Kasus Dugaan Korupsi Hibah Rp 200 Miliar Kota Manado Dilimpahkan ke Jaksa
Kasus bermula dari penyalahgunaan dana hibah pemerintah pusat sebesar Rp 200 miliar untuk rekonstruksi dan rehabilitasi pemukiman yang rusak akibat bencana banjir di Kota Manado tahun 2014.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berkas penyidikan dugaan perkara tindak pidana korupsi dana hibah penanggulangan banjir di Kota Manado tahun anggaran 2014 kini tengah diteliti secara intensif oleh tim jaksa. Terdapat empat tersangka yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Hari Setiyono, Rabu (8/4/2020), dalam keterangan tertulisnya, mengatakan, berkas penyidikan kasus dugaan perkara tindak pidana korupsi dana hibah penanggulangan banjir di Kota Manado telah dilimpahkan kepada penyidik pada Selasa (7/4) kemarin.
”Sekarang tengah diteliti secara maraton oleh jaksa peneliti agar dapat segera menentukan sikap, apakah sudah lengkap atau belum lengkap, kemudian perlu dilakukan tindakan hukum dan atau pemeriksaan tambahan lainnya,” kata Hari.
Kasus tersebut bermula dari penyalahgunaan dana hibah pemerintah pusat sebesar Rp 200 miliar untuk rekonstruksi dan rehabilitasi pemukiman yang rusak akibat bencana banjir di Kota Manado tahun 2014. Kemudian dana hibah tersebut dimasukkan dalam Anggaran Pemerintah Kota Menado pada tahun 2015.
Namun, dari rencana awal penggunaan anggaran untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pemukiman yang rusak untuk 2.000 unit rumah, pada kenyataannya hanya dilaksanakan untuk 1.000 unit rumah. Karena itulah diduga terjadi penyelewengan dana hibah yang bergulir menjadi kasus dugaan pidana korupsi.
Kemudian, penyidikan oleh Kejaksaan dilakukan sejak 4 Desember 2018 dan menetapkan empat tersangka pada Januari 2019. Saat ini, keempat tersangka telah ditahan sejak 6 Januari 2020, yakni Maxmilian Julius Tatahede dan Fence Salindeho yang keduanya adalah aparatur sipil negara (ASN) Pemerintah Kota Manado. Dua lainnya adalah Yenni Siti Rostaini dan Agus Yogo Handoto.
Secara terpisah, pengajar hukum dari Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, berharap agar kasus yang ditangani Kejaksaan dilakukan secara profesional, konsisten, dan transparan. Kejaksaan mesti memperlihatkan bahwa proses hukum, terutama penuntutan yang dilakukan jaksa, memang berdasarkan logika hukum yang masuk akal.
”Banyak persoalan yang berkembang di tengah masyarakat, misalnya, tentang lama tuntutan, mengapa berat atau mengapa ringan. Ini yang sering kali tampak tidak konsisten. Maka, Kejaksaan harus transparan sehingga ada pedoman terukur,” kata Agustinus.