RUU Pemasyarakatan yang akan dibawa ke sidang paripurna DPR dinilai belum membatasi pelaku tindak pidana korupsi mendapatkan pembebasan dan remisi. Hal itu dikhawatirkan memudahkan koruptor dapat kebebasan dan remisi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan yang akan dibawa ke pembahasan tingkat II oleh DPR dinilai belum ada pembatasan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Hal itu akan memudahkan para koruptor mendapatkan remisi. Dengan demikian, mereka dapat cepat bebas dari lembaga pemasyarakatan.
Dalam seminar nasional yang diselenggarakan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) melalui telekonferensi, Selasa (7/4/2020), di Jakarta, akademisi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Trisno Raharjo, mengatakan, dalam pembahasan RUU Pemasyarakatan seharusnya ada pembatasan yang tegas terhadap para pelaku tindak pidana korupsi yang telah dipidana jika akan dibebaskan.
”RUU Pemasyarakatan tidak mengakomodasi pelepasan bersyarat khusus untuk tindak pidana yang masuk kategori luar biasa, yaitu pelanggaran HAM, korupsi, terorisme, transnasional, dan narkotika,” kata Trisno dalam seminar bertajuk ”Tepatkah Kebijakan Pelepasan Napi Korupsi di Tengah Covid-19?” tersebut.
RUU Pemasyarakatan tidak mengakomodasi pelepasan bersyarat khusus untuk tindak pidana yang masuk kategori luar biasa, yaitu pelanggaran HAM, korupsi, terorisme, transnasional, dan narkotika.
Ia menegaskan, pengetatan remisi bagi narapidana korupsi bukan merupakan pelanggaran HAM. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari nilai atau bobot kejahatan korupsi yang memiliki dampak luar biasa terhadap suatu bangsa dan negara.
Trisno pun mengutip pernyataan Mahfud MD saat masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2008-2013. Pada 3 November 2011, saat itu, Mahfud mengatakan, para koruptor memang harus dihukum berat karena koruptor telah merusak masa depan bangsa dan tega memiskinkan jutaan rakyat.
Sebagaimana diatur dalam draf RUU Pemasyarakatan, pasal yang menjadi sorotan publik adalah pemberian pembebasan bersyarat dan remisi terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, di antaranya kasus korupsi dan terorisme. Dalam RUU, pemberian remisi atau pembebasan bersyarat untuk napi korupsi atau terorisme hanya bisa diberikan atau dibatasi oleh dua hal, yakni mengacu pada undang-undang dan putusan pengadilan.
Selama ini, pemberian remisi atau pembebasan bersyarat mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.
PP No 99/2012 ini dianggap memberatkan karena mereka harus bersedia menjadi justice collaborator serta harus mendapatkan rekomendasi dari lembaga terkait, seperti KPK, kepolisian, kejaksaan, BNN, dan BNPT. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, seperti pernah diberitakan, menyatakan, remisi atau bebas bersyarat adalah hak yang didapat seorang terpidana. Namun, pembebasannya memang harus dibatasi melalui persetujuan pengadilan dan mengacu pada undang-undang yang berlaku.
Kritik Menkunham
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, ICW sering mengkritik Menteri Hukum dan HAM yang atas desakan DPR berulang kali diduga ingin merevisi PP No 99/2012. Ketika cara tersebut gagal, dicarilah cara lain untuk pemberian remisi hak bebas bersyarat bagi napi koruptor, yakni dengan RUU Pemasyarakatan.
Dulu sempat berhenti revisi KUHP dan revisi UU Pemasyarakatan. Namun, kalau kita baca risalah rapat paripurna, (mereka) akan melanjutkan pembahasan. Ini penting diwaspadai.
Menurut Donal, hal tersebut cenderung tidak mendapatkan atensi. ”Dulu sempat berhenti revisi KUHP dan revisi UU Pemasyarakatan. Namun, kalau kita baca risalah rapat paripurna, (mereka) akan melanjutkan pembahasan. Ini penting diwaspadai,” tuturnya.
Secara terpisah, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia M Isnur mengatakan, jika RUU Pemasyarakatan masih membuka peluang koruptor untuk mendapatkan remisi, hal tersebut menjadi jalan lain untuk menghilangkan PP No 99/2012.
Cara tersebut digunakan untuk menghilangkan syarat khusus remisi bagi koruptor dan mereka pun cepat bebas dari lembaga pemasyarakatan. Isnur menjelaskan, hal tersebut terjadi karena PP itu mengikuti UU. Jika UU Pemasyarakatan berubah, peluang koruptor memperoleh remisi akan semakin terbuka.