Tak cukup memburu para buronan, kemampuan kejaksaan membongkar kasus besar, seperti kasus Jiwasraya, ditunggu publik. Di sisi lain, kerja kejaksaan memburu para buronan diharapkan mendorong KPK melakukan hal yang sama.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerja kejaksaan yang aktif memburu buronan koruptor dinilai dapat memulihkan kepercayaan publik pada lembaga tersebut. Namun tak cukup hanya itu, kejaksaan diharapkan dapat membongkar kasus-kasus korupsi besar yang ditanganinya, salah satunya kasus dugaan korupsi di Jiwasraya.
Selain itu, kerja jajaran kejaksaan yang aktif memburu buronan koruptor diharapkan memacu kerja instansi penegak hukum lainnya, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, belakangan lembaga antirasuah tersebut seperti tak berdaya saat mengejar buronan mereka.
Demikian disampaikan pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir, saat dihubungi, Rabu (19/2/2020).
Berdasarkan data dari Kejaksaan Agung, pada periode 2018-2019, sebanyak 371 buronan pelaku kejahatan, termasuk korupsi, yang ditangkap kejaksaan. Jumlah itu terdiri dari penangkapan 207 buronan kejahatan di tahun 2018 dan 164 buronan kejahatan di tahun 2019. Pada Senin (17/2/2020) dan Selasa (18/2/2020), kejaksaan kembali menangkap dua buronan koruptor. Dengan demikian, di awal 2020, total ada enam buronan koruptor yang ditangkap kejaksaan.
”Ini momen yang tepat untuk memperlihatkan kinerja kejaksaan ke publik,” kata Mudzakkir.
Namun, kejaksaan diharapkan tidak buru-buru berpuas diri dengan penangkapan buronan tersebut. Untuk lebih menguatkan kepercayaan publik, kejaksaan diharapkan bisa menuntaskan pengusutan kasus-kasus besar, seperti salah satunya yang kini sedang ditangani, kasus dugaan korupsi Jiwasraya.
”Ini (kasus Jiwasraya) harus diungkap sampai tuntas,” katanya.
Selain itu, Mudzakkir berharap gerak kejaksaan memburu koruptor bisa mendorong KPK melakukan hal yang sama. Belakangan taji KPK dipertanyakan publik karena ketidakmampuan lembaga itu menangkap buronan yang kasusnya menyita perhatian publik.
Buronan dimaksud adalah Harun Masiku. Tersangka pemberi suap pada bekas komisioner KPU, Wahyu Setiawan, ini dimasukkan KPK dalam DPO sejak 27 Januari 2020. Bekas calon anggota legislatif PDI-P di Pemilu 2019 itu lepas dari jerat operasi tangkap tangan KPK pada awal Januari 2020.
Buronan lainnya, bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi bersama dua lainnya, yaitu Rezky Herbiono yang merupakan menantu Nurhadi, serta Hiendra Soenjoto, yang dimasukkan dalam DPO oleh KPK sejak 11 Februari 2020. Ketiganya menjadi tersangka dalam kasus pengaturan perkara di Mahkamah Agung pada 2016.
Dalam kasus buronan Nurhadi ini, aktivis hak asasi manusia Haris Azhar memberi informasi kepada KPK bahwa Nurhadi sebenarnya tidak sembunyi. Dia selama ini berada di tempat tinggalnya di sebuah apartemen di wilayah Jakarta Selatan. Oleh karena itu, dia heran jika KPK tak mampu menangkapnya. Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan akan mendalami informasi dari Haris tersebut.
Terkait penangkapan buronan koruptor oleh kejaksaan, Senin (17/2/2020), Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono dalam siaran pers yang diterima Kompas, Rabu, mengatakan, buronan bernama Johanes Lukman Lukito ditangkap di salah satu mal di Jakarta Utara. Lukman merupakan terpidana kasus korupsi proyek pembangunan Nias Waterpark.
Johanes ditangkap oleh Tim Tangkap Buron (Tabur) Kejaksaan Negeri Nias Selatan dan Tim Jaksa Eksekutor Pidsus Kejari Nias Selatan. Johanes yang termasuk dalam DPO Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara ditangkap ketika sedang bersama penasihat hukumnya.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 593 K/Pid.Sus/2019 tanggal 21 Mei 2019, Johanes diputuskan bersalah karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Nias Waterpark di Kabupaten Nias Selatan tahun anggaran 2015. Johanes dipidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta atau apabila denda tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 4 bulan.
Ditetapkan target bagi setiap Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia yaitu minimal satu kegiatan pengamanan terhadap buronan kejahatan untuk setiap triwulan.
Selain itu, Johanes dihukum untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 7.890.698.714 yang dikompensasi atau dibayar terdakwa Rp 4.500.000.000. Jika sisa uang pengganti sebesar Rp 3.390.698.714 tidak dibayar dalam waktu satu bulan, maka harta benda disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Apabila harta benda terdakwa tidak cukup, maka akan dipidana penjara 4 tahun.
Untuk kasus tersebut, Johanes dipidana bersama Yulius Dakhi, Direktur PT Bumi Nisel Cerlang, yang sudah menjalani hukuman terlebih dahulu. PT Bumi Nisel Cerlang adalah badan usaha milik daerah (BUMD) di Kabupaten Nias Selatan.
Setelah ditangkap tim kejaksaan, sekitar pukul 17.00, terpidana dibawa ke Medan dan langsung dibawa ke Lapas Tanjung Gusta untuk menjalani hukuman sesuai putusan MA.
Sementara pada Selasa (18/2/2020), buronan Wakil Bupati Sarmi Yosina Troce Insyaf ditangkap tim Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri Jayapura di Jakarta Selatan. Yosina adalah terpidana kasus korupsi pelaksanaan kegiatan pembangunan bendungan irigasi di Kabupaten Sarmi, Papua.
Hari Setiyono menyatakan, penangkapan para buronan pelaku kejahatan melalui program tangkap buron akan terus dilakukan.
“Ditetapkan target bagi setiap Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia yaitu minimal satu kegiatan pengamanan terhadap buronan kejahatan untuk setiap triwulan,” kata Hari.