Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diharapkan tidak lagi terlibat tindak pidana korupsi. Sejak 2004 hingga 2019, anggota DPR dan DPRD menjadi pelaku tindak pidana korupsi terbanyak kedua setelah swasta.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diharapkan tidak lagi terlibat tindak pidana korupsi. Sejak 2004 hingga 2019, anggota DPR dan DPRD menjadi pelaku tindak pidana korupsi terbanyak kedua setelah swasta.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, anggota DPR dan DPRD merupakan pelaku terbanyak kedua setelah swasta. Sejak 2004 hingga Juni 2019, sebanyak 255 anggota DPR dan DPRD terlibat tindak pidana korupsi. Adapun pelaku korupsi dari swasta tercatat 266 orang.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan, korupsi hampir terjadi di seluruh Indonesia. ”Sebanyak 25 dari 34 provinsi terjadi kasus korupsi pada 2004-2019 dan 22 di antaranya kepala daerah,” kata Nawawi dalam Silaturahmi Nasional yang diselenggarakan Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi) di Jakarta, Senin (24/2/2020).
Sebanyak 25 dari 34 provinsi terjadi kasus korupsi pada 2004-2019 dan 22 di antaranya kepala daerah.
Ia menjelaskan, korupsi yang terjadi pada kepala daerah pada umumnya melibatkan anggota DPRD. Hal tersebut terjadi karena ada persekongkolan antarpejabat pemerintah daerah di DPRD.
Nawawi berharap praktik korupsi di kalangan pejabat daerah dapat dikurangi. Karena itu, upaya pencegahan terus dilakukan KPK. Meskipun demikian, KPK tetap menindak ketika ada korupsi. Salah satu upaya pencegahan agar pejabat daerah tidak melakukan korupsi adalah kewajiban membuat laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Dalam undang-undang dan peraturan itu disebutkan penyelenggara negara harus bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan sesudah menjabat. Mereka wajib melaporkan harta kekayaannya pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi, dan pensiun. Selain itu, mereka wajib mengumumkan harta kekayaannya.
Alat jual beli politik
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pada masa Orde Baru, DPRD menjadi alat jual beli politik karena kepala daerah dipilih oleh DPRD. ”Saat itu DPRD adalah legislatif daerah yang posisinya sejajar dengan kepala daerah. Alhasil, setiap pemilihan daerah muncul politik uang,” ujar Mahfud.
Setelah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 lahir, DPRD tidak lagi dapat memilih kepala daerah karena pemilihan dilakukan secara langsung. Namun, korupsi tetap saja terjadi karena politik uang beralih ke pimpinan partai.
Ketua Komisi III DPR Herman Herry mengatakan, persoalan korupsi sering terjadi di daerah karena adanya ketimpangan persepsi dan pembagian tugas. ”Ketika DPRD tidak cocok dengan kepala daerah, akan muncul korupsi,” ujar Herman.
Ketika DPRD tidak cocok dengan kepala daerah, akan muncul korupsi.
Ia menjelaskan, korupsi tersebut muncul ketika terjadi gesekan antara DPRD dan kepala daerah. Gesekan terjadi karena mereka berbeda partai politik dan kepentingan suatu kelompok.
Ketua Umum Adkasi Lukman Said mengatakan, kualitas DPRD pascareformasi mulai menurun. Hal tersebut terlihat dari banyaknya anggota DPRD yang tertangkap dalam operasi tangkap tangan oleh KPK. Menurut Lukman, korupsi tersebut terjadi karena biaya politik yang tinggi.
Peneliti Transparency International Indonesia, Agus Sarwono, menjelaskan, biaya politik mahal menjadi salah satu penyebab politisi melakukan korupsi. Selain itu, politisi ingin menguasai aset negara dengan meloloskan beberapa proyek agar mendapatkan sumber daya publik atau anggaran untuk kepentingan kelompoknya.
”Jika integritas partai politik tidak dibenahi, sangat mungkin kasus korupsi akan terus terjadi. Sudah banyak kasus yang melibatkan anggota DPR dan DPRD,” ujar Agus.
Menurut Agus, upaya pencegahan korupsi pada anggota DPR dan DPRD adalah dengan memperkuat integritas partai politik dengan cara membuka akses dana kampanye yang bersumber dari kelompok dan perseorangan. Selain itu, perlu adanya deklarasi konflik kepentingan dan perekrutan calon anggota partai politik secara terbuka.
KPK sesungguhnya sudah memiliki Sistem Integritas Partai Politik untuk mencegah korupsi di kalangan politikus. ”Seharusnya semua partai menjalankan hasil rekomendasi KPK. Pertanyaannya, apakah semua partai menjalankan?” tutur Agus.