Sudah 22 Tahun, Kasus Kerusuhan Mei 1998 Belum Juga Dituntaskan
Pemerintah dituntut serius menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat kerusuhan 12-15 Mei 1998. Kejaksaan Agung perlu segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM terkait pelanggaran HAM berat itu.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia dinilai tidak serius menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi dalam rangkaian kerusuhan pada pertengahan Mei 1998. Kasus pelanggaran HAM berat ini dinilai terancam semakin terbengkalai karena menguatnya oligarki.
Pada 12-15 Mei 1998, terjadi serangkaian kerusuhan di sejumlah daerah Indonesia. Berawal dari terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti, Jakarta, kerusuhan meluas dengan korban etnis Tionghoa yang terjadi terutama di Jakarta, Medan, Solo, dan Surabaya, yang menewaskan lebih dari 1.000 orang. Adapun empat mahasiswa yang tewas tersebut adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hartanto, dan Hendriawan Sie.
Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, Selasa (12/5/2020), mengatakan, meski Pemerintah Indonesia berulang kali berjanji untuk menyelesaikan kasus kerusuhan Mei 1998, sampai saat ini belum ada langkah konkret yang dilakukan. Demikian pula hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang kasus tersebut tidak pernah ditindaklanjuti Jaksa Agung.
”Berbagai upaya telah dilakukan oleh kelompok korban dan masyarakat sipil baik melalui memorialisasi maupun kerja sama dengan lembaga terkait. Tetapi, negara tetap tidak pernah mengakui adanya pelanggaran HAM berat yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998,” kata Wahyudi.
Menurut Wahyudi, Jaksa Agung mesti segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi 12-15 Mei 1998, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sementara Presiden diharapkan menginstruksikan Jaksa Agung untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, 12-15 Mei 1998.
Selain itu, Wahyudi melanjutkan, Pemerintah Indonesia diminta mengakui dan meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM berat pada 12-15 Mei 1998. Hal ini harus diikuti dengan langkah strategis untuk memulihkan hak-hak korban dan keluarganya secara menyeluruh.
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani berpandangan, penegakan HAM di Indonesia masih jauh dari harapan. Selain ditandai dengan mandeknya kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang tidak diselesaikan, termasuk kasus Mei 1998, para terduga pelanggar HAM tersebut juga kembali masuk ke panggung kekuasaan.
”Kasus pelanggaran HAM berat itu tidak dapat diselesaikan dan sengaja diabaikan oleh negara sebagai bagian mandat dari agenda reformasi. Pemerintah sipil justru kompromis dengan kekuatan aktor masa lalu (Orde Baru),” kata Yati.
Agenda reformasi untuk menghapuskan dwifungsi ABRI telah berjalan. Namun, kata dia, reformasi sektor keamanan dinilai telah gagal dilaksanakan. Hal itu tampak dari mandeknya persoalan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Di sisi lain, pemimpin kompromis makin mendorong masuknya TNI ke ruang sipil.
Hal mendesak lain, menurut Yati, adalah kembalinya kekuatan politik oligarki yang meminggirkan hak-hak warga. Hal ini terjadi melalui monopoli kekuasaan, kebijakan politik dan ekonomi yang hanya menguntungkan pemodal serta penguasa.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, agenda reformasi 1998 yang telah menelan korban jiwa tersebut harus terus diperjuangkan. Sebab, gerakan reformasi 1998 yang menuntut ditegakkannya sistem demokrasi dan penghormatan terhadap HAM terancam oleh menguatnya oligarki dan pengaruh militer ke ranah sipil yang semakin menguat.
”Menguatnya oligarki di dalam sistem politik kita harus dikritisi oleh semua pihak. Kekuatan masyarakat sipillah yang bisa mendobrak oligarki itu, bukan partai politik yang sudah dikuasai oligarki,” kata Ahmad.
Menurut dia, agenda reformasi masih jauh dari harapan. Pembangunan tetap berorientasi pada kekuatan modal, sementara penegakan serta supremasi hukum belum sepenuhnya memenuhi prinsip keadilan dan HAM. Banyak kasus agraria yang ditangani Komnas HAM memperlihatkan sistem hukum dan kebijakan pemerintah belum berpihak kepada rakyat kecil.
”Sering kali jika rakyat kecil berhadapan dengan kekuatan modal dan penguasa, mereka secara hukum dikalahkan,” katanya.