Ketika Takdir Tuhan Digugat dan Dipertanyakan
Akhirnya, film "Tuhan, Izinkan Aku Berdosa" yang disutradarai Hanung Bramantyo rilis di bioskop 22 Mei ini.
Sempat tak yakin lolos di bioskop, film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa diumumkan memperoleh jadwal tayang pada Mei 2024. Sebelumnya, film yang diproduksi Dapur Film dan MVP Pictures ini muncul perdana di Jakarta Film Week 2023 disusul di Jogja-Netpac Asian Film Festival 2023.
Saat itu, setelah pemutaran di JAFF 2023, Hanung mengungkapkan tak mempermasalahkan apabila filmnya kali ini beredar di berbagai festival saja. Ia menyadari konten film yang ditawarkannya berpotensi menuai kontroversi. Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa ini merupakan adaptasi dari novel karya Muhidin M Dahlan berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur.
Dengan menggandeng Ifan Ismail sebagai penulis skenario, Hanung mengembangkan premis dalam buku dan memilih akhir yang berbeda dengan buku. Hal ini juga sepengetahuan penulis bukunya. Atas dasar perbedaan antara buku dengan film dan diskusi bersama produser Raam Punjabi, Hanung pun melakukan penyesuaian pada judulnya.
Baca juga: Mencintai Hanya untuk Para Pemberani
“Berbeda judulnya karena endingnya di sini saya bablaske. Makanya enggak fair kalau tetap pakai judulnya. Dari produser, juga minta kata pelacur bisa diubah karena urusannya kepada korporasi, ke brand juga. Jangan ada kata-kata yang negatif,” ungkap Hanung.
Film yang mengisahkan tentang nasib seorang perempuan bernama Kiran ini menarik minat Hanung setelah ia selesai membaca bukunya untuk kesekian kali pada 2020. Masa-masa pandemi membuatnya berkontemplasi sehingga menggugahnya untuk mengolah buku tersebut.
Seperti bukunya, Hanung tetap menjadikan Kiran (Aghniny Haque) sebagai penggerak cerita. Kiran merupakan mahasiswa yang rajin mengikuti kajian keagamaan dan bergabung dengan kelompok agama yang tumbuh di kampusnya. Kiran yang sehari-harinya mengenakan jilbab panjang, cadar, dan gamis lebar sesungguhnya mulai berupaya kritis terhadap kajian agama yang dilakukan kelompoknya.
Namun, ketaatannya pada agama membuatnya memaklumi jawaban tertutup yang tak sesuai akal pikirannya. Hingga pada suatu hari, ia menolak pinangan ustadz pendiri kelompok sebagai istri ketiga. Ustadz tersebut kemudian memutarbalikkan fakta. Rekan-rekan di kelompok itu berbalik memusuhi Kiran. Ia dikejar-kejar hingga ia diselamatkan Mbak Ami (Djenar Maesa Ayu) yang merupakan pelacur.
Kiran tinggal di kontrakan Mbak Ami sampai akhirnya ia berjumpa lagi dengan Da’rul (Andri Mashadi) teman di kelompok pengajiannya dulu yang berjanji membantu Kiran. Alih-alih membantu, Da’rul rupanya punya ketertarikan pada Kiran. Pada suatu malam, keduanya berhubungan seksual berlandaskan suka sama suka. Walakin, Kiran kembali difitnah.
Ini wujud kemarahan kita semua tapi enggak mudah direalisasikan.
Belakangan, ia berjumpa dengan dosen kampusnya, Pak Tomo (Donny Damara) yang menawarkan perlindungan sekaligus bantuan kemudahan biaya kuliah. Akan tetapi, Pak Tomo justru berakhir menjadi germo dari Kiran. Di keluarga, Kiran dibuang. Lengkap sudah semuanya.
Keputusan menjadi pelacur dengan menyasar para politisi dan pejabat bermulut manis dan bertameng agama menjadi upayanya balas dendam akan kondisinya. Alim Suganda (Nugie) yang tengah mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah sasaran utamanya.
Kembali pada jalur
Lewat film ini, Hanung seperti kembali lagi pada sentuhannya. Perempuan Berkalung Sorban (2009) dan ? (2011) merupakan karyanya yang sangat apik dari segi penceritaan dan pesan. Kini, Tuhan, Izinkan Aku Berdosa membawa getaran yang nyaris serupa meski banyak hal-hal yang dapat memicu trauma para penyintas kekerasan seksual, terutama yang terjadi di lingkungan keagamaan.
“Ini berangkat juga dari kasus-kasus mereka yang mengalami pencabulan dan itu dilakukan ustad atau kiai di situ. Bagi yang perempuan bisa membayangkan masuk pesantren, ternyata justru menghadapi hal suatu yang abusive. Ini wujud kemarahan kita semua tapi enggak mudah direalisasikan. Nah, apa yang tidak kita dapatkan dlm realitas kita dapatkan di sinema,” tutur Hanung.
Baca juga: Emosi, Sensualitas, dan Rumus Lama Sutradara Guadagnino
Di sisi lain, come back Hanung dengan cerita semacam ini juga karena yakin situasinya lebih kondusif mengingat organisasi masyarakat berbasis agama banyak yang sudah dibatasi sepak terjangnya. Selain itu, tahun politik juga menjadi alasan lain. “Saya tidak mau ada politik identitas lagi saat pemilu,” ujar Hanung.
Kekerasan seksual
Ya, perpolitikan yang digerakkan dengan jualan agama ini kerap kali munafik. Namun apa daya, masyarakat enggan peduli atau mencaritau karena citra diri lewat agama itu seolah segalanya. Seperti ketika Kiran menceritakan kepada ibunya tentang pelecehan dan penyiksaan secara mental dari ustadz kelompok pengajiannya terhadap dirinya, ibu Kiran malah membela sang ustadz dan menuding anaknya telah keluar dari jalan Allah.
Begitu pula saat Kiran bisa membuktikan bobroknya para politisi yang berdagang agama tapi doyan main perempuan, lagi-lagi ia tak dipercaya. Padahal bagi para penyintas kasus kekerasan seksual, kepercayaan dari support system dan orang terdekat menjadi penting. Di film ini, justru pelacur seperti Mbak Ami yang berhati emas dan senantiasa mendukung Kiran.
Film berdurasi 117 menit ini cukup menguras emosi. Sebagai perempuan, pedih melihat nasib Kiran yang dikhianati orang-orang yang dipercaya dan dihormatinya berkali-kali. Bahkan ketika ia meminta pertolongan dan berusaha berjuang untuk dirinya, ia harus mengalami aneka tekanan menyakitkan.
Ketika ada seseorang punya keberanian untuk bicara itu satu dari sekian juta dari yang tidak berani bicara. Ini mewakili banyak suara yang tidak bisa bicara.
Familiar bukan? Para korban kekerasal seksual, walau telah ada undang-undang tindak pidana kekerasan seksual, tak semudah itu mencari keadilan. Data dari Komisi Nasional Perempuan, jumlah kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2023 tercatat 289.111 kasus. Data kasus ini merupakan kasus yang dilaporkan korban maupun oleh pendamping dan keluarganya. Sementara itu, kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak dilaporkan bisa jadi lebih besar. Dari data itu, dapat diketahui juga pengalaman korban dalam mendapatkan perlindungan dan pemulihan jauh dari harapan.
Pada satu titik, pertanyaan Kiran pada Tuhan kenapa memberi cobaan di luar nalar bertubi-tubi menjadi masuk akal. Meski hal ini bisa jadi penuh kontroversi karena dianggap menentang Tuhan, seperti novelnya saat itu. Kali ini, siapa pun yang menyaksikan kisah Kiran perlu bersih dari berbagai prasangka terlebih dulu sehingga tidak ujug-ujug menghakimi keputusan demi keputusan Kiran yang tengah rapuh.
Apalagi jika berkaitan dengan kasus kekerasan seksual, berpihak pada korban menjadi yang utama. “Ini bukan masalah boleh atau tidak. Ketika ada seseorang punya keberanian untuk bicara itu satu dari sekian juta dari yang tidak berani bicara. Ini mewakili banyak suara yang tidak bisa bicara. Tindak kekerasan itu harus dibicarakan dan bersama memberantas itu. Semoga orang tidak hanya menilai tentang Tuhan atau menilai tentang jadi pelacur,” ujar Djenar.
Sebab, semua ini bagian memoar dari perjalanan perempuan yang juga perlu diketahui.