Diskusi membahas pengalaman pahit perjuangan mengekspresikan aspirasi melalui musik.
Oleh
DWI AS SETIANINGSIH
·3 menit baca
Sejumlah tokoh seni dan budaya Indonesia berkumpul di Matawaktu, ITC Fatmawati, Jakarta Selatan, pada Minggu (5/5/2024), dalam acara Dari Balik Nada. Acara yang dipandu fotografer Oscar Motuloh ini menjadi panggung refleksi terhadap bagaimana musik menjadi sarana untuk mengungkapkan identitas, perlawanan, dan keberanian di tengah tekanan politik yang mengimpit.
Diskusi yang diwarnai dengan nuansa nostalgia ini turut menjadi wadah bagi para musisi dan budayawan untuk mengungkapkan pengalaman dan pandangan mereka tentang bagaimana musik tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga alat untuk menyuarakan aspirasi politik dan kebenaran.
Salah satu titik sorot utama adalah pandangan dari Guruh Soekarnoputra, musisi legendaris yang turut berperan dalam membangun perlawanan melalui seni. Guruh membagikan pengalaman pahitnya selama Orde Baru (Orba), di mana rezim tersebut berusaha menyensor dan mengontrol narasi sejarah.
”Tahun 1972 itu rezim Orba sudah enam tahun, ya. Nah, itu saya sudah mulai nge-lihat anak-anak Indonesia tuh dijauhkan dari politik atau dari sejarah. Dalam artian, sejarah Indonesia dipelintir, termasuk Pancasila, dan segala macam,” ungkapnya.
Hal itu membuat Guruh bersikeras untuk tetap memberi sesuatu bagi Indonesia, khususnya dalam bidang seni dan budaya. Ia pun mendirikan Suara Mahardika pada tahun 1977 bersama rekan-rekannya dan berhasil menciptakan ruang untuk menyalurkan kebebasan berekspresi. Tidak hanya dalam seni, tetapi juga dalam pendidikan politik bagi generasi muda.
”Tiap kumpul saya selalu ngasih, ya, kayak kuliahlah, bagian politik dan kenegaraan, nasionalisme, dan tata negara gitu,” ujarnya.
Bersama band Gipsy, Guruh merilis album bertajuk Guruh Gipsy pada tahun 1977. Pada era kebebasan berekspresi dibungkam dan cahaya kebenaran sering disamarkan, album tersebut menjadi perwakilan dari semangat kebebasan berekspresi di tengah tekanan politik yang ada.
Membentuk identitas
Peran musik dalam membentuk identitas dan kesadaran nasional juga menjadi sorotan. Guruh menggambarkan bagaimana musik tradisional Indonesia, seperti gamelan dari Jawa dan Bali, memengaruhi karyanya. Ia juga mencampurkan unsur tradisional tersebut dengan musik Barat.
”Saya kembali tahun 1976 itu di Jakarta, terus sudah banyak ide pengenbikin show aja gitu, unsur musik barat campur Indonesia,” ujarnya.
Nah, itu saya sudah mulai nge-lihat anak-anak Indonesia tuh dijauhkan dari politik atau dari sejarah. Dalam artian, sejarah Indonesia dipelintir, termasuk Pancasila, dan segala macam.
Album Guruh Gipsy bukan menjadi satu-satunya album yang mencampurkan unsur tradisional dengan musik barat. Album Philosophy Gang dan Ken Arok karya Harry Roesli Gang juga mengambil inspirasi dari kekayaan budaya lokal, menggabungkan dengan gaya rebellious dari band Rolling Stones asal Inggris.
Kedua album tersebut juga menjadi bentuk perlawanan terhadap pemerintah. Harry Roesli Gang secara implisit menyelipkan lirik-lirik kritis dan perlawanan pada pemerintah Orba. Band yang dibentuk di Bandung itu bahkan pernah menghadapi tekanan dan intimidasi.
”Waktu itu kalau ada demo kita main (nge-band), tapi ya sesudah itu dipanggil. Biasa. Harry sempat ditangkap,” ujar Hari Pochang, salah satu anggota Harry Roesli Gang.
Tekanan dan intimidasi serupa terjadi pada Slank. ”Di (tahun) 1998, kita sudah sering banget di-banned, enggak boleh manggung, dan mau ditangkap juga. Itu sebuah bentuk konsekuensi perjuangan melalui musik,” ujar gitaris Slank, Ridho Hafiedz, yang hadir mewakili Slank.
Lebih lanjut, Ridho mengungkapkan bahwa musik dan politik adalah dua hal yang masih berkaitan. ”Buat Slank, musik hanya akan menjadi sebuah hiburan biasa tanpa ada lirik yang bagus di situ. Jadi, lirik sangat penting. Lirik itu yang mencerminkan karakter ataupun jadi bentuk perlawanan kita sebagai musisi,” ungkap pria asal Ambon tersebut.
Seniman Jay Subyakto pun turut memberikan nuansa baru dalam wacana perlawanan seni dengan menggabungkan metafora dan pesan tersembunyi dalam karyanya. Ia menyoroti bahwa konser tidak hanya menampilkan keindahan musik, tetapi juga mengandung pesan-pesan yang mendalam. Seperti dedikasi kepada para mahasiswa Trisakti dalam konser Badai Pasti Berlalu tahun 2000.
”Waktu saya bikin konser Badai Pasti Berlalu tahun 2000 itu, saya minta Chrisye (alm) untuk (menyanyikan lagu) ’Lilin-lilin Kecil’ itu, dedikasi kepada para mahasiswa Trisakti yang dibunuh,” tutur Jay.
Melalui konser-konser yang ia buat, Jay berupaya menyampaikan pesan kepada audiens bahwa musik bukan hanya sekadar medium hiburan, melainkan juga sebagai cerminan dari perjuangan dan ketidakpuasan terhadap ketidakadilan sosial dan politik. Jay pun mengomentari pergeseran tren musik yang dapat menyebabkan hilangnya identitas budaya lokal.
”Karena banyak banget pengaruh asing sekarang. Bahkan juga negara Asia turut memengaruhi kita, seperti dari Korea, Jepang. Tapi, saya kira, kita harus tetap menjunjung tinggi bahasa kita dan musik kita,” ujarnya.
Artikel merupakan hasil kolaborasi dengan peserta magang harian Kompas: Daffa Almaas Pramesthy, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.