Pimpinan KPK menyebutkan permasalahan yang ditemukan Dewan Pengawas KPK, sudah lama ada. Akademisi dan masyarakat sipil justru menilai KPK saat ini yang bermasalah.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sebanyak 18 permasalahan di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang sebagian besar seputar penindakan KPK, penting untuk diperbaiki demi memacu kinerja penindakan yang profesional dan akuntabel. Pimpinan KPK saat ini menuding persoalan itu sudah lama ada. Namun mantan pimpinan KPK, akademisi, dan masyarakat sipil melihat permasalahan justru banyak bermunculan saat KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.
Belasan permasalahan tersebut ditemukan oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK dari hasil evaluasi tiga bulan kinerja pimpinan dan pegawai KPK. Di antara permasalahan itu, muncul dari laporan pengaduan yang masuk ke Dewas.
Hasil evaluasi itu telah disampaikan pada rapat koordinasi pengawasan antara Dewas KPK dan pimpinan dan pejabat struktural KPK, di gedung KPK, Jakarta, Senin (27/4/2020).
Ketua Dewas KPK Tumpak H Panggabean melalui pesan singkat, Selasa (28/4/2020), mengatakan, permasalahan yang mayoritas seputar kerja penindakan KPK, perlu diperbaiki untuk memacu kinerja penindakan yang profesional dan akuntabel.
Namun ia enggan menyebutkan lebih detil belasan permasalahan yang ada itu, dengan alasan hal tersebut bukan untuk konsumsi publik.
Tak hanya Tumpak, Anggota Dewas KPK, Syamsudin Haris, pun merahasiakan permasalahan yang ditemukan Dewas.
“Pembahasan rapat pengawasan dan evaluasi mencakup hampir semua aspek, mulai penindakan, pencegahan, koordinasi, supervisi, dan bidang lainnya. Namun, karena bersifat internal, materi dan hasil rapat bukan untuk konsumsi publik,” katanya.
Evaluasi oleh Dewas KPK disebutkannya, bakal rutin digelar setiap tiga bulan. Hal tersebut sesuai amanat Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019, yakni Dewas bertugas mengawasi tugas dan kewenangan KPK, serta melakukan evaluasi kinerja pimpinan serta pegawai KPK.
Permasalahan lama
Ketua KPK Firli Bahuri membenarkan adanya berbagai permasalahan di KPK seperti hasil evaluasi oleh Dewas. Sama seperti Dewas, ia juga enggan menyebutkan permasalahan tersebut. Meski demikian, Firli menyebutkan permasalahan yang ditemukan Dewas itu, sudah lama ada.
Atas temuan permasalahan tersebut, Firli menekankan, pimpinan KPK, Dewas, dan pejabat dan pegawai KPK telah berkomitmen untuk bersama-sama memperbaikinya. “Masalah akan selalu ada karena itu membuktikan bahwa kita berbuat,” tambahnya.
Kambing hitam
Sementara itu, Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo mempertanyakan pernyataan Firli yang menyebut permasalahan yang ditemukan Dewas sudah lama ada. “Masalah penindakan yang mana yang sudah ada sejak zaman kami?” tanyanya.
Alih-alih mencari kambing hitam, menurutnya, lebih baik pimpinan KPK mencari solusi atas permasalahan yang ada. “Ya sudah biarkan, biar rakyat yang sudah pintar yang menilai. Manajer yang baik tidak mencari kambing hitam, tapi mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi,” ujarnya.
Ketua KPK periode 2010-2011 Busyro Muqoddas justru melihat KPK sebenarnya bermasalah sejak KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, mulai akhir tahun lalu. Salah satunya, pejabat di jajaran penindakan yang didominasi oleh perwira polisi. Ini harusnya dipandang sebagai problem krisis identitas KPK sebagai lembaga independen.
“Semestinya ini menjadi perhatian Dewas. Sulit ada kepercayaan publik terhadap KPK kalau pos-pos penindakan didominasi oleh perwira Polri yang dalam iklim politik terutama sekarang,polisi lebih dinilai sebagai alat pemerintah dan kekuatan-kekuatan di sekitarnya,” tambahnya.
Sulit ada kepercayaan publik terhadap KPK kalau pos-pos penindakan didominasi oleh perwira Polri.
KPK terkooptasi
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, juga melihat persoalan lebih banyak muncul di KPK sejak di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Persoalan terutama dalam hal penindakan KPK memberantas koruptor. Salah satunya terlihat dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang selama ini menjadi kekuatan KPK dan membuat gentar koruptor, sudah jarang dilakukan KPK.
“Indikasi yang terlihat dari luar, masalah yang terberat adalah sepertinya KPK sudah terkooptasi. Di satu sisi KPK tidak mencerminkan lembaga independen, sisi lain personal pimpinan atau komisionernya mengafiliasikan diri pada kekuatan politik tertentu pemegang kekuasaan,” katanya.
Tidak transparan
Selain mengkritik kerja KPK saat ini, Fickar juga mengkritik Dewas KPK yang memilih merahasiakan hasil evaluasinya.
"Sebagai organisasi modern dan bagian dari perwujudan tata kelola organisasi yang baik, seharusnya transparansi dikedepankan. Jadi seharusnya Dewas KPK mempublikasikannya ke publik," tambahnya.
Tak hanya Fickar, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana pun melihat melemahnya penindakan KPK di era Firli Bahuri. Ini terlihat oleh publik saat OTT bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, awal tahun lalu. Saat itu, KPK misalnya, gagal menangkap salah satu tersangka Harun Masiku. Harun justru sempat dikabarkan KPK berada di luar negeri padahal saat OTT terjadi, Harun di Indonesia.
Melemahnya penindakan KPK juga terlihat dari tidak adanya kasus-kasus besar yang disentuh oleh KPK. Kasus besar itu seperti kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dana talangan Bank Century, dan pengadaan KTP elektronik.
KPK juga dinilai lemah dalam memburu para buronan. Selain Harun Masiku, KPK hingga kini belum berhasil menangkap tersangka kasus SKL BLBI, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.