Meskipun penyidikan ataupun penyelidikan suatu kasus sudah dihentikan, KPK masih dapat membuka kembali kasus tersebut jika ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian kasus itu.
Oleh
Riana Afifah
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun penyidikan ataupun penyelidikan suatu kasus dugaan korupsi sudah dihentikan, Komisi Pemberantasan Korupsi masih dapat membuka kembali kasus tersebut jika ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan kasus itu.
Hal tersebut diungkapkan oleh dosen hukum Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, kemarin, menanggapi rencana KPK untuk menghentikan perkara yang disidiknya jika tidak memenuhi unsur-unsur pidana.
”Penghentian penyidikan tidak berarti permanen. Artinya, jika ditemukan bukti tambahan yang menyebabkan perkara dapat dilimpahkan, perkara dapat dibuka kembali,” kata Pohan.
Penghentian penyidikan tidak berarti permanen. Artinya, jika ditemukan bukti tambahan yang menyebabkan perkara dapat dilimpahkan, perkara dapat dibuka kembali.
Menurut Pohan, penghentian perkara dimungkinkan saat ini melalui Undang-Undang KPK yang baru, Nomor 19 Tahun 2019. ”Jika memang sudah dua tahun tidak dilimpahkan, penghentian bisa dipahami, terutama dari aspek kepentingan hukum tersangka yang dirugikan,” ujar Pohan.
Pasal 40 UU No 19/2019 menyatakan, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Selain penghentian perkara tersebut harus diumumkan kepada publik, penghentian penyidikan dan penuntutan perkara juga harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.
Menurut Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, perkara yang masih dalam penyelidikan tidak memerlukan Dewan Pengawas untuk menghentikannya. Hal ini berbeda dengan perkara yang dalam penyidikan, tetapi hingga saat ini masih ditelaah dan dilanjutkan terlebih dahulu yang sudah ada.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR dengan KPK pada Senin (27/1/2020), Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan, pihaknya akan mengevaluasi sejumlah perkara yang selama ini mangkrak sejak lama.
Untuk penyelidikan, tambah Firli, pihaknya memiliki tiga opsi. Ketiga opsi itu antara lain, jika memenuhi syarat, akan diterbitkan surat perintah penyelidikan lanjutan. Namun, jika tak memenuhi unsur, tidak akan dilanjutkan ke penyidikan dan menghentikannya. Berikutnya, Firli juga membuka opsi untuk menyerahkan penyidikan perkara kepada instansi lain yang dinilai dapat menangani kasusnya.
Dalam kesempatan ini, Firli menyatakan pemberhentian perkara tetap mengacu pada KUHAP yang mengatur tentang kecukupan alat bukti dan kerugian negara. Selain itu, juga dilihat apakah masuk tindak pidana atau tidak. Mengacu pada Pasal 109 Ayat 2 KUHAP, ada syarat lain, yaitu terdakwa meninggal dunia, perkaranya nebis in idem, dan kedaluwarsa.
Firli menyatakan pemberhentian perkara tetap mengacu pada KUHAP yang mengatur tentang kecukupan alat bukti dan kerugian negara. Selain itu, juga dilihat apakah masuk tindak pidana atau tidak. Mengacu pada Pasal 109 Ayat 2 KUHAP, ada syarat lain, yaitu terdakwa meninggal dunia, perkaranya nebis in idem, dan kedaluwarsa.
Selama ini ada sejumlah kasus besar yang belum tuntas, antara lain suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang kini menjerat Nurhadi, selain perkara suap di PT Pelindo II, kasus pengadaan KTP elektronik, kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, kasus korupsi Bank Century, dan kasus korupsi Hambalang.
Sejauh ini, tambah Firli, ada 113 surat perintah penyidikan yang dikeluarkan KPK sepanjang 2008-2020 yang masih belum tuntas. Sedangkan untuk penyelidikan, ada 366 surat perintah penyelidikan yang masih dijalankan dan belum diselesaikan perkaranya.