap anti perang yang melukai banyak pihak, terutama anak-anak.
Dari Totto-Chan, kebutuhan anak-anak bukan lah barang mahal atau mainan mewah melainkan perdamaian, kebebasan bermain dan belajar, serta hati baik penuh kasih untuk memahami mereka dengan segala keistimewaannya.