Untuk Pertama Kali, Ditjen Pajak Jerat Korporasi dengan Pidana Pajak
Pemidanaan pajak terhadap korporasi oleh Kantor Wilayah Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta disambut positif. Hal ini dinilai memberi sinyal positif karena selama ini pidana perpajakan hanya dikenakan pada perorangan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Pajak untuk pertama kalinya mengungkap kasus dugaan pidana perpajakan terhadap korporasi. Pemidanaan PT Gemilang Sukses Garmindo yang diduga menyebabkan potensi kerugian pendapatan negara sekitar Rp 27 miliar, dilakukan sebagai bentuk penjeraan agar perusahaan lain tidak melakukan hal serupa.
PT GSG adalah perusahaan swasta yang bergerak di bidang garmen atau pakaian jadi. Dugaan kecurangan yang dilakukan PT GSG diperoleh dari hasil pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak (WP) yang dideteksi dari sistem pengawasan terintegrasi yang ada di Ditjen Pajak.
Perusahaan tersebut diduga melanggar ketentuan Pasal 39A Huruf a dan/atau Pasal 39 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. PT GSG sengaja menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menggunakan Faktur Pajak TBTS (Tidak Berdasarkan Transaksi Sebenarnya).
Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta di Kejaksaan Tinggi Siswanto, Jakarta, Senin (10/2/2020) menjelaskan, pada 29 Juli 2019 Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari penyidik Ditjen Pajak Jakarta Barat. Adapun bukti berkas perkara diserahkan pada 4 Oktober 2019.
“Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa berkas perkara sudah lengkap pada 30 Oktober 2019. Sebagai tidak lanjutnya, hari ini berkas perkara, tersangka, dan barang bukti diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Barat untuk menangani kasus ini sampai nanti mendapatkan putusan,” ujar Siswanto.
Siswanto mengatakan, PT GSG telah menerbitkan faktur yang tidak ada transaksinya atau TBTS. Tindakan tersebut bertujuan memperoleh keuntungan ekonomi dari hasil restitusi SPT masa PPN. Atas tindakan yang dilakukan PT GSG, maka mereka akan mendapatkan denda. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka aset yang dimiliki perusahaan tersebut akan disita.
Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Barat Erna Sulistyowati mengatakan, pelanggaran yang dilakukan PT GSG berpotensi merugikan negara hingga Rp 27 miliar. “Saat ini yang sudah kami amankan dari restitusi faktur pajak fiktif atau TBTS yang dilakukan PT GSG sebesar Rp 9 miliar,” kata Erna.
Ia menuturkan, bentuk penyidikan perpajakan korporasi ini baru pertama kali dilakukan oleh Ditjen Pajak. Kasus ini diungkap untuk memberikan efek jera pada pengusaha lain agar tidak melakukan hal yang sama.
Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Barat akan bersinergi dengan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya dan Kejasaan Tinggi DKI Jakarta. Mereka akan menegakkan hukum terhadap wajib pajak yang tidak menjalankan kewajiban perpajakannya.
Sementara itu, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan, pengungkapan tindak pidana perpajakan korporasi ini merupakan sinyal yang positif karena selama ini pidana perpajakan hanya dikenakan pada perorangan.
“Ini bagus sehingga tidak terbatas pada orangnya saja karena korporasi juga menjadi subyek pajak,” kata Yustinus.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis tersebutpembuatan faktur fiktif sering dilakukan pengusaha untuk mendapatkan keuntungan. Ketika pelaporan SPT sudah menggunakan sistem elektronik, kebiasaan tersebut mulai berkurang. Agar kebiasaan tersebut tidak dilakukan lagi oleh para pengusaha, kata dia, perlu ada pengawasan yang ketat dan pemberian denda yang berat.
“Kalau bisa seluruh asetnya disita. Sebab kalau dendanya kecil, mereka akan mencari celah di pengadilan. Dari beberapa kasus yang terjadi pada perorangan, mereka akan memilih hukuman penjara karena dinilai lebih murah,” ujar Yustinus.