Imam Nahrawi didakwa menerima suap dan gratifikasi antara tahun 2015 dan 2018 yang, antara lain, digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti merenovasi rumah, tagihan kartu kredit, dan pakaian Imam.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Imam Nahrawi didakwa menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp 8,648 miliar saat menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga pada 2014-2019. Uang diterima berkali-kali antara tahun 2015 dan 2018. Uang tersebut antara lain digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti merenovasi rumah, tagihan kartu kredit, dan pakaian Imam.
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (14/2/2020), Imam diduga menerima hadiah berupa uang sebesar Rp 11,5 miliar bersama Miftahul Ulum, asisten pribadinya.
Uang diberikan oleh Ending Fuad Hamidy, Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), dan Johnny E Awuy selaku Bendahara Umum KONI. Uang tersebut untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah tahun kegiatan 2018 yang diajukan KONI Pusat kepada Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) sebesar Rp 30 miliar.
Bantuan dana hibah untuk tugas pengawasan dan pendampingan Program Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional pada Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018.
Imam juga dijanjikan menerima hadiah guna memuluskan penyaluran bantuan pemerintah kepada KONI Pusat untuk kegiatan pengawasan dan pendampingan dalam rangka peningkatan prestasi olahraga nasional tahun 2018 senilai Rp 17,971 miliar. Namun, uang suap belum sempat diterima karena Ending Fuad Hamidy dan Johnny E Awuy ditangkap KPK.
Keduanya ditangkap saat memberikan fee kepada Mulyana, Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Eko Triyanta, staf Deputi IV Kemenpora.
Selain itu, Imam juga diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 8,648 miliar. Gratifikasi tersebut terdiri dari uang yang diterima dari Ending Fuad Hamidy sebesar Rp 300 juta dan Rp 4,94 miliar sebagai uang tambahan operasional, Rp 2 miliar sebagai pembayaran jasa desain konsultan arsitek Kantor Budipradono, Rp 1 miliar dari anggaran Satlak Prima, serta Rp 400 juta dari KONI Pusat.
Gratifikasi antara lain digunakan untuk membiayai perjalanan Imam ke Melbourne, Australia, pada 17 Maret 2016 sebesar Rp 100 juta. Kemudian, untuk membayar tiket masuk F1 rombongan Kemenpora pada 19-20 Maret 2016 sebesar Rp 75 juta. Selain itu, pada 23 Juni 2016, uang sejumlah Rp 200 juta untuk membayar acara buka puasa bersama di rumah dinas Imam. Ada pula gratifikasi sebesar Rp 106,4 juta untuk pembayaran pakaian Imam pada 20 Mei 2016.
Gratifikasi sebesar Rp 2 miliar juga digunakan untuk merenovasi dan mendesain rumah terdakwa di kawasan Jakarta Timur dan biaya jasa desain arsitektur untuk merombak rumah menjadi asrama untuk santri, pendopo, dan lapangan bulu tangkis di kawasan Jakarta Selatan.
Hal lainnya, gratifikasi beberapa kali digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit Imam. Salah satunya, pada 18 Januari 2016, uang sejumlah Rp 72 juta digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit Imam.
Atas perbuatannya dalam suap, Imam didakwa melanggar Pasal 12 Huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Adapun terkait gratifikasi, Imam didakwa melanggar Pasal 12B Ayat (1) jo UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Seusai pembacaan dakwaan, Imam menyatakan tidak akan mengajukan eksepsi saat menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Rosmina.
Imam pun menyatakan akan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah di persidangan. ”Saya sangat keberatan dengan dakwaan dari jaksa penuntut umum. Nanti akan kami sampaikan dalam pleidoi,” katanya.
Dengan tidak ada eksepsi, sidang selanjutnya sudah masuk agenda pemeriksaan saksi. Sidang berikutnya akan digelar pada 21 Februari 2020.