Buka Pembahasan ”Omnibus Law”
Pemerintah harus lebih terbuka dan banyak melakukan sosialisasi terhadap pembahasan undang-undang sapu jagat atau omnibus law.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah harus lebih terbuka dan banyak melakukan sosialisasi dalam pembahasan omnibus law. Sebab, publik belum banyak memahami apa itu omnibus law dan apa arti pentingnya bagi deregulasi yang menjadi salah satu program prioritas pemerintah tersebut.
Di sisi lain, pemahaman tentang omnibus law atau dikenal dengan undang-undang (UU) sapu jagat yang terbatas ini juga berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan dari publik. Oleh karena itu, pembahasan UU di bawah payung program deregulasi melalui omnibus law menjadi keniscayaan tak terhindarkan jika ingin deregulasi berhasil.
Dari hasil kajian Litbang Kompas, program deregulasi melalui omnibus law yang menjadi salah satu dari lima program prioritas pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin belum cukup meyakinkan masyarakat. Lemahnya sosialisasi omnibus law dan kekeliruan dalam memahami metode penyederhanaan dan harmonisasi undang-undang ini dikhawatirkan menimbulkan kegaduhan yang kontraproduktif dalam pemerintahan.
Program deregulasi melalui omnibus law yang menjadi salah satu dari lima program prioritas pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin belum cukup meyakinkan masyarakat. Lemahnya sosialisasi omnibus law dan kekeliruan dalam memahami metode penyederhanaan dan harmonisasi undang-undang ini dikhawatirkan menimbulkan kegaduhan yang kontraproduktif dalam pemerintahan.
Dari jajak pendapat yang dilakukan Kompas, omnibus law atau UU sapu jagat tercatat mendapatkan tingkat keyakinan terendah dari lima program prioritas Jokowi-Ma’ruf. Hanya 55,3 persen responden yang meyakini UU sapu jagat akan terwujud sesuai target pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebanyak 30,3 persen responden menjawab tidak yakin UU itu mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara 13,5 persen menjawab tidak tahu. Selain itu, penting dicatat, hanya 23,1 persen responden yang mengetahui soal omnibus law ini. Sebanyak 76,9 persen lainnya mengaku tidak tahu mengenai omnibus law.
Baca Juga: Emil Salim: ”Omnibus Law” Membuat Indonesia Kembali ke Masa Lalu
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, banyak orang yang keliru mempersepsikan omnibus law. Omnibus law bukanlah jenis UU yang berbeda dengan UU lainnya. Persepsi lain bahkan menyamakan omnibus law dengan kodifikasi atau penggabungan UU. Padahal, omnibus law ialah metode atau teknik penyusunan UU dengan tujuan penyederhanaan dan harmonisasi secara efektif dari berbagai UU terkait satu tema tertentu.
”Pemahaman mengenai omnibus law ini harus dijelaskan sehingga publik tidak keliru memahami. Oleh karena itu, pembahasan secara terbuka menjadi keharusan,” katanya, Kamis (6/2/2020), saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut Bayu, selama ini publik bahkan tidak dapat memperoleh draf RUU Cipta Lapangan Kerja yang merupakan satu dari tiga UU di bawah payung omnibus law. Akibatnya, pengetahuan publik mengenai hal ini minim dan simpang siur. Penolakan kelompok buruh atas omnibus law UU Cipta Lapangan Kerja menjadi contoh kecil bagaimana lemahnya sosialisasi dan komunikasi ketentuan tersebut. Pada saat yang sama, publik juga belum banyak tahu omnibus law itu apa sebenarnya.
”Ada kelemahan komunikasi dan minimnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah terkait dengan omnibus law ini. Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, omnibus law sebenarnya ialah bagian dari upaya harmonisasi dan penyederhanaan UU,” kata Bayu.
Ada kelemahan komunikasi dan minimnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah terkait dengan omnibus law ini. Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, omnibus law sebenarnya ialah bagian dari upaya harmonisasi dan penyederhanaan UU.
Sebagai contohnya aturan atau syarat mengenai pendirian bangunan, atau IMB, di Indonesia tidak hanya diatur di dalam satu UU, tetapi juga disebutkan di dalam UU yang lain. Untuk menyelaraskan aturan-aturan yang berserakan itu, dipakailah teknik omnibus law sehingga khusus mengenai syarat pendirian bangunan akan diatur sama dalam satu ketentuan baru itu.
”Selanjutnya, pendirian bangunan akan merujuk pada ketentuan yang diatur di dalam UU baru yang dibentuk dengan teknik omnibus law tersebut tidak lagi merujuk pada berbagai UU lain yang berbeda-beda itu. Di sinilah peran omnibus law dalam menyelaraskan ketentuan yang berserakan dan berbeda-beda itu dirasakan. Harmonisasi antara satu ketentuan dan ketentuan lain akan terjadi karena aturan yang berbeda-beda tadi dicabut dan diatur kembali dalam UU baru yang selaras normanya. Akan tetapi, UU asal tetap berlaku, hanya norma tertentu saja yang terkait itu dicabut,” kata Bayu.
Teknik omnibus law dengan demikian berbeda dengan kodifikasi atau penggabungan UU. ”Sayangnya yang berkembang sekarang ialah kekeliruan pemahaman seolah omnibus law itu menggabungkan berbagai UU dalam satu tema tertentu. Kekeliruan itu terlihat dengan wacana menggabungkan UU Pemilu dan UU lainnya di bidang politik sehingga muncul wacana omnibus law bidang politik. Padahal, ini salah kaprah karena omnibus law tidak menggabungkan satu UU dengan UU lainnya,” kata Bayu.
UU yang dibentuk dengan teknik omnibus law, kata Bayu, kedudukannya sama dengan UU lainnya. UU itu harus merujuk pada konstitusi dan dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan, supaya tidak membingungkan, embel-embel omnibuas law di dalam penamaan suatu UU sebaiknya dihilangkan supaya tidak membingungkan publik.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, omnibus law bisa saja digunakan dalam sistem hukum civil law karena ini merupakan satu metode penyederhanaan dan harmonisasi UU. Contoh paling ekstrem dari omnibus law ini ialah UU Perkapalan di Kanada, tahun 1930-an, yang merevisi UU Perkawinan dan UU Hak Waris di negara itu. Publik di sana mempertanyakan kenapa ketentuan mengenai perkawinan dan hak waris diatur di dalam UU Perkapalan.
”Rupanya saat itu ada persoalan nasional di Kanada lantaran banyak pelaut yang kawin di banyak daerah, sementara ia belum bercerai dari istri sebelumnya. Untuk mengatasi hal itu, daripada merevisi satu per satu UU yang terkait dengan perkawinan, maka dibuatlah UU Perkapalan, yang di dalamnya merevisi ketentuan mengenai perkawinan dan hak waris yang sebelumnya diatur di dalam UU lain. UU sebelumnya soal perkawinan dan hak waris tetap berlaku, tetapi menyangkut pelaut, ketentuan itu dikecualikan,” kata Jimly.
Senada dengan Bayu, menurut Jimly, UU produk omnibus law dengan UU produk pembahasan konvensional tidak ada bedanya. Penyebutan omnibus law di dalam nama UU pun sebaiknya dihilangkan supaya tidak membingungkan publik dan mengaburkan persepsi masyarakat. ”Omnibus law itu hanya perspektif atau metode harmonisasi dan penyederhanaan UU, bukan UU yang banyak itu lalu digabung menjadi satu,” katanya.
Kurang demokratis
Di sisi lain, pembahasan omnibus law juga terkesan tertutup dan kurang demokratis. Hal ini terjadi, menurut Bayu, karena pembahasannya tidak seperti cara penyusunan UU konvensional yang menguliti satu per satu pasal. Hal itu menjadi kekurangan omnibus law. Di negara-negara common law, omnibus law pun tidak digunakan setiap saat karena dinilai kurang deliberatif, kurang partisipatif, dan kurang demokratis.
”Publik menjadi kurang dilibatkan karena karakternya yang mencabut ketentuan dari suatu UU dan mengaturnya kembali atau menyelaraskannya dalam norma baru di ketentuan lain. Namun, praktik seperti itu di Indonesia sebenarnya bisa dihindari,” katanya.
Ketentuan ini tidak dikecualikan untuk UU yang dibuat dengan metode omnibus law. Oleh karena itu, pembahasan omnibus law yang tertutup dapat dinilai sebagai pelanggaran atas UU.
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah mengatur keterbukaan dalam penyusunan UU. Ketentuan ini tidak dikecualikan untuk UU yang dibuat dengan metode omnibus law. Oleh karena itu, pembahasan omnibus law yang tertutup dapat dinilai sebagai pelanggaran atas UU.
Baca Juga: ”Omnibus Law”, Libatkan Semua Pihak agar Beri Kepastian
”UU telah mengatur jelas, naskah akademik atau draf usulan suatu UU itu harus disebarluaskan. Penyebarluasan itu bahkan dilakukan sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan RUU, pembahasan RUU, hingga pengundangannya. Tujuannya ialah memberikan informasi kepada publik dan memperoleh masukan dari masyarakat luas dan pemangku kepentingan,” ujar Bayu.
Pembahasan omnibus law yang tertutup malah berdampak buruk sebab publik rentan keliru memahami substansi UU. Selain itu, kegaduhan akan rentan terjadi, termasuk penolakan terhadap omnibus law. ”Jika pembahasan tertutup, program deregulasi dikhawatirkan sulit tercapai karena minim dukungan dan kepercayaan dari publik,” katanya.