Bawaslu Telusuri Indikasi Politisasi Bansos di Daerah yang Gelar Pilkada 2020
Badan Pengawas Pemilu menemukan indikasi politisasi bantuan sosial untuk warga terdampak pandemi Covid-19 di sejumlah daerah yang menggelar Pilkada 2020. Jajaran Bawaslu di daerah akan mengkaji indikasi tersebut.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian bantuan sosial untuk penanggulangan dampak Covid-19 dengan menyertakan simbol-simbol jabatan politik ataupun citra diri bakal calon kepala daerah petahana mulai bermunculan. Badan Pengawas Pemilu akan mendalami beragam laporan terkait politisasi bantuan semacam.
Pilkada 2020 di 270 daerah sedianya berlangsung pada 23 September 2020. Namun, pemerintah akan menundanya menjadi 9 Desember 2020 akibat dampak wabah Covid-19. Sejumlah pemangku kepentingan pilkada menyarankan agar pilkada ditunda hingga September 2021.
Di tengah pilkada dan penyaluran bantuan sosial negara untuk warga terdampak Covid-19, data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan ada 218 petahana yang berpotensi melaju di Pilkada 2020. KPK menekankan pentingnya pengawasan agar bantuan sosial tidak disalahgunakan untuk kepentingan kampanye atau diselewengkan (Kompas, 29/4/2020).
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, M Afifuddin, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (30/4/2020), mengatakan, Bawaslu RI telah meminta seluruh jajaran Bawaslu hingga tingkat kabupaten/kota agar mengimbau semua pihak tidak memanfaatkan bantuan sosial bagi warga terdampak pandemi Covid-19 untuk kepentingan politik praktis.
”Kami sudah sampaikan kepada jajaran agar mengeluarkan edaran, aksi-aksi kemanusiaan supaya tidak dibumbui dengan kampanye di tengah pandemi. Untuk tidak memanfaatkan bantuan untuk kampanye,” ujar Afifuddin.
Berdasarkan catatan Bawaslu RI, hingga hari ini, baru ada satu laporan dugaan penyalahgunaan bansos untuk kepentingan popularitas dalam Pilkada 2020. Hal itu diduga dilakukan oleh Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Mulyani. Bupati tersebut mendapat sorotan di ruang maya karena pembagian hand sanitizer yang diberi stiker bergambar wajahnya. Pasalnya, setelah stiker dikelupas, tertulis bantuan Kementerian Sosial.
Terkait hal itu, Sri Mulyani meminta maaf atas penempelan fotonya. Dia mengklarifikasi bahwa hal itu terjadi karena kesalahan di lapangan. Menurut dia, bantuan dari Kemensos hanya 1.000 botol, sedangkan bantuan yang dibagikan Pemerintah Kabupaten Klaten mencapai puluhan ribu botol. ”Di lapangan mungkin ditempeli semua,” katanya (Kompas.com, 27/4/2020).
Afifuddin juga menyampaikan, selain di Klaten, sebenarnya kasus dugaan politisasi bansos juga terjadi di sejumlah daerah. Namun, hal itu belum berupa laporan resmi sehingga tidak bisa ditindaklanjuti oleh Bawaslu setempat.
Dia mencontohkan temuan itu ada di Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Salah satu pasangan bakal calon bupati-wakil bupati Toraja Utara melakukan kegiatan penyemprotan disinfektan secara massal sebagai ajang sosialisasi.
Selain itu, Bawaslu Lampung juga menemukan sembako bergambar pasangan calon bupati dan wakil bupati sedikitnya di empat kabupaten dan satu kota di Lampung. Temuan itu terdapat di Kabupaten Pesawaran, Way Kanan, Lampung Tengah, Lampung Timur, serta Kota Bandar Lampung.
”Semua laporan sedang didalami,” kata Afifuddin.
Afifuddin mengatakan, pihaknya tak bisa serta-merta menindak para kepala daerah tersebut karena saat ini belum memasuki tahapan kampanye Pilkada 2020. Apalagi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI juga masih menunda tahapan pilkada.
”Kalau sudah ada pencalonan, potensinya mereka bisa terkena Pasal 71 Ayat 3 Undang-Undang Pilkada,” ucap Afifuddin.
Pasal 71 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada melarang kepala daerah atau wakil kepala daerah menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain, dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai penetapan pasangan calon terpilih.
Kepala daerah yang melanggar bisa didiskualifikasi sebagai calon oleh KPU setempat. Selain itu, ada pula ancaman pidana penjara paling lama enam bulan dan denda paling banyak Rp 6 juta.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan, penggunaan simbol-simbol politik di bansos harus dihindari agar tidak menuai fitnah.
Menurut dia, seyogianya bansos memakai lambang daerah atau institusi, bukan nama atau stiker wajah pribadi. Penggunaan nama institusi masih diperbolehkan agar tak ada pihak-pihak yang mengklaim sehingga menimbulkan masalah. Terhadap pemda yang memakai simbol jabatan politik, lanjut Bahtiar, Kemendagri akan mengevaluasinya.