Nurhadi, dari Sekretaris MA hingga Masuk Daftar Pencarian Orang
KPK memasukkan bekas Sekretaris MA Nurhadi dalam daftar pencarian orang. Perjalanan kasus Nurhadi di KPK sudah cukup lama, yakni sejak tahun 2016. Namanya juga sempat lama "tenggelam" dari sorotan publik.
Nama bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi kembali mencuat ke ruang publik setelah dimasukkan dalam daftar pencarian orang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Jauh sebelum disebut-sebut dalam kasus dugaan korupsi di KPK, nama Nurhadi juga pernah mengisi ruang publik lewat peristiwa pembagian cendera mata pernikahan anaknya yang saat itu dianggap mewah.
Nurhadi ditetapkan KPK sebagai tersangka pada 16 Desember 2019 terkait dugaan penerimaan suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar. Kasus tersebut terungkap setelah KPK mengembangkan perkara bekas panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, yang ditangkap April 2016.
Nurhadi melalui menantunya, Rezky Herbiyono, diduga menerima suap Rp 33,1 miliar dari PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) dan gratifikasi sebesar Rp 12,9 miliar untuk mengurus perkara perdata di tingkat pengadilan pertama maupun pengadilan tinggi hingga MA dalam tahun yang berbeda, yakni sekitar 2015-2016 (Kompas, 17/12/2019).
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK sudah memanggil Nurhadi pada 3 dan 27 Januari 2020, tetapi ia tidak datang. Setelah dipanggil sekali lagi dan tidak datang, KPK, Kamis (13/2/2020), mengumumkan bahwa Nurhadi masuk daftar pencarian orang (DPO), bersama Rezky dan Direktur MIT Hiendra Soenjoto.
Akan tetapi, kuasa hukum Nurhadi, Maqdir Ismail, membantah bahwa kliennya tersebut pernah menerima surat panggilan secara langsung. ”Penetapan Pak Nurhadi sebagai DPO itu tindakan yang berlebihan. Tidak sepatutnya seperti itu. Coba tolong pastikan dulu apakah surat panggilan telah diterima secara patut atau belum oleh para tersangka,” kata Maqdir melalui pesan singkat di Jakarta, Jumat (14/2/2020).
Nurhadi pernah mengajukan praperadilan, tetapi ditolak pada 21 Januari 2020. Maqdir pun meminta KPK menunda pemanggilan karena mereka sedang mengajukan kembali permohonan praperadilan. Permohonan penundaan pemanggilan ini sudah disampaikan Maqdir kepada KPK.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Jumat, mengatakan penetapan status DPO terhadap Nurhadi bukanlah sesuatu yang berlebihan. Ia menegaskan, pemanggilan kepada saksi dan tersangka sudah berdasarkan ketentuan.
”Yang jelas, yang bersangkutan sudah kami panggil secara patut. Sebagai saksi tidak hadir. Jadi tersangka, dua kali tidak hadir. Kami datangi ke rumahnya kosong,” ujar Alex.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, KPK melakukan pemanggilan secara paksa kepada Nurhadi sebagai tersangka. Ketika Nurhadi menjadi DPO, KPK sudah mengirim surat kepada Kepala Polri melalui Badan Reserse Kriminal.
Menurut Alex, hal seperti itu sudah pernah dilakukan KPK pada waktu sebelumnya. Ketika KPK mengetahui lokasi tersangka, maka akan langsung dijemput secara paksa. Karena saat ini mereka tidak mengetahui keberadaan Nurhadi, KPK mengeluarkan surat DPO.
Upaya Maqdir untuk memohon praperadilan kembali tidak akan diterima oleh KPK. ”Hakim sudah menetapkan Nurhadi sebagai tersangka, sudah apa lagi?” ujar Alex.
Sorotan publik
Kasus yang diduga melibatkan Nurhadi cukup menjadi sorotan publik karena menjadi salah satu kasus yang ditangani penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Pada April 2017, ia menjadi korban penyiraman air keras.
Baca juga : KPK Bongkar Mafia Hukum
Tim pencari fakta (TPF) kasus Novel yang dibentuk Polri, dalam paparan hasil temuannya, seperti disampaikan anggota tim pakar TPF, Nur Kholis, menemukan kemungkinan penyerangan terhadap Novel didasari kasus yang ditangani dan dialami Novel. Kasus itu adalah korupsi KTP elektronik; korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar; korupsi mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi; korupsi mantan Bupati Buol, Sulawesi Tengah; dan kasus korupsi wisma atlet. Penyerangan terhadap Novel juga diduga terkait dengan keterlibatan Novel dalam kasus penembakan pencuri sarang burung walet di Bengkulu tahun 2004 (Kompas, 18/7/2019).
Nama Nurhadi mulai disebut-sebut dalam penanganan kasus di KPK pada 21 April 2016, berselang sehari setelah penangkapan Edy Nasution. Saat itu, KPK menjelaskan bahwa Edy diduga tak ”bermain” sendiri dalam menerima suap dari Doddy Aryanto Supeno, pihak swasta. KPK juga mencegah Nurhadi bepergian ke luar negeri (Kompas, 22/4/2016).
Pada 20 April, KPK menangkap Edy dan Doddy beserta barang bukti uang Rp 50 juta. Uang itu merupakan bagian dari komitmen suap Rp 500 juta kepada Edy untuk mengamankan permohonan peninjauan kembali kasus sengketa perdata antardua korporasi besar. Doddy merupakan perantara dari salah satu korporasi yang bersengketa.
Dalam arsip berita Kompas (23/4/2016) disebutkan, KPK menengarai Edy tidak hanya menjadi perantara untuk satu kasus itu. Dalam pengusutan kasus ini, KPK juga menggeledah rumah dan ruang kerja Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. Dari rumah Nurhadi, penyidik menyita dokumen serta uang dalam mata uang dollar AS di dalam tiga tas yang jumlahnya masih dihitung. Nurhadi juga dicegah bepergian ke luar negeri. Terkait posisi Nurhadi dalam kasus ini, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, ”Kasusnya masih didalami. Kalian tangkap sinyalnya ketika (seseorang) mulai dicekal itu artinya apa? Sabar. Ini gunung es dalam, dingin, gelap, dan ada ’hiunya’.”
Dalam berita Kompas (27/4/2016), KPK kemudian menjelaskan bahwa uang yang disita dari rumah Nurhadi mencapai miliaran rupiah. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat itu menyampaikan, penyidik KPK belum bisa menyimpulkan apakah uang di rumah Nurhadi terkait satu perkara atau beberapa perkara yang tengah disengketakan di pengadilan. Namun, ia menegaskan, KPK meyakini uang di rumah Nurhadi terkait dengan perkara.
”Belum bisa kami kemukakan peran dia (Nurhadi) karena belum diperiksa. Kami ada keyakinan bahwa uang itu (sitaan dari rumah Nurhadi) ada hubungan dengan perkara. Kalau uang hubungan pengadilan, tidak mungkin tidak berhubungan dengan perkara,” kata Laode.
Sementara itu, seusai menjalani pemeriksaan di KPK, Nurhadi mengakui, uang Rp 1,7 miliar yang disita penyidik KPK merupakan uang pribadinya. Ia membantah uang tersebut terkait dengan suap (Kompas, 16/6/2016).
Sopir Nurhadi
Pada saat proses penyidikan perkara itu, KPK juga memanggil empat anggota Polri yang menjadi pengawal Nurhadi untuk dimintai keterangan. Namun, akhirnya pemeriksaan dilakukan provost Polri di Poso karena empat personel Polri itu ditugaskan ke sana. Selain itu, KPK juga berupaya mencari keberadaan sopir pribadi Nurhadi, yakni Royani. Berkali-kali dipanggil untuk diperiksa, Royani tidak pernah muncul. MA juga sempat menyampaikan tidak tahu di mana Royani berada. Saat itu, Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi mengatakan tidak ada upaya untuk menyembunyikan Royani dari upaya hukum yang tengah dilakukan KPK (Kompas, 16/5/2016).
Nurhadi juga mengaku tak tahu keberadaan Royani. Pada saat mendatangi Gedung KPK untuk diperiksa pada 24 Mei 2016, Nurhadi membantah telah menyembunyikan Royani. Nurhadi mengaku tidak tahu keberadaannya dan mempersilakan wartawan menanyakan ke kantor Royani, dalam hal ini MA. ”Enggak,” ujar Nurhadi, Selasa (24/5), saat dicecar pertanyaan mengenai apakah dirinya menyembunyikan sopir pribadinya itu (Kompas, 25/5/2016).
Pada akhirnya, KPK melanjutkan penanganan kasus itu tanpa mendapat keterangan dari Royani. MA kemudian juga memberhentikan Royani karena tidak masuk kerja tanpa keterangan selama 46 hari. Nurhadi kemudian berhenti sebagai Sekretaris MA setelah mengajukan permohonan pensiun dini pada Juli 2016 (Kompas, 29/7/2016).
Nama Royani sempat intens masuk dalam pemberitaan Kompas dan media lain sepanjang tahun 2016. Nama itu terakhir muncul dalam pemberitaan Kompas (10/11/2016). Saat itu KPK mengaku masih mencari Royani. ”Kami bekerja sama dengan Mabes Polri untuk mencari. Karena masih dalam pencarian, sebaiknya tak banyak dibicarakan. Menurut informasi, (Royani) pindah-pindah tempat, jadi agak susah didapatkan,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.
Setelah itu, pada pemberitaan tahun 2017, 2018, dan 2019, nama Royani tidak pernah muncul kembali.
Cendera mata
Sebelum kasus suap dan gratifikasi ini mencuat, Nurhadi juga pernah menjadi sorotan pada tahun 2014 karena membagikan Ipod seharga Rp 699.000 kepada 2.500 undangan yang hadir dalam pesta pernikahan putrinya, Rizki Aulia Rahmi, dengan Rizky Wibowo di Hotel Mulia, Jakarta, pada 15 Maret.
Mereka menerima undangan sebesar majalah, berbentuk kotak, dan ketika dibuka mirip bingkai foto. Dalam undangan tersebut terdapat kartu seperti kartu ATM dengan barcode yang dapat ditukarkan dengan Ipod Shuffle 2 GB.
Pesta perkawinan tersebut dimeriahkan oleh sejumlah artis papan atas Indonesia, seperti Anggun C Sasmi dan Judika, serta Nina Hasan dan Aminoto Kosin Orchestra. Seluruh langit-langit gedung didekorasi seperti hutan anggrek dan mawar.
Pemberian Ipod tersebut bertentangan dengan aturan yang melarang hakim menerima hadiah dengan nilai lebih dari Rp 500.000. Hal itu sudah diatur MA sejak 2007 dan terdapat dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Namun, saat itu, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali meminta agar masalah suvenir resepsi pernikahan anak Nurhadi berupa Ipod Shuffle tak lagi dibesar-besarkan. Hatta berharap polemik terkait masalah ini segera dihentikan.
Hatta mengatakan, Ipod tersebut dipesan oleh besan Nurhadi dari luar negeri. Bukti pemesanannya, lanjutnya, sudah ada sejak tahun 2013. Saat ditanyakan apakah Ipod itu perlu dikembalikan atau tidak, Hatta tak menjawab secara gamblang. Dia hanya menyebut bahwa harga Ipod itu di bawah Rp 500.000 (Kompas.com, 20/3/2014).
Selama menjabat Sekretaris MA pada 2011-2016, Nurhadi juga pernah mendapat sorotan karena MA merenovasi ruangan kerja dengan biaya Rp 10,24 miliar pada 2012. Jumlah tersebut sama artinya dengan setengah dari biaya renovasi ruangan kerja Badan Anggaran DPR yang mencapai Rp 20,3 miliar. Saat itu, Nurhadi mengatakan, perbaikan ruangan MA itu merupakan kebutuhan riil dan mendesak (Kompas, 19/1/2012).
Lantas bagaimana akhir dari perjalanan kasus Nurhadi di KPK? Kita tunggu saja....