Saeful Didakwa Membantu Harun Masiku Menyuap Komisioner KPU
Kader PDI-P, Saeful Bahri, didakwa menyuap anggota KPU, Wahyu Setiawan, ketika masih menjabat. Ia melakukan tindakan tersebut bersama-sama dengan Harun Masiku, politisi PDI-P.
JAKARTA, KOMPAS — Sidang perdana kasus dugaan suap yang dilakukan oleh politikus PDI-P, Harun Masiku, terhadap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, digelar melalui telekonferensi pada Kamis (2/4/2020). Kali ini, duduk sebagai terdakwa adalah kader PDI-P, Saeful Bahri, yang bersama-sama Harun Masiku diduga menyuap Wahyu senilai 19.000 dollar Singapura dan 38.350 dollar Singapura melalui Agustiani Tio Fridelina.
Sidang dilakukan secara daring dengan terdakwa Saeful berada di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sementara majelis hakim yang dipimpin oleh Panji Surono, tim penasihat hukum dan tim jaksa Ronald Ferdinand Worotikan dan Takdir Suhan berada di ruang persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Ronald mengatakan, Saeful dan Harun Masiku yang masih jadi buron saat ini memberikan uang secara bertahap kepada Wahyu melalui orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fridelina, pada 17 Desember 2019 dan 26 Desember 2019.
”Pemberian uang tersebut dilakukan supaya Wahyu mengupayakan KPU menyetujui permohonan penggantian antarwaktu (PAW) Partai PDI-P dari Riezky Aprilia sebagai anggota DPR Daerah Pemilihan Sumatera Selatan 1 kepada Harun,” kata Ronald.
Kasus ini bermula ketika pada 11 April 2019, Dewan Pimpinan Pusat PDI-P memberitahukan kepada KPU bahwa Nazarudin Kiemas yang merupakan calon anggota legislatif DPR dari PDI-P Dapil Sumatera Selatan I meninggal pada 26 Maret 2019. Pada 15 April 2019, KPU mencoret Nazarudin dari daftar calon tetap (DCT). Namun, nama Nazarudin ternyata masih tetap tercantum dalam surat suara pemilu.
Pada Juli 2019, dilaksanakan rapat pleno DPP PDI-P yang memutuskan Harun ditetapkan caleg pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazarudin, yakni 34.276 suara. Adapun Harun hanya memperoleh 5.878 suara.
Baca juga: Ketua KPU: KPU Sangat Kooperatif dalam Kasus Wahyu Setiawan
Atas keputusan rapat pleno tersebut, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto meminta penasihat hukum PDI-P, Donny Tri Istiqomah, untuk mengajukan surat permohonan ke KPU. Setelah mengetahui hal tersebut, Harun bertemu dengan Saeful dan meminta tolong agar dirinya dapat menggantikan Riezky dengan cara apa pun. Permintaan ini disanggupi oleh Saeful.
Pada 5 Agustus 2019, DPP PDI-P mengirimkan surat kepada KPU tentang Permohonan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung yang isinya meminta agar suara Nazarudin dialihkan kepada Harun.
Selanjutnya, Harun datang ke kantor KPU untuk menemui Ketua KPU Arief Budiman. Harun meminta agar Arief mengabulkan surat permohonan tersebut. Namun, pada 26 Agustus 2019, KPU mengirimkan surat yang menyatakan tidak dapat mengakomodasi permohonan DPP PDI-P karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Karena tidak dikabulkan, pada September 2019, Saeful menghubungi Agustiani untuk menyampaikan kepada Wahyu agar mengupayakan persetujuan dari KPU terkait penggantian dari Riezky kepada Harun.
Setelah Agustiani menyampaikan hal tersebut kepada Wahyu, pada 24 September 2019, Saeful mengirimkan surat permohonan DPP PDI-P kepada Agustiani melalui Whatsapp. Setelah menerima pesan tersebut, Wahyu membalas dengan isi pesan ”Siap, mainkan”.
Pada 27 September 2019, KPU menerima tembusan surat DPP PDI-P yang isinya meminta fatwa kepada MA agar KPU bersedia melaksanakan permintaan DPP PDI-P. Pada 1 Oktober 2019 dilakukan pelantikan terhadap seluruh calon anggota DPR terpilih, termasuk Riezky.
Pada 5 Desember 2019, Saeful meminta Agustiani menanyakan kepada Wahyu mengenai besaran uang operasional yang diperlukan agar KPU menyetujui permohonan penggantian dari Riezky kepada Harun. Saeful menawarkan Rp 750 juta. Namun, Wahyu meminta Rp 1 miliar. Agustiani pun mengirimkan draft surat DPP PDI-P perihal permohonan pelaksanaan fatwa MA kepada Wahyu dan Wahyu pun akan mengupayakan secara optimal.
Atas permintaan uang dari Wahyu, pada 13 Desember 2019, Saeful dan Donny melaporkan hal tersebut kepada Harun di sebuah restoran. Atas usulan dari Saeful, disepakati untuk pengurusan di KPU melalui Wahyu diperlukan biaya operasional sebesar Rp 1,5 miliar. Beberapa hari kemudian, Harun menyatakan telah siap untuk menyerahkan uang sejumlah Rp 1,5 miliar sekaligus mengatakan kepada Saeful dengan kalimat ”awal Januari saya dilantik!”.
Pada 17 Desember 2019, Saeful mengirimkan surat permohonan pelaksanaan fatwa MA dengan lampiran fatwa MA yang memohon kepada KPU untuk melaksanakan PAW dari Riezky kepada Harun. Surat tersebut diserahkan kepada staf KPU, Retno Wahyudiarti, sesuai arahan Wahyu.
Pada hari yang sama, Harun memberikan uang kepada Saeful sebesar Rp 400 juta untuk diserahkan kepada Wahyu. Selanjutnya Saeful melalui Ilham Yulianto menukar uang sejumlah Rp 200 juta ke dalam pecahan mata uang dollar Singapura yang nilainya setara dengan 20.000 dollar Singapura untuk diberikan kepada Wahyu sebagai uang muka yang diserahkan melalui Agustiani. Sisa uang dari Harun dibagi rata untuk Saeful dan Donny masing-masing Rp 100 juta.
Dalam sebuah pertemuan di restoran wilayah Jakarta Selatan, Agustiani menyerahkan uang sebesar 19.000 dollar Singapura kepada Wahyu, tetapi Wahyu hanya mengambil 15.000 dollar Singapura dan sisanya untuk Agustiani.
Pada 26 Desember 2019, Harun kembali menghubungi Saeful untuk mengambil Rp 850 juta dari Patrick Gerard Masoko. Uang tersebut dibagi-bagi Saeful, masing-masing sejumlah Rp 230 juta untuk operasional Saeful, Rp 170 juta untuk Donny, Rp 50 juta untuk Agustiani, dan sisanya sejumlah Rp 400 juta ditukar oleh Saeful dengan mata uang dollar Singapura sejumlah 38.350 dollar Singapura.
Uang 38.350 dollar Singapura tersebut diberikan kepada Agustiani untuk diserahkan kepada Wahyu sebagai DP operasional kedua. Namun, Wahyu meminta agar uang tersebut disimpan terlebih dahulu oleh Agustiani.
Setelah Wahyu menerima uang dari Saeful, ia menerbitkan keputusan KPU terkait hasil pemilu dan menyampaikan kepada anggota KPU lainnya agar surat permohonan dari DPP PDI-P segera ditindaklanjuti dengan alasan ”di luar sudah ramai”.
Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, bertemu dengan Wahyu dan membahas prosedur PAW dari Riezky untuk digantikan Harun. Karena Riezky telah dilantik sebagai anggota DPR, mekanis penggantiannya harus melalui PAW yang diajukan oleh pimpinan DPR RI kepada KPU dan bukan diajukan oleh DPP PDI-P.
Tanggal 7 Januari 2020, KPU mengirimkan surat kepada DPP PDI-P bahwa mereka tidak dapat memenuhi permohonan PAW atas nama Riezky kepada Harun karena tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
’Pada 8 Januari 2020, Wahyu meminta Agustiani agar mentransfer sebagian uang yang diterima dari Saeful sejumlah Rp 50 juta ke rekeningnya. Namun, sebelum Agustiani mentransfer uang tersebut, Agustiani dan Wahyu ditangkap oleh petugas KPK dengan menyita uang sejumlah 38.350 dollar Singapura dari Agustiani,” kata Ronald.
Ronald mengatakan, perbuatan Saeful merupakan tindak pidana korupsi yang diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Melalui pesan singkat Takdir mengatakan, sidang dilanjutkan pada Kamis (9/4/2020) dengan agenda pemeriksaan terhadap para saksi.
Dihubungi secara terpisah, penasihat hukum Saeful, Simeon Petrus, mengaku, dakwaan yang dibacakan jaksa masih jauh dari fakta yang sebenarnya. ”Ada peristiwa hukum yang tidak diuraikan seperti Wahyu dari awal tidak mengupayakan apa yang diminta oleh terdakwa,” kata Petrus.
Selain itu, Petrus mengatakan, tidak diuraikan juga bahwa KPU telah memutuskan untuk menolak permohonan PAW pada 6 Januari 2020 dan surat penolakan telah dikirim kepada PDI-P pada 7 Januari. Namun, pada 8 Januari, Wahyu masih meminta uang kepada Agustiani.
Meskipun demikian, ia tidak melakukan upaya eksepsi, tetapi langsung pada pemeriksaan saksi. Ia akan membuktikan bahwa ada pejabat negara yang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya telah menggunakan jabatannya untuk melakukan pemerasan serta penipuan.
Ia tidak menggunakan upaya eksepsi karena hanya bersifat sementara. Selain itu, upaya tersebut akan memberi waktu dan kesempatan kepada jaksa untuk memperbaiki surat dakwaan.