Nurhadi Masuk DPO, Kuasa Hukum Sebut Bekas Sekretaris MA itu Masih Ada di Jakarta
KPK memasukkan bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dalam daftar pencarian orang (DPO). Nurhadi sudah berkali-kali tidak menghadiri panggilan penyidik KPK untuk menjalani pemeriksaan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah beberapa kali tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi, bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, dimasukkan KPK dalam daftar pencarian orang. Kuasa hukum memastikan Nurhadi yang menjadi tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah terkait pengurusan perkara sekitar 2015-2016 itu masih berada di Jakarta.
Selain Nurhadi, kedua tersangka lainnya yakni menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto. Nurhadi juga masuk DPO.
“Dalam proses DPO ini, KPK telah mengirimkan surat kepada Kepala Polri (ditujukan pada Kepala Badan Reserse Kriminal Polri) tertanggal 11 Februari 2020 untuk meminta bantuan pencarian dan penangkapan terhadap para tersangka tersebut,” kata Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (13/2/2020).
Ali menjelaskan, KPK telah tiga kali memanggil Nurhadi, Rezky, dan Hiendra. Namun, ketiganya tidak hadir memenuhi panggilan tersebut.
Adapun penyidikan perkara ini telah dilakukan sejak 6 Desember 2019. Untuk kepentingan penyidikan, para tersangka sudah dicegah ke luar negeri sejak 12 Desember 2019.
“Kami ingatkan kembali agar para saksi yang dipanggil KPK bersikap koperatif dan pada semua pihak agar tidak coba-coba menghambat kerja penegak hukum,” ujar Ali.
Masih di Jakarta
Kuasa hukum Nurhadi, Maqdir Ismail saat dihubungi memastikan kliennya masih berada di Indonesia, bahkan ada di Jakarta. "Ada di Jakarta. Kalau (menurut saya), KPK sebaiknya mau berbesar hati, ditunggu dulu selesai praperadilan," kata Maqdir.
Pada 21 Januari 2020, Nurhadi sudah mengajukan praperadilan dan telah di tolak oleh Hakim PN Jakarta Selatan. Namun, Maqdir mengatakan Nurhadi sudah kembali mengajukan praperadilan.
Maqdir juga menyampaikan, Rezky sama sekali belum pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari KPK. Adapun Nurhadi baru tahu adanya SPDP yang ditujukan padanya jauh setelah tanggal yang tertera dalam SPDP karena KPK mengirimkannya ke rumah kosong di wilayah Kota Mojokerto, Jawa Timur.
Menurut dia, Rezky dan Nurhadi mengetahui adanya penetapan tersangka (dimulainya penyidikan) terhadap mereka oleh KPK justru dari informasi yang diberikan oleh Handoko Sutjitro yang dipanggil sebagai saksi berdasarkan Surat Panggilan No. 8469/DIK.01.00/ 23/12/2019 tertanggal 10 Desember 2019. Selain itu, juga berdasar informasi dari Hiendra dan konferensi pers yang dilakukan KPK.
“Itu berarti KPK tidak pernah menerbitkan SPDP kepada Rezky dan Nurhadi. Kalaupun KPK mengeluarkan SPDP untuk mereka, itu berarti proses pemberitahuannya telah dilakukan dengan melanggar hukum acara yang berlaku sebagaimana ditentukan dalam Pasal 227 KUHAP,” ujarnya.
Menurut Maqdir, penetapan tersangka terhadap Rezky, Nurhadi, dan Hiendra yang dilakukan langsung setelah adanya LKTPK (Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi) tanpa terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sebagai calon tersangka adalah bertentangan dengan hukum acara. Alhasil, sudah seharusnya penetapan tersangka dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana mengatakan, kegagalan KPK untuk memanggil Nurhadi menunjukkan lemahnya KPK saat ini karena kasus Nurhadi sudah lama. Apalagi, selain Nurhadi, KPK juga belum bisa memeriksa bekas calon anggota legislatif DPR dari PDI Perjuangan Harun Masiku.
“Mengejar Harun yang jelas ada di Indonesia saja kesulitan, apalagi mencari Nurhadi yang keberadaannya belum pasti. Sekarang tersangka tidak takut lagi dengan KPK,” ujar Kurnia.
Menurut Peneliti Hukum Transparency International Indonesia Reza Syawawi, dukungan publik kepada KPK saat ini sedang melemah pascarevisi UU KPK. Alhasil, para pelaku dugaan korupsi berani melakukan perlawanan.