Dugaan konflik kepentingan yang disematkan kepada dua staf khusus Presiden mengingatkan semua pihak akan pentingnya etika pejabat publik. Sebagian pihak berharap ada langkah tegas dari Presiden terkait dengan hal itu.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kematangan seseorang untuk menjadi pejabat publik sangat dibutuhkan. Suatu jabatan di pemerintahan diberikan bukan agar pejabat tersebut belajar atau diberikan sebagai hadiah politik. Namun, jabatan itu sesungguhnya merupakan sarana untuk melayani rakyat dan memajukan bangsa.
Hal ini merupakan refleksi dari peristiwa terakhir yang terkait dengan dua staf khusus Presiden dari kalangan milenial, Andi Taufan Garuda Putra dan Adamas Belva Syah Devara. Andi dituding menyalahgunakan jabatannya dengan mengirimkan surat berkop Sekretariat Kabinet kepada camat seluruh Indonesia agar mereka mendukung edukasi dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri (APD) demi melawan Covid-19 yang dilakukan perusahaan pribadi Andi. Sementara Belva disoroti sebagian kalangan karena penunjukan perusahaan miliknya untuk menjadi salah satu mitra pelatihan daring beranggaran Rp 5,6 triliun, dari total anggaran Rp 20 triliun, dalam program Kartu Prakerja. Andi sudah meminta maaf dan mencabut surat tersebut, sementara Belva membantah keterlibatan perusahaan miliknya sesuai prosedur dan dirinya tak terkait dengan hal itu (Kompas, 16/4/2020).
Pembina Yayasan Pendidikan Madania Indonesia Komaruddin Hidayat mengungkapkan kekecewaannya dengan adanya kasus tersebut. ”Yang perlu kita sadari bersama, agenda dan tujuan mulia reformasi belum tercapai, bahkan dalam berbagai aspek menjauh dari yang diharapkan,” kata Komaruddin melalui pesan singkat, Kamis (16/4/2020), yang diterima di Jakarta.
Ia mengatakan, banyak putra bangsa terbaik dari kalangan ilmuwan teknokrat tergusur oleh politisi karbitan. Suasana ini menjadi semakin runyam dengan datangnya pandemi Covid-19 yang menyerang semua strata sosial. Ketika negara dan rakyat dalam kondisi krisis, kapasitas para elite pemimpin serta politisi dapat terlihat.
”Satu catatan penting untuk melangkah ke depan, agenda pilkada dan pemilu jangan dibayangkan untuk berbagi jabatan serta fasilitas, tetapi untuk mencari pemimpin teknokrat negarawan untuk memajukan bangsa,” ujarnya.
Satu catatan penting untuk melangkah ke depan, agenda pilkada dan pemilu jangan dibayangkan untuk berbagi jabatan serta fasilitas, melainkan untuk mencari pemimpin teknokrat negarawan untuk memajukan bangsa.
Ia menegaskan, jabatan kursi pemerintahan bukan untuk belajar atau sebagai hadiah jasa politik. Namun, sungguh-sungguh untuk melayani rakyat dan memajukan bangsa.
Di sisi lain, masyarakat semakin kritis dan pengguna media sosial juga lebih lugas serta berani dibandingkan dengan DPR dalam melontarkan kritik. Ada juga kritik dari mantan menteri dan aktivis politik yang kualitas serta pengalamannya lebih kaya dibandingkan para pemain baru yang masih yunior. Karena itu, siapa pun yang menjadi pejabat harus bekerja dengan benar dan siap dikritik.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menyarankan agar sebaiknya Presiden Joko Widodo menghentikan mereka.
”Masing-masing dari mereka dalam berbagai pernyataan cenderung mengelak dan defensif untuk bertahan sebagai staf khusus,” kata Azyumardi.
Presiden Jokowi, tambahnya, harus memberi contoh bahwa penyalahgunaan wewenang atau berbagai bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) lainnya tidak bisa ditolerir. Apalagi, di masa susah seperti saat ini karena adanya pandemi Covid-19.
Presiden Jokowi harus memberi contoh bahwa penyalahgunaan wewenang atau berbagai bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) lainnya tidak bisa ditolerir. Apalagi, di masa susah seperti saat ini karena adanya pandemi Covid-19.
Etika pejabat publik
Wakil Ketua MPR dan anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, menyarankan agar para generasi muda yang menjadi pejabat publik perlu belajar tentang kode etik dan apa yang dimaksud sebagai situasi ketika ada benturan kepentingan.
”Yang paling gampang dapat belajar dari negara-negara maju yang pada umumnya memiliki aturan dan skema perilaku yang dimuat dalam aturan kode etik dan konflik kepentingan,” kata Arsul.
Ia mengungkapkan, di Indonesia, kedua aturan tersebut belum dibakukan pada sektor pemerintahan karena Indonesia belum memiliki Undang-Undang Etika Penyelenggara Negera. Adapun di sektor swasta sudah ada aturannya, tetapi masih terbatas di perusahaan-perusahaan yang mempunyai tata kelola perusahaan yang baik.
Jika melihat di Amerika Serikat, mereka memiliki Sarbanes Oxley Act dan Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) yang merupakan UU tentang praktik korupsi di luar negeri. Alhasil, siapa pun yang menjadi pejabat publik ataupun sektor privat akan menghindari perilaku yang dapat dimaknai sebagai praktik koruptif dan benturan kepentingan.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengatakan, berkaca pada kasus dua staf khusus Presiden tersebut, seharusnya pejabat publik melepaskan semua jabatan bisnisnya atau setidaknya nonaktif selama menduduki jabatan agar tidak ada konflik kepentingan.
Di sisi lain, jika pihak swasta atau masyarakat ingin memberikan bantuan di tengah pandemi Covid-19, seharusnya disalurkan melalui kelembagaan yang telah ditugaskan. Misalnya, dalam kasus Andi yang memiliki PT Amartha Mikro Fintek, seharusnya jika ingin membantu dapat melalui Kementerian Desa atau Kementerian Kesehatan atau lembaga pemerintah yang menangani pandemi Covid-19 dengan prosedur yang telah ditetapkan berdasarkan aturan yang berlaku.
”Jangan memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan bisnis semata. Ingat bahwa, secara etika, keberadaan mereka di pemerintahan untuk membantu Presiden Jokowi,” ujar Ace.
Ia mengakui, perlu penanganan cepat dalam mengatasi pandemi Covid-19. Karena itu, Ace mengusulkan bagi lembaga pemerintah yang telah ditugaskan untuk menangani Covid-19 dan dampaknya sebaiknya melibatkan lembaga pengawas internal ataupun eksternal dalam setiap kebijakan, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta Inspektorat Jenderal. Pelibatan lembaga pengawas pemerintahan tersebut penting untuk memastikan agar tidak menimbulkan masalah malaadministrasi dan penyimpangan di kemudian hari.