Rancangan Perpres Pelibatan TNI Berpotensi Langgar UU
Pemerintah diminta untuk mengkaji ulang Rancangan Perpres Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang dinilai sejumlah kalangan berpotensi melanggar sejumlah undang-undang dan melanggar HAM.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang digagas pemerintah menuai kritik dan sorotan tajam. Rancangan Perpres tersebut dinilai berpotensi melanggar hak asasi manusia dalam pelaksanannya, serta mengandung banyak ketentuan yang bertentangan dengan sejumlah undang-undang.
Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU No 8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam Rancangan Perpres tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang beredar, TNI nantinya memiliki fungsi dalam penangkalan, penindakan, dan pemulihan. TNI juga dapat bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait, negara lain, serta organisasi internasional.
TNI nantinya memiliki fungsi dalam penangkalan, penindakan, dan pemulihan. TNI juga dapat bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait, negara lain, serta organisasi internasional
Ketentuan dalam penangkalan, penindakan, dan pemulihan ini diatur di dalam Bab I Pasal 2 dan dijelaskan pada Bab II hingga IV draf Perpres. Adapun untuk kerja sama antarlembaga yang bisa dilakukan oleh TNI diatur di dalam Bab V Pasal 13. Rancangan Perpres ini juga mengatur tentang pendanaan untuk mengatasi terorisme yang dilakukan TNI yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah. Hal itu diatur di dalam Bab VI Pasal 14.
Saat ini, rancangan perpres tersebut telah dikirim ke DPR untuk menunggu pertimbangan. Namun, di sisi lain DPR mengaku belum menerima perpres tersebut.
Baca juga: Memerangi Terorisme
Bukan penegak hukum
Pengajar hukum pidana Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, saat dihubungi Minggu (10/5/2020) mengatakan, peran TNI ialah dalam pertahanan kedaulatan negara, bukan penegakan hukum. Pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme pun harus diatur dalam batasan yang jelas, sehingga tidak bertentangan dengan kewenangannya yang diatur di dalam UU TNI. Sifatnya pun perbantuan dan penindakan itu tidak menjadi kewenangan utama TNI.
“Tidak ada gunanya juga melibatkan TNI dalam penindakan terorisme, untuk apa, dan manfaatnya apa, karena toh TNI tidak pernah dilatih untuk menangani terorisme dalam koridor hukum. TNI itu dilatih berperang,” kata Pohan.
TNI tidak bisa dan tidak boleh menindak tindak pidana terorisme, karena dia bukan penegak hukum. Kalau TNI dilibatkan dalam penindakan, maka itu bertentangan dengan beberapa UU, termasuk Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Dengan penegasan atas peran dan tugas TNI itu, draf Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme harusnya memerhatikan UU TNI, dan tidak serta-merta memberikan tugas penindakan terorisme kepada TNI.
“TNI tidak bisa dan tidak boleh menindak tindak pidana terorisme, karena dia bukan penegak hukum. Kalau TNI dilibatkan dalam penindakan, maka itu bertentangan dengan beberapa UU, termasuk Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), karena UU itu mengatur hukum acara dalam penegakan hukum, yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum,” katanya.
TNI bisa dilibatkan dalam penindakan terorisme jika pelakunya adalah anggota TNI, karena ada aturan dan peradilan khusus militer. Dalam konteks itu, menurut Pohan, TNI bisa menindak anggotanya yang terlibat dalam jaringan terorisme. Namun, sepanjang itu bukan anggota TNI, TNI tidak bisa menindak kejahatan terorisme.
“Kan militer tidak pernah diberikan pelatihan penegakan hukum. Mereka tahunya kan perang. Oleh karena itu, memberikan kewenangan penindakan terorisme kepada TNI hanya mencari persoalan, dan tidak ada manfaatnya. Hal itu tidak bisa dilakukan kecuali ada keterlibatan anggota militer dalam tindak pidana terorisme,” katanya.
Penerbitan Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme adalah ranah eksekutif, dan sepenuhnya menjadi kewenangan presiden untuk mengeluarkan aturan turunan dari UU No 5/2018
Dihubungi terpisah, anggota Komisi I DPR Syarifuddin Hasan mengatakan, penerbitan Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme adalah ranah eksekutif, dan sepenuhnya menjadi kewenangan presiden untuk mengeluarkan aturan turunan dari UU No 5/2018. Menurutnya, ada aturan konsultasi dengan DPR dalam pembentukan perpres tersebut. Namun, sifat konsultasi itu bukan kewajiban.
“Terjemahan saya demikian karena itu adalah wewenang presiden. Kalau mau konsultasi dengan DPR silakan, tetapi tidak juga tidak apa-apa. Kalau Perpresnya ternyata bertentangan dengan UU, nanti akan kita sikapi di dalam mekanisme rapat kerja,” katanya.
Baca juga: Lindungi Negara dari Terorisme
Sampai saat ini, menurut Syarif, pihaknya belum mengetahui adanya draf RUU Perpres Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme itu. Namun, ia berharap pemerintah memastikan draf perpres itu tidak bertentangan dengan UU lainnya, termasuk UU NO 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Mengancam HAM
Rancangan Perpres Tugas TNI dalam Mengatasai Aksi Terorisme dapat mengancam Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia karena memberikan mandat yang sangat luas dan berlebihan kepada TNI. Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan, rancangan perpres tersebut berpotensi melanggar HAM dan hukum.
Ia mengungkapkan, pelibatan TNI sejak awal hingga akhir dalam mengatasi terorisme bertentangan dengan prinsip UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan berbagai aturan HAM. Seharusnya TNI hanya dapat dilibatkan dalam skala ancaman besar. Setelah dapat tertangani, maka harus dikembalikan ke otoritas penegak hukum.
Anam menyebutkan, ada tiga pilar dalam penanganan tindak pidana terorisme yakni kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dalam rancangan perpres ini, ketiga pilar tersebut diambil semua oleh TNI.
Peneliti Imparsial, Husein Ahmad, mengatakan, kewenangan yang diberikan oleh rancangan perpres ini berpotensi tumpang tindih. Kewenangan penangkalan atau dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disebut dengan pencegahan dimandatkan pada lembaga lain yakni BNPT. Tugas penindakan juga sudah dilakukan kepolisian. Hal tersebut menimbulkan tumpang tindih tugas antara penegak hukum dengan militer.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, mengatakan, dampak dari rancangan Perpres ini jika disahkan, yakni dapat merusak sistem peradilan pidana. Hal tersebut bisa terjadi karena tindak pidana terorisme masuk dalam ranah peradilan umum yang jadi kewenangan kepolisian dan kejaksaan, serta bukan tugas dari militer yang sampai saat ini tidak masuk ke peradilan umum.
“Standar penanganan sipil dan militer tentu berbeda dan berpotensi melanggar HAM bagi mereka yang ditindak,” kata Julius.
Standar penanganan sipil dan militer tentu berbeda dan berpotensi melanggar HAM bagi mereka yang ditindak
Ia menjelaskan, penindakan tindak pidana terorisme masuk dalam ranah sipil karena penyidik kepolisian dan/atau kejaksaan merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum acara. Hukum acara inilah yang memastikan HAM bagi mereka yang diperiksa.
Julis pun mengkritisi Pasal 3 draf Pepres Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Disebutkan, fungsi penangkalan TNI dapat dilakukan dengan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya. Ketiadaan definisi yang jelas seperti “operasi lainnya” membuka peluang multitafsir di tataran implementasi. Hal tersebut bisa melanggar HAM bagi siapapun yang terdampak operasi dan/atau penangkalan.
Jika rancangan perpres ini disahkan, maka militer masuk ke ranah sipil tanpa sekat dan batas. Bahkan, tanpa akuntabilitas yang jelas akan menjadi sejarah kelam seperti Orde Baru dan bisa banyak pelanggaran HAM yang tanpa penyelesaian.
Jika rancangan perpres ini disahkan, maka militer masuk ke ranah sipil tanpa sekat dan batas. Bahkan, tanpa akuntabilitas yang jelas akan menjadi sejarah kelam seperti Orde Baru dan bisa banyak pelanggaran HAM yang tanpa penyelesaian.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, persoalan pelanggaran HAM di Indonesia hingga saat ini belum selesai. Salah satu cara untuk memotong rantai imunitas dalam berbagai macam pelanggaran HAM di masa lalu yakni melalui reformasi peradilan militer. Namun, sayangnya sampai dengan saat ini reformasi peradilan militer tersebut belum dilakukan. Padahal, reformasi peradilan militer tersebut merupakan mandatori dari Pasal 65 UU TNI.
“Sebenarnya kalau kita baca komitmen Presiden Joko Widodo ketika merumuskan Nawacita jilid pertama itu kan salah satunya reformasi peradilan militer. Namun, itu tidak terlaksana. Jadi itu masih terus menjadi ganjalan, sehingga butuh komitmen politik yang jelas,” kata Wahyudi.
Baca juga: Terorisme, Anarkisme, dan Deradikalisasi