Kepala Polri melalui Surat Telegram per 1 Mei 2020 mengangkat Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Ia diharapkan dapat perkuat program deradikalisasi di penjara.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang baru diharapkan memperkuat program deradikalisasi para narapidana terorisme. Salah satu masalah mendesak adalah mencegah penyebaran paham radikal di dalam lembaga pemasyarakatan atau penjara.
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) melalui Surat Telegram bernomor ST/1377/V/KEP/2020 per 1 Mei 2020 sebelumnya mengangkat Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar dimutasi sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sementara Komisaris Jenderal Suhardi Alius mendapat penugasan baru sebagai Analis Kebijakan Utama di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Country Director International Association for Counter Terrorism and Security Professionals Center for Security Studies (IACSP) Indonesia Rakyan Adibrata, ketika dihubungi, Jumat (1/5/2020), mengatakan, Kepala BNPT yang baru diharapkan dapat memperkuat organisasi BNPT untuk program deradikalisasi.
Kepala BNPT yang baru diharapkan memperkuat organisasi BNPT untuk program deradikalisasi.
Selain itu, Kepala BNPT juga diharapkan mendorong pemerintah untuk segera membuat aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
”Deradikalisasi ini program yang tidak akan pernah bisa dibuat sama antara satu orang dengan yang lain. Kemudian program deradikalisasi itu bukan model kursus dengan banyak orang, tetapi harus satu demi satu, seperti konseling, sehingga terbentuk sistem pemantauan yang lebih efektif,” kata Rakyan.
Menurut Rakyan, program deradikalisasi menjadi penting karena jumlah narapidana terorisme di Indonesia sangat besar. Hingga akhir 2019, jumlah narapidana terorisme sekitar 400 orang, sementara jumlah tahanan terorisme sekitar 190 orang. Mereka tersebar di 90 lembaga pemasyarakatan (lapas) di seluruh Indonesia.
Jumlah narapidana terorisme yang besar tersebut dinilai belum sebanding dengan petugas yang mendampingi dalam program deradikalisasi. Di lapangan, kata Rakyan, seorang petugas mesti mendampingi mulai dari 5 orang sampai 20 narapidana terorisme. Dengan rasio yang tidak seimbang tersebut, akibatnya proses deradikalisasi tidak maksimal.
Di sisi lain, beberapa peristiwa menunjukkan penyebaran paham radikal justru terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan antara narapidana terorisme dan narapidana umum. Di satu sisi, konsep lembaga pemasyarakatan yang menyiapkan narapidana agar dapat kembali bermasyarakat menimbulkan celah penularan paham radikal karena narapidana terorisme tidak dipisahkan dari narapidana umum, kecuali di lapas dengan keamanan supermaksimum di Nusakambangan.
Menurut Rakyan, yang juga perlu dilakukan ke depan adalah membuat program deradikalisasi menjadi wajib diikuti narapidana terorisme, bukan sebagai pilihan. Ia membandingkan, kebanyakan narapidana yang dulu termasuk kelompok Jamaah Islamiyah (JI) memilih mengikuti program deradikalisasi. Sementara narapidana yang termasuk Jamaah Ansharut Daulah (JAD) cenderung tidak banyak yang mengikuti program deradikalisasi. Padahal, mereka yang termasuk kelompok JAD dinilai memiliki ideologi yang kuat.
Tersebar di 90 Penjara
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, mengatakan, BNPT diharapkan segera menangani narapidana terorisme yang berada di dalam penjara agar tidak semakin radikal. Yang lebih mengkhawatirkan, pada beberapa kasus yang terjadi, justru narapidana terorisme menyebarkan paham radikalnya ke narapidana umum ketika berada di penjara.
”Hari ini semua narapidana terorisme itu tersebar di 90 penjara dan 3 rumah tahanan negara di 26 provinsi. Bisa dibayangkan repotnya BNPT untuk mengerjakan deradikalisasi di dalam dan di luar penjara,” kata Noor Huda.
Hari ini semua narapidana terorisme itu tersebar di 90 penjara dan 3 rumah tahanan negara di 26 provinsi. Bisa dibayangkan repotnya BNPT untuk mengerjakan deradikalisasi di dalam dan di luar penjara.
Sejalan dengan itu, menurut Noor Huda, BNPT perlu mulai membangun kerja sama dengan unsur pemerintah daerah untuk deteksi dini. Sementara narapidana yang telah bebas dan kembali ke masyarakat dapat diajak bekerja sama untuk melakukan kontra radikalisme. Hal itu penting karena angka residivis narapidana terorisme di Indonesia masih tergolong tinggi, yakni sekitar 8 persen.
Beberapa waktu lalu, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra mengungkapkan, seorang terduga teroris dari kelompok JAD yang ditangkap di Surabaya mendapat paham radikal ketika sedang menjalani pidana penjara. Di sana dia berkenalan dengan seorang tokoh JAD yang merupakan narapidana terorisme.
Sebelumnya, tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menemukan indikasi DA, istri RMN, pelaku bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Medan, juga berkomunikasi dengan napi terorisme. Demikian pula pemimpin JAD, Aman Abdurrahman, kendati berada di penjara, masih bisa memberikan pengaruh kepada jaringan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dengan menggunakan tulisan di media sosial (Kompas, 27/12/2017).