Tuntutan terhadap Saeful Bahri Dinilai Sangat Ringan
Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut hukuman penjara kader PDI-P, Saeful Bahri, dua tahun enam bulan dan pidana denda Rp 150 juta. Hukuman tersebut dinilai sangat ringan karena tak akan memberikan efek jera.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut hukuman penjara kader PDI-P, Saeful Bahri, dua tahun enam bulan dan pidana denda sebesar Rp 150 juta. Hukuman tersebut dipandang sangat ringan meskipun Saeful terbukti menyuap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, bersama dengan politikus PDI-P lainnya, Harun Masiku, yang hingga saat ini masih buron.
Sidang yang diselenggarakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (6/5/2020), dipimpin oleh ketua majelis hakim Panji Surono. Hadir dalam persidangan yakni kuasa hukum Saeful dan tim jaksa penuntut umum KPK. Sementara terdakwa Saeful mengikuti sidang dari Gedung KPK dengan video konferensi, didampingi dua penasihat hukumnya.
Jaksa KPK Sigit Waseso menyatakan, terdakwa Saeful Bahri terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.
Untuk itu, Saeful diancam pidana sesuai Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Saeful Bahri terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.
”Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Saeful Bahri dengan pidana penjara selama dua tahun enam bulan dan pidana denda sebesar Rp 150 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan,” kata Sigit membacakan tuntutan.
Saeful merupakan anggota kader PDI-P yang pernah bertugas selaku staf sekretariat di kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI-P. Berdasarkan fakta-fakta hukum, Saeful bersama dengan Harun telah memberikan uang kepada Wahyu melalui orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fridelina.
Pemberian uang dilakukan Saeful kepada Wahyu untuk mengurus kepentingan Harun guna menjadi anggota DPR menggantikan caleg terpilih sesuai hasil pemilu, Riezky Aprilia. Selaku anggota KPU, Wahyu diminta mengupayakan agar KPU menyetujui permohonan penggantian antarwaktu (PAW) dari Riezky kepada Harun.
PAW tersebut dilakukan karena sebelumnya salah satu calon anggota legislatif, Nazarudin Kiemas, meninggal sebelum pemilu legislatif, tetapi ia tetap memperoleh 34.276 suara di Daerah Pemilihan 1 Sumatera Selatan. DPP PDI-P dalam rapat pleno yang dilaksanakan pada Juli-Agustus 2019 kemudian memutuskan untuk melimpahkan suara Nazarudin ke Harun.
Agar permohonan tersebut dikabulkan, maka Saeful dan Harun menyuap Wahyu. Saeful memberikan uang secara bertahap, yakni sebesar 19.000 dollar Singapura (SGD) atau setara dengan Rp 200 juta yang diserahkan pada 17 Desember 2019. Pemberian kedua sebesar 38.350 SGD atau setara dengan Rp 400 juta diserahkan berikutnya pada 26 Desember 2019.
Pemberian uang tersebut merupakan realisasi dari janji yang telah disepakati sebelumnya, yaitu pada saat Saeful menawarkan biaya operasional kepada Wahyu melalui Agustiani. Adapun Wahyu meminta uang sebesar Rp 1 miliar.
Saat ditanya oleh hakim, Saeful mengaku mengerti isi dari tuntutan tersebut. Ia akan mengajukan pleidoi atau pembelaan secara tertulis. Hakim kemudian memberikan waktu seminggu untuk Saeful membuat pleidoi sehingga sidang dilanjutkan pada Kamis (14/5/2020).
Sangat ringan
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, tuntutan tersebut sangat ringan sehingga akan berpengaruh pada usaha memberikan efek jera kepada koruptor. Padahal, dalam tuntutan, KPK meyakini bahwa Saeful bersama dengan Harun memberikan suap sebesar Rp 600 juta kepada Wahyu demi memuluskan langkah Harun menjadi anggota DPR.
ICW melihat KPK tidak pernah serius dan justru terkesan melindungi beberapa pihak dalam perkara ini. Kesimpulan tersebut timbul berdasarkan beberapa kejadian, mulai dari pembiaran yang dilakukan pimpinan KPK saat pegawainya diduga disekap di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, gagal menyegel kantor DPP PDI-P, tidak berniat menangkap Harun sampai hari ini, hingga ketidakjelasan penggeledahan di kantor DPP PDI-P.
Kurnia berharap majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memberikan ganjaran pidana penjara yang maksimal terhadap terdakwa.
Jika dilihat fakta hukumnya, ada hal yang tidak diungkap dalam uraian surat tuntutan, yakni adanya upaya penipuan yang dilakukan Wahyu, seperti tidak pernah mengusahakan agar permintaan Saeful dikabulkan oleh KPU.
Sementara itu, penasihat hukum Saeful, Simeon Petrus, menganggap tuntutan tersebut justru sudah sangat berat dan tidak sesuai dengan fakta hukum. Jika dilihat fakta hukumnya, ada hal yang tidak diungkap dalam uraian surat tuntutan, yakni adanya upaya penipuan yang dilakukan Wahyu, seperti tidak pernah mengusahakan agar permintaan Saeful dikabulkan oleh KPU.
Selain itu, setelah ada surat penolakan dari KPU pada 7 Januari 2020, Wahyu masih meminta uang agar ditransfer ke rekeningnya. Hal tersebut seharusnya dianalisis dalam uraian fakta hukum.
”Fakta hukum yang terang benderang adalah tidak ada peristiwa hukum pidana pada 8 Januari 2020 karena tidak ada pemberian barang ataupun uang kepada Wahyu melalui Agustiani ataupun Saeful,” kata Simeon.