Jadi Tersangka, Joko Hartono Pernah Tawarkan Cara Perbaiki Keuangan Jiwasraya
Kejagung menetapkan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto sebagai tersangka dugaan korupsi di Jiwasraya. Joko menyarankan agar menjual saham-saham PT Maxima Integra Group yang telah dibeli Jiwasraya.
Oleh
Insan alfajri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung menetapkan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto sebagai tersangka dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Joko pernah menemui dua mantan direktur Jiwasraya, yang terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka, untuk menawarkan cara memperbaiki keuangan Jiwasraya yang memburuk.
Joko keluar dari Gedung Bundar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung), Kamis (6/2/2020) pukul 20.43. Mengenakan baju tahanan dengan tangan diborgol, Joko menutup mukanya dengan map biru. Ia tidak menjawab ketika ditanya tentang statusnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono menjelaskan, Joko pernah bertemu mantan Direktur Keuangan dan Investasi Jiwasraya Harry Prasetyo serta mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan pada 2008.
Dalam pertemuan itu, Joko memaparkan tentang cara memperbaiki keuangan Jiwasraya. Joko menyarankan agar menjual saham-saham PT Maxima Integra Group (MIG) yang telah dibeli Jiwasraya.
”Bagaimana caranya menjual dan cara mengalihkan saham dari PT Maxima Integra Group ke reksa dana dan ke bentuk lain itu yang diduga melanggar hukum,” kata Hari.
Bagaimana caranya menjual dan cara mengalihkan saham dari PT Maxima Integra Group ke reksa dana dan ke bentuk lain itu yang diduga melanggar hukum.
Atas perbuatannya itu, penyidik mengenakan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal itu berbunyi, setiap orang yang melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.
Yang bersangkutan juga dikenai denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Joko ditahan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejagung. Dia akan ditahan selama 20 hari ke depan. Selain Joko, Harry Prasetyo, dan Syahmirwan, ada tiga orang lain yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka adalah mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, Direktur Utama PT Hanson Internasional Tbk Benny Tjokro, serta Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat.
Hari melanjutkan, meski sudah mengantongi enam tersangka, penyidik masih menyidik dan menelusuri aset para tersangka. Hari ini, misalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah menerbitkan persetujuan penyitaan terhadap 41 kamar di salah satu apartemen di Kuningan, Jakarta Selatan. Kamar yang disita itu milik Benny.
”Kami mengajukan permohonan penyitaan ke pengadilan setelah penyidik memastikan bahwa aset itu betul-betul milik tersangka,” ujarnya.
Di tengah penyidikan kasus yang belum tuntas, nasabah Jiwasraya juga belum mendapat kepastian kapan uangnya kembali. Mereka batal menyampaikan surat kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pagi ini.
Pertemuan urung terlaksana karena Sri Mulyani mengikuti suatu agenda di luar. Mereka hanya ditemui Kepala Bidang Program dan Administrasi Menteri Kementerian Keuangan Darmawan.
Nasabah tidak bersedia menyerahkan surat melalui Darmawan sebab mereka ragu surat itu akan sampai kepada menteri. Surat itu berisi desakan agar Kementerian Keuangan turut mencarikan solusi pembayaran klaim nasabah (Kompas, 6/2/2020).
Sekretaris Jenderal Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Ahmad Muzani menjelaskan, pengembalian uang nasabah menjadi keniscayaan. ”Secara politik, DPR mendorong hal itu melalui tiga panja (panitia kerja) Jiwasraya yang sudah terbentuk di DPR. Panja Jiwasraya berada di Komisi VI, XI, dan III,” katanya ketika menghadiri perayaan hari ulang tahun ke-12 Gerindra di Jakarta.
Jiwasraya merupakan salah satu perusahaan asuransi jiwa milik negara dengan jumlah nasabah atau pemegang polis sekitar 5,2 juta orang. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jiwasraya merugi sekitar Rp 15,83 triliun pada 2018 dan mengalami ekuitas negatif Rp 27,7 triliun per November 2019.
Hal itu terjadi karena buruknya tata kelola, dugaan korupsi, dan sejumlah kecurangan terkait pengelolaan investasi. BPK menyebut ada kejahatan korporasi di Jiwasraya.
Ketiadaan likuiditas membuat Jiwasraya mengalami gagal bayar klaim nasabah sebesar Rp 12,4 triliun per Desember 2019. Pada 2020, klaim nasabah yang akan jatuh tempo Rp 3,7 triliun. Dengan demikian, total klaim jatuh tempo hingga akhir 2020 mencapai Rp 16,1 triliun.